Saturday, 21 April 2012

Republik (Buku 10)

Oleh Plato


 

“Banyak pertimbangan lain yang membuatku yakin bahwa kita secara keseluruhan benar di dalam pengaturan Negara kita, terutama di dalam persoalan puisi.”

“Apa yang kamu lebih pilih?”

“Penolakan puisi peniruan, yang tentu saja harus tidak diterima, sebagaimana aku melihat secara lebih jelas sekarang saat bagian-bagian jiwa telah diketahui.”

“Apa maksudmu?”

“Berbicara di antara diri kita sendiri, karena aku tidak suka kata-kataku diulangi kepada para penulis tragedi dan keseluruhan suku peniru, tetapi aku tidak keberatan mengatakan kepadamu, bahwa semua peniruan puitis adalah bersifat meruntuhkan pemahaman para pendengarnya. Pengetahuan terhadap alamiah mereka, hanyalah sebagai penangkalnya.”

“Jelaskanlah makna dari kata-katamu.”

“Baik, aku akan memberitahukan kepadamu, walaupun aku telah selalu dari sejak masa mudaku memiliki kekaguman dan cinta kepada Homer, yang bahkan sekarang membuat kata-kata terhuyung-huyung di bibirku, karena ia guru pertama dan pemula dari keseluruhan pasukan tragedi yang memesona. Tetapi seorang manusia harus tidak lebih diutamakan daripada kebenaran, sehingga aku akan berbicara.”

“Sangat baik,” katanya.

“Dengarkanlah aku kemudian, atau lebih, jawablah aku.”

“Ajukanlah pertanyaanmu.”

“Bisakah kamu memberitahukan kepadaku apakah peniruan? karena aku benar-benar tidak mengetahui.”

“Seolah-olah aku bisa.”

“Mengapa tidak? Sering terjadi mata yang lebih buram melihat sebuah hal lebih segera daripada yang tajam.”

“Sangat benar,” ia berkata, “tetapi saat kamu ada, bahkan jika aku memiliki pemahaman yang samar apapun, aku tidak bisa mengumpulkan keberanian untuk mengucapkannya. Pertimbangkanlah sendiri.”

“Baiklah kemudian, haruskah kita memulai pencarian tersebut di dalam cara kita yang biasa? Kita menyebutkan sejumlah ide atau bentuk tunggal di dalam kejamakan, dengan nama yang umum. Apakah kamu memahamiku?”

“Aku memahamimu.”

“Sekarang biarkan kita mengambil kejamakan apapun yang kamu suka. Misalnya, ada ranjang-ranjang dan meja-meja di dunia, banyak dari mereka bukankah ada?”

“Ya.”

“Tetapi hanya ada dua ide dan bentuk dari mereka, satu ide sebuah ranjang, yang lainnya sebuah meja.”

“Benar.”

“Dan pembuat dari masing-masing membuat sebuah ranjang atau ia membuat sebuah meja untuk kita gunakan, dengan menatapkan matanya kepada ide atau bentuk tersebut. Itu adalah jalan dari kita berbicara dan contoh-contoh langsung, tetapi tidak ada pembuat barang yang membuat ide-ide itu sendiri. Bagaimana mereka bisa?”

“Mustahil.”

“Dan ada seniman yang lain, aku ingin mengetahui apa yang kamu akan katakan tentang ia.”

“Siapa?”

“Seorang yang membuat semua hal yamg dihasilkan oleh semua pekerja yang lain.”

“Orang yang sangat luar biasa.”

“Tunggulah sebentar, dan akan ada lebih banyak alasan untuk kamu mengatakan demikian. Ia bukan hanya mampu membuat setiap macam barang, tetapi tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang, dan dirinya sendiri dan semua hal yang lain. Bumi dan langit, dan hal-hal yang di dalam langit ataupun di bawah bumi, ia membuat para dewa juga.”

“Sofis yang paling luar biasa,” ia berkata.

“Wah, kamu tidak percaya? Maksudmu, tidak ada pembuat atau pencipta semacam demikian, atau bahwa di dalam satu rasa mungkin ada seorang pembuat dari semua hal ini tetapi di dalam yang lainnya tidak? Apakah kamu melihat bahwa ada sebuah jalan yang di dalamnya kamu sendirian bisa membuat semua hal ini?”

“Di dalam jalan apa?”

“Sebuah jalan yang cukup mudah. Bahkan, ada banyak jalan yang di dalamnya pekerjaan tersebut mungkin secara cepat dan secara mudah diselesaikan. Tidak ada yang lebih cepat daripada memutar-mutarkan sebuah cermin, kamu akan cukup segera membuat matahari dan langit, dan bumi dan dirimu sendiri, dan yang lainnya binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan, dan semua hal lain yang baru saja kita bicarakan, di dalam cermin.”

“Ya,” ia berkata, “tetapi penampilan-penampilan mereka saja.”

“Sangat baik,” aku berkata, “kamu datang membantu argumen sekarang. Pelukis juga, sebagaimana aku memahami, seperti yang lain, seorang pencipta dari penampilan-penampilan, bukankah ia demikian?”

“Tentu saja.”

“Tetapi menurutku kamu akan mengatakan bahwa yang ia ciptakan tidaklah nyata. Tetapi, ada sebuah rasa yang di dalamnya pelukis juga menciptakan sebuah ranjang?”

“Ya,” ia berkata, “tetapi bukan sebuah ranjang yang nyata.”

“Bagaimana dengan pembuat ranjang? Bukankah kamu baru saja mengatakan bahwa ia tidak membuat ide, yang berdasarkan pemahaman kita, adalah esensi dari rannjang, tetapi hanya sebuah ranjang biasa?”

“Ya, aku melakukannya.”

“Kemudian jika ia tidak membuat hal yang ada, ia tidak bisa membuat keberadaan yang sejati, tetapi hanya suatu perwakilan dari keberadaan. Jika siapapun hendak mengatakan bahwa pekerjaan dari pembuat ranjang, atau apapun pekerja yang lain, memiliki keberadaan yang nyata, tampak bahwa ia tidak membicarakan kebenaran.”

“Para filsuf akan mengatakan bahwa ia tidak membicarakan kebenaran.”

“Tidak mengherankan, kemudian, bahwa pekerjaannya adalah sebuah pengungkapan yang buram, dibandingkan dengan kebenaran.”

“Tidak mengherankan.”

“Bisakah sekarang kita menggunakan contoh-contoh yang baru saja dihadirkan, untuk mencari alamiah peniru ini?”

“Jika kamu suka.”

“Baiklah kemudian, di sini ada tiga ranjang: satu ada di dalam alam, yang dibuat oleh dewa, sebagaimana aku pikir kita mungkin mengatakan, karena tidak ada satupun yang lain yang bisa menjadi pembuatnya?”

“Tidak ada.”

“Ada sebuah yang lain yang dibuat oleh tukang kayu?”

“Ya.”

“Dan pekerjaan dari pelukis adalah yang ke tiga?”

“Ya.”

“Ranjang-ranjang, kemudian, adalah tiga macam, dan ada tiga seniman yang memimpin mereka: dewa, pembuat ranjang, dan pelukis?”

“Ya, mereka ada tiga.”

“Dewa, dari pilihan ataupun keperluan, membuat satu ranjang di alam, dan hanya satu, tidak ada dua atau lebih ranjang ideal yang demikian, juga tidak akan pernah dibuat oleh dewa.”

“Mengapa itu?”

“Karena bahkan jika ia membuat dua, sebuah yang ke tiga akan tetap tampak di belakang mereka yang kedua-duanya dari mereka akan miliki untuk ide mereka, dan itu akan menjadi ranjang yang ideal, dan bukan dua yang lainnya.”

“Sangat benar,” ia berkata.

“Dewa mengetahui ini, dan ia berkehendak sebagai pembuat sejati dari sebuah ranjang yang nyata, bukan pembuat biasa pembuat dari ranjang biasa, dan karena itu ia menciptakan sebuah ranjang yang secara esensi dan hanya satu di alam.”

“Demikianlah kita percaya.”

“Haruskah kita kemudian menyebutnya sebagai penulis atau pembuat ranjang?”

“Ya,” ia menjawab; “sejak oleh di alam ia adalah penulis dari ini dan dari semua hal lain.”

“Bagaimana dengan tukang kayu, bukankah ia juga pembuat ranjang?”

“Ya.”

“Tetapi apakah kamu akan menyebut pelukis sebagai pencipta dan pembuat?”

“Tentu saja tidak.”

“Jika ia bukan pembuat, apa hubungannya kepada ranjang?”

“Menurutku,” ia berkata, “kita mungkin secara adil menyebutnya sebagai peniru dari hal yang dibuat oleh yang lain.”

“Baik,” aku berkata; “kemudian kamu menyebut ia yang ketiga dari urutan dari alam sebagai peniru?”

“Tentu saja,” katanya.

“Dan penyair tragedi adalah seorang peniru, dan karena itu, seperti semua peniru yang lain, ia tiga kali dipindahkan dari raja dan dari kebenaran?”

“Tampak demikian.”

“Kemudian tentang peniru kita telah bersetuju. Dan apa dengan pelukis? Aku akan suka untuk mengetahui jika ia mungkin dianggap meniru hal yang ada secara asli di alam, ataukah hanya ciptaan dari para seniman?”

“Yang akhir.”

“Sebagaimana mereka adanya atau sebagaimana mereka tampaknya? Kamu masih harus menentukan ini.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, kamu mungkin melihat sebuah ranjang dari titik-titik pandang yang berbeda, secara miring atau lurus atau dari titik pandang yang lain, dan ranjang tersebut akan tampak berbeda, tetapi tidak ada perbedaan di dalam kenyataan. Demikian juga semua hal lain?”

“Ya,” ia berkata, “tampak berbeda tetapi sebenarnya sama.”

“Biarkan aku mengajukan sebuah pertanyaan yang lain. Termasuk yang manakah seni melukis, sebuah peniruan dari hal-hal sebagaimana mereka adanya, atau sebagaimana mereka tampaknya? dari penampilan ataukah dari kenyataan?

“Dari penampilan.”

“Kemudian peniru,” aku berkata, “adalah jauh dari kenyataan, dan hanya bisa melakukan hal-hal karena ia menyentuh sebagian kecil dari mereka, sebuah penampilan. Misalnya: Seorang pelukis akan melukis seorang pembuat sepatu, tukang kayu, atau apapun seniman yang lain, walaupun ia tidak mengetahui apa-apa dari seni-seni mereka; dan, jika ia adalah seniman yang baik, ia mungkin menipu anak-anak atau orang-orang yang sederhana, ketika ia menunjukkan kepada mereka gambarnya dari seorang tukang kayu dari kejauhan, dan mereka akan meyakini bahwa mereka memandang seorang tukang kayu yang asli.”

“Tentu saja.”

“Dan ketika siapapun melaporkan tentang seseorang yang mengetahui semua seni, dan semua hal lain yang diketahui oleh siapapun, dan semua hal sederhana dengan sebuah derajat ketepatan yang lebih tinggi daripada siapapun, siapapun yang memberitahukan kepada kita hal ini, menurutku kita bisa hanya membayangkannya sebagai makhluk sederhana yang telah tertipu oleh penyihir atau aktor yang ia temui, yang ia sangka mengetahui segala hal, karena ia sendiri tidak mampu menyelidiki alamiah dari pengetahuan dan kejahilan dan peniruan.”

“Benar.”

“Sehingga, ketika kita mendengar orang-orang mengatakan bahwa para penyair tragedi, dan Homer, pimpinan mereka, mengetahui semua seni dan semua hal manusia, kebaikan dan keburukan, dan hal-hal ilahiah juga, untuk bahwa penyair yang baik tidak bisa menggubah secara baik kecuali ia mengetahui hal yang ia tulis, dan bahwa ia yang tidak memiliki pengetahuan ini tidak pernah bisa menjadi penyair. Kita harus mempertimbangkan jika di sini juga mungkin tipuan yang serupa; mungkin mereka mendatangi para peniru dan tertipu oleh mereka. Ketika mereka melihat pekerjaan-pekerjaan mereka, mereka mungkin tidak mengingat, bahwa semua ini hanyalah tiruan-tiruan tiga kali dipindahkan dari kebenaran, dan mungkin secara mudah dibuat tanpa apapun pengetahuan dari kebenaran, karena mereka hanya penampilan dan bukan kenyataan? Ataukah, mereka mungkin benar, dan para penyair benar-benar mengetahui hal-hal yang tentangnya mereka banyak berbicara secara baik?”

“Pertanyaan tersebut,” ia berkata, “harus benar-benar dipertimbangkan.”

“Jika seseorang mampu untuk membuat kedua-duanya, yang asli dan gambaran, apakah ia akan secara bersungguh-sungguh mempersembahkan dirinya sendiri kepada cabang pembuatan-gambar? Apakah ia akan membiarkan peniruan menjadi ajaran yang memimpin hidupnya, seolah-olah ia tidak memiliki apapun yang lebih tinggi di dalam dirinya?”

“Aku harus berkata tidak.”

“Seniman yang sebenarnya, yang mengetahui hal yang ia tiru, akan tertarik kepada kenyataan-kenyataan dan bukan tiruan-tiruan. Ia akan ingin melakukan pekerjaan-pekerjaan yang banyak dan indah, sebagai peringatan dari dirinya sendiri. Bukan menjadi penulis enkomium-enkomium, tetapi lebih memilih menjadi sebagai pokok pembahasan mereka.”

“Ya,” ia berkata, “itu akan kepadanya menjadi sebuah sumber penghormatan dan keuntungan yang jauh lebih besar.”

“Kemudian,” aku berkata, “kita harus meminta pembalasan dari Homer, atau dari siapapun penyair yang lain; dengan menanyai mereka: siapa dari mereka yang dokter dan bukan hanya peniru perkataan dokter, siapa penyair lama ataupun baru, yang pernah menyembuhkan seperti Ascleipus orang-orang yang sakit, atau meninggalkan di belakangnya sebuah sekolah perobatan sebagaimana Ascleipads. Tetapi hal-hal yang paling utama dan paling terhormat yang Homer pernah bicarakan, tentang peperangan dan taktik-taktik ketentaraan, politik, pendidikan, kita mungkin secara adil menanyainya tentang mereka. ‘Teman Homer,' kemudian kita mengatakan kepadanya, ‘jika kamu hanya di tangan ke dua dipindahkan dari kebenaran di dalam apa yang kamu katakan tentang kebaikan, dan bukan di dalam yang ke tiga, bukan seorang pembuat gambaran atau peniru, dan jika kamu mampu melihat pengejaran-pengejaran yang membuat orang-orang lebih baik atau lebih buruk di dalam kehidupan pribadi ataupun umum, beritahukanlah kepada kami Negara apa yang pernah lebih baik diperintah oleh pertolonganmu? Pengaturan baik dari Lacadaemon ditujukan kepada Lycurgus, dan banyak kota lain, besar ataupun kecil, yang telah secara sama teruntungkan oleh orang-orang yang lain; tetapi siapa yang mengatakan bahwa kamu adalah pelegislasi yang baik kepada mereka dan telah melakukan apapun kebaikan kepada mereka? Italia dan Siciliy membangga-banggakan Charondas, dan ada Solon yang masyhur di antara kita, tetapi kota apa yang memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang kamu?’ Apakah ada satupun kota yang ia mungkin sebutkan?”

“Aku pikir tidak,” kata Glaucon; “bahkan para pengikut Homer sendiri akan tidak menyebutkan walaupun satu.”

“Baik, kemudian, adakah riwayat tentang perang yang dijalani secara berhasil olehnya, atau dibantu oleh nasihat-nasihatnya, ketika ia hidup?”

“Tidak ada.”

“Atau, adakah penemuan Homer yang bisa diterapkan kepada seni-seni atau kepada kehidupan manusia, semacam dari Thales orang Milesia atau dari Anacharchis orang Scythia, dan orang-orang lain yang berbakat?”

“Sama sekali tidak ada yang semacam itu.”

“Tetapi, jika Homer tidak pernah melakukan pelayanan umum apapun, apakah ia pernah secara pribadi sebagai penuntun atau guru dari siapapun? Apakah ia memiliki di dalam masa kehidupannya teman-teman yang suka bersamanya, dan yang menurunkan kepada generasi pelanjut sebuah jalan hidup Homeris, semacam yang didirikan oleh pengikut Pythagoras yang sangat secara besar dicintai untuk kebijaksanaannya, dan yang pengikut-pengikutnya sampai kepada hari ini peringati untuk aturan yang dinamai mengikutinya?”

“Tidak ada dari semacam demikian yang terekam darinya. Untuk secara yakin, Socrates, Creophylus, teman Homer, anak dari daging itu, yang namanya selalu membuat kita tertawa, mungkin akan menjadi lebih konyol daripada namanya, sebagai sebuah perwakilan kepada budaya dan pendidikan Homeris, jika apa yang dikatakan tentang Homer adalah benar. Karena riwayat mengatakan bahwa Homer benar-benar diabaikan di masa kehidupannya sendiri oleh teman dari daging itu.”

“Ya,” aku menjawab, “itu adalah riwayat tersebut. Tetapi bisakah kamu membayangkan, Glaucon, bahwa jika Homer benar-benar mampu mendidik dan meningkatkan manusia, jika ia memiliki pengetahuan dan bukan hanya seorang peniru, bisakah kamu membayangkan, aku berkata, bahwa ia akan tidak memiliki banyak pengikut, dan dihormati dan dicintai oleh mereka? Protagoras dari Abdera dan Prodicus dari Ceos, dan serumah yang lain, hanya harus berbisik kepada orang-orang di zamannya: ‘Kalian akan tidak pernah mampu mengatur rumah milik kalian ataupun Negara kalian sampai kalian menunjuk kami sebagai pengatur-pengatur pendidikanmu.’ Peralatan cerdas dari mereka ini memiliki sebuah pengaruh di dalam membuat mereka mencintai mereka sehingga teman-temannya semuanya membawa mereka di pundak-pundak mereka. Dan apakah mungkin bahwa pengikut-pengikut dari Homer, atau lagi dari Hesiod, akan membiarkan manapun dari mereka untuk berkeliling sebagai pelantun rapsodi, jika mereka benar-benar mampu untuk membaikkan manusia? Bukankah mereka akan menjadi tidak berkeinginan berpisah dengan mereka sebagaimana dengan emas, dan memaksa mereka untuk tinggal di rumah bersama mereka? Atau, jika sang guru tidak ingin tinggal, murid-murid akan mengikutinya di manapun, sampai mereka mendapatkan pendidikan yang cukup?”

“Ya, Socrates, itu menurutku cukup benar.”

“Kemudian bukankah kita harus menyimpulkan bahwa semua suku puitis ini, dimulai dengan Homer, hanyalah para peniru. Mereka menyalin gambar-gambar kebaikan dan sebagainya, tetapi kebenaran mereka tidak pernah capai? Tetapi, sebagaimana kita baru saja katakan, pelukis akan menggambar, walau ia tidak mengetahui apa-apa tentang seni pembuatan sepatu, seorang yang tampak sebagai pembuat sepatu kepadanya dan kepada yang tidak mengetahui apapun kecuali menilai hanya dengan warna-warna dan bentuk-bentuk.”

“Cukup demikian.”

“Di dalam cara yang serupa, penyair dengan kata-kata dan frasa-frasanya mungkin dikatakan bersandar kepada warna-warna dari beberapa seni, dirinya sendiri hanya memahami alamiah yang ia mampu menirunya; dan orang-orang yang lain, yang sejahil dirinya, yang hanya menilai dari kata-kata, akan menganggap kata-katanya paling baik, jika ia berbicara di dalam ritme, matra dan harmoni tentang pembuatan sepatu, atau taktik-taktik ketentaraan, atau apapun yang lain. Sangat berkuasa mantera yang dimiliki oleh perhiasan-perhiasan ini secara alamiah. Dan aku berpikir bahwa kamu telah mengamati, sangat miskin penampilan dongeng-dongeng dari para penyair ketika dilucuti dari warna-warna yang musik letakkan kepada mereka, dan diucapkan di dalam prosa sederhana.”

“Ya,” katanya.

“Mereka seperti wajah-wajah yang tidak pernah benar-benar indah, tetapi hanya mekar; dan sekarang kemekaran masa muda telah mengabaikan mereka?”

“Secara tepat.”

“Pertimbangkan ini. Peniru atau pembuat gambar tidak mengetahui apa-apa dari keberadaan yang benar, ia hanya mengetahui penampilan-penampilan. Bukankah aku benar?”

“Ya.”

“Kemudian biarkan kita memiliki sebuah pemahaman yang jelas, dan tidak menjadi puas dengan separuh penjelasan.”

“Lanjutkanlah.”

“Kita mengatakan bahwa pelukis akan melukis kekang, dan akan melukis gurdi?”

“Ya.”

“Dan pekerja kulit dan tembaga akan membuat mereka?”

“Tentu saja.”

“Tetapi apakah pelukis mengetahui bentuk sejati dari kekang dan gurdi? Bahkan juga tidak para pekerja tembaga dan kulit yang membuat mereka; hanya penunggang kuda yang mengetahui bagaimana untuk menggunakan mereka, ia mengetahui bentuk sejati mereka.”

“Benar.”

“Dan bukankah kita mungkin mengatakan hal yang sama dari semua hal?”

“Apa?”

“Bahwa ada tiga seni yang mempertimbangkan dengan semua hal. Satu yang menggunakan, sebuah yang lain yang membuat, sebuah yang ke tiga yang meniru mereka?”

“Ya.”

“Kebaikan, keindahan, dan kebenaran dari setiap penerapan, hal hidup ataupun mati, dan tindakan hanya menunjukkan kegunaan yang untuknya masing-masing dibuat atau diberikan oleh alam?”

“Ya.”

“Sehingga, pengguna dari setiap hal adalah yang paling mengetahuinya dengan pengalaman, dan ia melaporkan pengaruh-pengaruh baik dan buruk di dalam penggunaan hal-hal yang ia gunakan. Misalnya, pemain flute akan memberitahukan kepada pembuat flute yang mana dari flute-nya memuaskan kepada penampil, ia akan memberitahukan kepadanya bagaimana ia harus membuat mereka, dan yang lain akan mengikuti petunjuk-petunjuknya?”

“Tentu saja.”

“Yang satu mengetahui dan karena itu berbicara dengan kewenangan tentang kebaikan dan keburukan dari flute-flute, sementara yang lain, percaya kepadanya, akan melakukan hal yang diberitahukan olehnya?”

“Benar.”

“Peralatan adalah sama, tetapi tentang kebaikan atau keburukan darinya pembuat akan hanya mengikuti kepercayaan yang benar. Ini ia peroleh dari yang mengetahui, dengan berbicara kepadanya dan terpaksa mendengar hal yang dikatakannya, sementara pengguna akan memiliki pengetahuan?”

“Benar.”

“Tetapi apakah peniru memiliki salah satunya? Akankah ia mengetahui dari pengalaman atau dari penggunaan jika hal-hal yang ia gambar benar ataupun indah? Atau akan memiliki pendapat yang benar dari terpaksa berteman dengan orang lain yang mengetahui dan memberikannya petunjuk-petunjuk tentang apa yang ia harus gambar?”

“Tidak ada.”

“Kemudian ia akan tidak memiliki pendapat yang lebih benar juga tidak memilki pengetahuan tentang kebaikan atau keburukan dari peniruannya?”

“Aku menyangka tidak.”

“Seniman peniru akan berada di dalam pengetahuan yang sangat baik tentang ciptaan-ciptaannya?”

“Tidak, kebalikannya.”

“Dan tetap ia akan melanjutkan meniru tanpa mengetahui apa yang membuat sebuah hal baik atau buruk, sehingga ia akan meniru hal yang tampak baik kepada khalayak yang jahil?”

“Tepat demikian.”

“Sejauh demikian kemudian kita cukup baik bersetuju bahwa peniru tidak memiliki pengetahuan yang bernilai untuk disebutkan dari hal yang ia tiru. Peniruan hanya semacam permainan, tidak perlu ditanggapi secara bersungguh-sungguh, dan para penyair tragedi, mereka menulis di dalam ayat iambik ataupun di dalam heroik, adalah para peniru di dalam derajat tertinggi?”

“Sangat benar.”

“Demi langit, apakah peniruan telah dipertunjukkan oleh kita sebagai memperhatikan hal yang tiga kali dipindahkan dari kebenaran?”

“Tentu saja.”

“Dan apa kecakapan di dalam manusia yang kepadanya peniruan ditujukan?”

“Apa maksudmu?”

“Aku akan menjelaskan. Badan yang besar ketika dilihat dekat, tampak kecil ketika dilihat jauh?”

“Benar.”

“Dan benda yang sama tampak lurus ketika di luar air, dan bengkok ketika di dalam air; dan yang cekung menjadi cembung, oleh kekeliruan pandangan tentang warna-warna. Demikianlah setiap macam kebingungan diungkapkan di dalam diri kita, dan pelukisan memanfaatkan kelemahan alamiah ini seperti barang sihir, dan demikian juga lempar-tangkap dan banyak tipuan yang lain.”

“Benar.”

“Dan seni-seni mengukur dan membilang dan menimbang adalah keberkatan yang paling membantu pemahaman manusia tentang hal-hal yang tampak lebih besar atau lebih kecil, lebih ringan atau lebih berat, memberikan pengendalian kepada penghitungan dan pengukuran dan penimbangan?”

“Benar.”

“Dan ini, secara yakin, haruslah pekerjaan dari bagian di dalam jiwa yang menghitung dan beralasan.”

“Untuk yakin.”

“Dan ketika ini mengukur dan menetapkan beberapa hal sebagai setara atau lebih besar atau lebih kecil daripada yang lain, di saat yang sama, ada penampilam dari pertentangan?”

“Benar.”

“Tetapi bukankah kita mengatakan bahwa mustahil untuk hal yang sama di saat yang sama memiliki pendapat-pendapat yang berbeda tentang hal yang sama?”

“Benar.”

“Kemudian, bagian jiwa yang memiliki pendapat yang bertentangan dengan pengukuran adalah tidak sama dengan yang memiliki pendapat yang bersesuaian dengan pengukuran?”

“Benar.”

“Bagian yang lebih baik dari jiwa sepertinya adalah yang dipercayakan untuk pengukuran dan penghitungan?”

“Tentu saja.”

“Dan yang berlawanan kepada mereka adalah satu dari bagian-bagian yang lebih rendah dari jiwa?”

“Tidak ragu.”

“Inilah kesimpulan yang aku berusaha tiba kepadanya ketika aku mengatakan bahwa melukis atau menggambar, dan peniruan di dalam umum, jauh dipindahkan dari kebenaran ketika melakukan pekerjaan mereka; dan berhubungan dengan bagian di dalam diri kita yang jauh dari kecerdasan, dan murid dan teman untuk bukan tujuan yang waras atau benar.”

“Secara tepat.”

“Seni-seni peniruan adalah sebuah hal yang lebih rendah yang menikahi yang lebih rendah, dan memiliki keturunan yang lebih rendah.”

“Sangat benar.”

“Dan apakah ini ditujukan kepada pandangan saja, atau apakah ia juga memanjang kepada pendengaran, dan kepada hal yang kita sebut sebagai puisi?”

“Mungkin hal yang sama kepada puisi.”

“Biarkan kita tidak bersandar kepada sebuah kemungkinan yang diambil dari perumpamaan lukisan. Biarkan kita lebih jauh menjelaskan bagian dari pikiran yang kepadanya puisi bekerja, dan melihat jika ia adalah bagian yang lebih rendah ataukah bagian yang lebih terhormat.”

“Dengan senang hati.”

“Kita mungkin meletakkan pertanyaan tersebut demikian: Puisi peniruan, kita katakan, meniru tindakan-tindakan orang-orang, secara suka-rela ataupun tidak suka-rela, yang kepadanya, sebagaimana mereka membayangkan, dan sebagai sebuah hasil dari tindakan-tindakan mereka, mereka menyangka sesuatu yang baik atau buruk terjadi, dan mereka bergembira atau bersedih menurutnya. Adakah yang lain?”

“Tidak, tidak ada yang lain.”

“Tetapi, di dalam semua ini bersatu dengan dirinya sendiri, atau sebagaimana di dalam contoh pandangan, ada kebingungan dan perlawanan di dalam pendapat-pendapatnya tentang hal yang sama, sehingga di sini juga apakah tidak ada perselisihan dan ketidaktetapan di dalam kehidupannya? Walaupun aku secara sukar perlu membangkitkan lagi pertanyaan tersebut, karena aku mengingat bahwa semua ini telah diterima. Jiwa telah diterima oleh kita sebagai penuh oleh hal-hal ini dan sepuluh ribu perlawanan yang serupa terjadi di saat yang sama?”

“Dan kita benar,” katanya.

“Ya,” aku berkata, “benar, tetapi ada sebuah pengabaian yang sekarang harus disediakan.”

“Pengabaian apa?”

“Seorang baik, yang mengalami kemalangan kehilangan anak laki-lakinya atau apapun yang lain yang tersayang kepadanya, akan memikul kehilangan tersebut dengan lebih tenang daripada yang lain?”

“Ya.”

“Tetapi akan tidak memiliki kesedihan, atau haruskah kita mengatakan bahwa walaupun ia tidak berdaya bersedih, ia akan bersahaja di dalam kesedihannya?”

“Yang akhir,” ia berkata, “adalah pernyataan yang lebih benar.”

“Beritahukanlah kepadaku, akankah ia lebih berjuang dan bertahan dari kesedihannya ketika ia terlihat oleh sebayanya, ataukah ketika ia sendirian?”

“Akan membuat sebuah perbedaan besar jika ia terlihat atau tidak.”

“Ketika ia sendirian ia akan tidak keberatan mengatakan atau melakukan banyak hal yang akan membuatnya malu kepada siapapun yang mendengar atau melihat hal yang ia kerjakan?”

“Benar.”

“Bukankah hukum dan alasan yang memintanya melawan, sementara yang mendorongnya untuk menurutkan kesedihannya adalah perasaan?”

“Benar.”

“Ketika seseorang diseret di dalam dua arah yang berlawanan, kepada dan dari hal yang sama ini, kita mengatakan, memperlihatkan dua hal di dalam dirinya?”

“Tentu saja.”

“Satu dari mereka bersedia mengikuti tuntunan dari hukum?”

“Bagaimana maksudmu?”

“Hukum akan mengatakan bahwa bersabar di bawah penderitaan adalah yang terbaik, dan bahwa ia harus tidak membiarkan ketidaksabaran, karena kita tidak bisa mengetahui apa yang benar-benar baik atau buruk di dalam hal-hal semacam demikian; dan tidak ada yang diperoleh dari ketidaksabaran. Juga, karena tidak ada hal di kehidupan fana yang bernilai untuk kepentingan yang besar, dan kesedihan menghalangi hal yang paling diperlukan di saat itu.”

“Apa yang paling diperlukan?” ia bertanya.

“Bahwa kita harus merundingkan tentang hal yang telah terjadi, seperti ketika dadu telah dilemparkan, mengatur hubungan-hubungan di dalam jalan alasan sesuai angka yang naik, di dalam jalan yang alasan anggap sebagai yang terbaik. Bukan seperti kanak-kanak yang terjatuh, memegang bagian yang terantuk dan membuang waktu dengan menangis, tetapi selalu mengatur jiwa ke depan untuk menerapkan perobatan, membangkitkan hal yang sakit dan jatuh itu, menghalau teriakan kesedihan dengan seni penyembuhan.”

“Ya,” ia berkata, “itu jalan yang benar dari bertemu dengan serangan keberuntungan.”

“Ya,” aku berkata; “bagian yang terbaik dari kita bersedia mengikuti saran dari alasan.”

“Secara jelas.”

“Dan bagian yang lain, yang mendorong kita untuk mengingat-ingat permasalahan-permasalahan kita dan kepada ratapan, dan tidak bisa pernah tercukupi, kita mungkin sebut sebagai tidak beralasan, tidak berguna, dan pengecut?”

“Memang, kita mungkin.”

“Dan bukankah yang akhir, maksudku ajaran yang bersifat memberontak, bertabur sejumlah besar bahan untuk peniruan? Sementara yang bijaksana dan bersifat tenang, selalu hampir tidak berubah, tidak mudah meniru atau menghargai ketika ditiru, terutama di perayaan umum ketika sebuah kerumunan yang bercampur berkumpul di dalam sebuah teater. Karena perasaan yang dihadirkan adalah satu yang asing kepada mereka?”

“Tentu saja.”

“Kemudian penyair peniru yang dianggap terkenal, tidak berhubungan dengan bagian yang lebih baik dari jiwa, juga bukan yang seninya tuju; tetapi akan lebih memilih sifat bergairah dan galau, yang secara mudah ditiru?”

“Secara jelas.”

“Dan sekarang kita mungkin secara adil mengambilnya dan menempatkannya di sisi pelukis, untuk ia seperti ia di dalam dua jalan: pertama, di dalam sebanyak ciptaan-ciptaannya memiliki sebuah derajat yang lebih rendah daripada kebenaran. Di dalam ini, aku berkata, ia seperti ia, dan ia juga seperti ia di dalam memperhatikan bagian yang lebih rendah di dalam jiwa. Dan karena itu kita haruslah benar di dalam menolak untuk menerimanya ke dalam sebuah Negara yang diatur baik, karena ia membangunkan dan memberi makan dan menguatkan perasaan-perasaan dan menghalangi alasan. Sebagaimana di dalam sebuah kota ketika seorang yang buruk diizinkan untuk memiliki kewenangan dan yang baik disingkirkan, demikianlah di dalam jiwa manusia, sebagaimana kita menerima, penyair peniru menanamkan konstitusi yang buruk, untuk ia menurutkan alamiah yang tidak beralasan yang tidak bisa membedakan yang lebih besar dan yang lebih kecil, tetapi berpikir di suatu saat besar dan di lain waktu kecil. Ia adalah pembuat dari gambar-gambar dan sangat jauh dipindahkan dari kebenaran.”

“Secara tepat.”

“Tetapi kita belum mengajukan perhitungan yang terutama di dalam tuduhan kita: kekuatannya untuk menyakiti bahkan yang baik, dan ada sangat sedikit yang tidak disakiti, adalah sebuah hal yang menyedihkan?”

“Ya, tentu saja, jika pengaruh tersebut adalah hal yang kamu katakan.”

“Dengarkan dan nilailah. Yang terbaik dari kita, sebagaimana aku perhatikan, ketika kita mendengar kepada sebuah baris dari Homer, atau satu dari para penulis tragedi, yang di dalamnya ia menghadirkan pahlawan yang bersedih yang mengeluhkan kesedihannya di dalam sebuah pidato yang panjang, atau menangis, dan memukuli dadanya, yang terbaik dari kita, kamu mengetahui senang di dalam menyerah kepada simpati, dan terpesona kepada kecemerlangan dari penyair yang paling menggugah perasaan di dalam jalan ini.”

“Ya, tentu saja aku mengetahuinya.”

“Tetapi ketika kesedihan apapun menimpa kita, kemudian kamu mungkin mengamati bahwa kita bangga terhadap diri kita di mutu yang berlawanan. Kita akan berusaha tenang dan sabar; memercayai ini sebagai bagian yang bersifat laki-laki, dan yang lainnya yang membuat kita senang di dalam pengucapannya adalah sekarang menjadi sebagai bagian dari perempuan.”

“Benar,” katanya.

“Sekarang bisakah kita benar di dalam memuji dan mengagumi orang lain yang melakukan hal yang siapapun dari kita akan hindari dan malu?”

“Tidak,” ia berkata, “itu tentu saja tidak beralasan.”

“Cukup beralasan dari satu titik pandang.”

“Titik pandang apa?”

“Jika kamu mempertimbangkan keadaan yang sebelumnya,” aku berkata, “di dalam kemalangan kita sendiri, bagian jiwa yang dipaksa tertahan, dan yang lapar air mata dan tangisan yang baik dan kepuasan, karena alamiahnya mengharapkan hal-hal ini, dan ia adalah yang dipuaskan dan dibuat senang oleh para penyair. Alamiah yang lebih baik di dalam masing-masing kita tidak secara cukup dilatih oleh alasan atau bahkan kebiasaan, membiarkan unsur yang bersimpati untuk lepas karena kesedihan tersebut adalah milik orang lain, dan penonton meyakini bahwa tidak bisa ada rasa tidak terhormat kepada dirinya sendiri di dalam memuji dan mengasihani siapapun yang datang memberitahukannya betapa ia seorang yang baik, dan membuat sebuah pertengkaran yang tidak perlu tentang permasalahan-permasalahannya, ia berpikir bahwa kenikmatan tersebut adalah perolehan, dan mengapa ia harus sombong dan melewatkan ini dan puisi tersebut juga? Sedikit orang pernah menyadari, sebagaimana aku harus membayangkan, bahwa dari keburukan orang-orang lain suatu keburukan dihubungkan kepada dirinya sendiri. Dan sehingga perasaan dari kesedihan yang telah mengumpulkan kekuatan di memandang kemalangan-kemalangan milik orang-orang yang lain adalah secara sukar ditekan di dalam milik kita sendiri.”

“Sangat benar.”

“Dan bukankah hal yang sama juga untuk yang konyol? Ada gurauan-gurauan yang kamu akan malu menjadikannya dirimu sendiri, walaupun di panggung komik, atau di dalam pribadi, ketika kamu mendengar mereka, kamu secara besar terhibur oleh mereka, dan sama sekali tidak malu terhadap ketidaklayakan mereka. Kejadian dari iba diulangi, ada sebuah ajaran di dalam alamiah manusia yang cenderung membangkitkan sebuah tawa, dan ini yang pernah kamu tahan dengan alasan, karena kamu khawatir dianggap sebagai badut, sekarang dilepaskan kembali. Dan setelah merangsang rasa yang bisa dibangkitkan di teater, kamu mengkhianati secara tidak sadar dirimu sendiri di dalam berperan sebagai komik di rumah.”

“Cukup benar,” katanya.

“Dan hal yang sama mungkin dikatakan kepada gairah kelamin dan amarah dan semua perasaan yang lain, kepada gairah dan rasa sakit dan kenikmatan, yang dianggap tidak bisa dipisahkan dari setiap tindakan. Di dalam mereka semua, puisi memberi makan dan minum gairah-gairah, bukan mengeringkan mereka. Ia membiarkan mereka memerintah, walaupun mereka seharusnya dikendalikan, jika manusia hendak meningkat di dalam kebahagiaan dan kebaikan.”

“Aku tidak bisa menyangkalnya.”

“Karena itu, Glaucon,” aku berkata, “kapanpun kamu bertemu dengan para pemuji Homer yang menyatakan bahwa penyair ini adalah pendidik orang-orang Yunani, dan bahwa ia menguntungkan untuk pendidikan dan untuk mengatur hal-hal manusia, dan bahwa kamu harus mengambilnya dan berusaha mengatur kehidupanmu berdasarkan kepadanya. Kita mungkin mencintai dan menghormati orang-orang yang mengatakan hal-hal ini sebagai melakukan yang paling baik yang mereka bisa, dan kita bersedia untuk menerima bahwa Homer adalah yang terbesar dari para penyair dan pertama dari para penulis tragedi, tetapi kita harus tetap kukuh di dalam keyakinan kita bahwa hanya himne-himne kepada para dewa dan puji-pujian kepada orang-orang terkenal adalah yang akan kita terima ke dalam Negara kita. Karena jika kamu melampaui ini dan membiarkan masuk Muse yang bermadu, di dalam epik ataupun syair liris, kenikmatan dan rasa sakit akan menjadi para pemimpin di dalam Negara kita, bukan hukum dan alasan dari manusia, yang terbukti sebagai yang terbaik.”

“Benar,” katanya.

“Dan sekarang sejak kita telah meninjau ulang pokok bahasan puisi, biarkan ini pertahanan kita untuk menunjukkan tidak beralasan penilaian kita yang terdahulu di dalam mengusir dari Negara kita sebuah seni yang memiliki kecenderungan-kecenderungan yang kita telah gambarkan, karena alasan memaksa kita. Tetapi bahwa ia mungkin menghubungkan kepada kita apapun kekasaran atau kekurangkesopanan, biarkan kita memberitahukan kepadanya bahwa ada perseteruan kuno antara filsafat dan puisi, ada banyak buktinya, semacam peribahasa ‘anjing yang bersemangat menggonggong kepada tuannya dan lantang di dalam omong kosong’dari orang-orang bodoh,’ dan ‘publik yang membudakkan ia yang terlalu bijaksana untuk kebaikan mereka sendiri,’ dan ‘para pemikir cerdik yang menganggap bahwa mereka hanya para pengemis;’ dan ada tidak terhitung pertanda-pertanda lain dari perseteruan kuno di antara mereka. Sehingga, biarkan kita membuat yakin teman manis kita dan perempuan saudara-saudara seni peniruan bahwa jika ia akan membuktikan judulnya untuk ada di dalam sebuah Negara yang teratur baik kita harus senang untuk menerimanya. Kita sangat meyakini pesona-pesonanya, tetapi kita tidak mungkin mengkhianati kebenaran. Aku berani berkata, Glaucon, bahwa kamu terpesona olehnya sebagaimana sebanyak diriku, terutama ketika ia tampil di dalam Homer?”

“Ya, memang, aku secara besar terpesona.”

“Haruskah aku mengajukan, kemudian, bahwa ia akan dibiarkan kembali dari pengasingan, tetapi dengan persyaratan ini saja. Bahwa ia membuat sebuah pembelaan dari dirinya sendiri di dalam liris atau suatu matra yang lain?”

“Tentu saja.”

“Dan kita mungkin lebih jauh memberikan kepada para pembelanya yang adalah para pecinta puisi dan yang bahkan bukan penyair, hak untuk berbicara di dalam prosa untuk kebaikannya: biarkan mereka mempertunjukkan bahwa ia bukan hanya menyenangkan tetapi juga berguna kepada Negara-negara dan kepada kehidupan manusia, dan kita akan mendengarkan dengan semangat yang baik. Karena akan kembali jelas kepada kita jika bisa mempertunjukkan bahwa ia memberikan bukan hanya kenikmatan tetapi kegunaan.”

“Tentu saja,” ia berkata, “kita haruslah menjadi yang memerolehnya.”

“Jika pembelaannya gagal, temanku yang baik, seperti orang-orang lain yang mencintai, tetapi meletakkan sebuah keengganan pada diri mereka sendiri ketika mereka berpikir cinta tersebut berlawanan kepada keperluan-keperluan mereka, demikian juga kita harus mengikuti cara dari para pecinta menyerahkannya, walaupun bukan tanpa sebuah perjuangan. Kita juga terilhami oleh cinta kepada puisi yang pendidikan dari Negara-negara yang terhormat telah tanamkan di dalam kita, dan karena itu kita akan membiarkannya tampil sebagai yang terbaik dan yang paling benar; tetapi sepanjang ia tidak mampu membuat baik pertahanannya, argumen milik kita ini harus menjadi sebuah mantera pelindung kita, yang kita akan ucapkan kepada diri-diri kita sendiri semetara kita mendengarkan nada-nadanya; supaya kita tidak terjatuh ke dalam cinta yang kekanak-kanakan kepadanya yang memikat banyak orang. Di semua kejadian kita adalah menyadari bahwa puisi sebagai yang telah kita gambarkan tidaklah untuk dianggap secara bersungguh-sungguh bersandar kepada kebenaran; dan ia yang mendengarkannya, harus menjaga jiwanya dan menjadikan kata-kata kita tentang puisi sebagai pengawalnya.”

“Ya,” ia berkata, “aku cukup setuju denganmu.”

“Ya, perjuangan besar,” aku berkata, “Glaucon yang baik, jauh lebih besar daripada yang kita pikirkan, jika seseorang akan menjadi baik atau buruk. Dan keuntungan apa untuk siapapun, jika di bawah pengaruh dari kehormatan atau uang atau kekuatan, ah, atau di bawah ketakjuban dari puisi, ia mengabaikan keadilan dan kebaikan?”

“Ya,” ia berkata; “aku telah teryakinkan oleh argumen tersebut, sebagaimana aku percaya bahwa siapapun yang lain juga demikian.”

“Dan bahkan belum disebutkan hadiah-hadiah dan penghargaan-penghargaan yang paling besar yang menanti kebaikan.”

“Apa, adakah yang lebih besar dari yang kita telah bicarakan? jika ada, mereka haruslah dari sebuah kebesaran yang tidak terkira. Benar-benar rentang dari masa muda hingga tua akan kecil dibandingkan dengan keseluruhan waktu. Katakanlah lebih ‘bukan apa-apa,’” ia menjawab.

“Mengapa, aku berkata, apakah kamu menganggap sebuah hal abadi harus secara bersungguh-sungguh dipertimbangkan untuk sebuah waktu yang kecil demikian, dan bukan di keseluruhan waktu? Dan haruskah seorang yang fana secara bersungguh-sungguh memikirkan rentang kecil ini lebih daripada yang keseluruhan?”

“Keseluruhan, tentu saja. Tetapi mengapa kamu bertanya?”

“Apakah kamu tidak menyadari,” aku berkata, “bahwa jiwa manusia tidaklah mati dan tidak bisa hancur?”

Ia memandangku heran, dan berkata, “Tidak, demi Zeus. Apakah kamu benar-benar mampu menyatakan ini?”

“Ya,” aku berkata, “aku harus, dan kamu juga. Tidak ada kesukaran di dalam membuktikannya.”

“Aku melihat sebuah kesukaran yang besar; tetapi aku harus suka untuk mendengarmu mengungkapkan argumen yang tidak berat ini.”

“Dengarkanlah kemudian.”

“Bicaralah,” ia menjawab.

“Adakah hal yang kamu sebut sebagai baik dan yang lain yang kamu sebut sebagai buruk?”

“Ya,” ia menjawab.

“Apakah sama dengan pemahamanku?”

“Apa?”

“Bahwa yang memburukkan dan menghancurkan adalah yang buruk, dan yang menyelamatkan dan meningkatkan adalah yang baik?”

“Ya.”

“Dan kamu menerima bahwa setiap hal memiliki sebuah kebaikan dan juga sebuah keburukan; misalnya ophtalmia adalah keburukan dari mata dan penyakit dari keseluruhan badan; sebagaimana lapuk dari jagung, dan busuk dari kayu, atau karat dari perunggu dan besi. Di dalam setiap hal, atau di dalam hampir semua hal, ada sebuah keburukan dan penyakit yang lekat?”

“Ya,” ia berkata.

“Dan apapun yang terkena oleh apapun dari keburukan-keburukan ini adalah dibuat buruk, dan akhirnya keseluruhan terurai dan mati?”

“Benar.”

“Kejahatan dan keburukan yang lekat di dalam masing-masing adalah kehancuran dari masing-masing; dan jika ini tidak menghancurkan mereka tidak ada hal lain tersisa untuk melakukannya; kebaikan tentu saja akan tidak menghanncurkan mereka, juga tidak lagi, hal yang tidak baik yang juga tidak buruk.”

“Tentu saja tidak.”

“Jika, kemudian, kita menemukan apapun yang memiliki pemburukan yang lekat ini tidak bisa terurai atau hancur, bukankah kita mungkin mengatakan bahwa hal semacam demikian tidak bisa hancur?”

“Itu mungkin dianggap demikian.”

“Baik,” aku berkata, “dan apakah tidak ada keburukan yang memburukkan jiwa?”

“Ya,” ia berkata, “ada semua keburukan yang kita baru saja lewati di dalam perbincangan: ketidakterhormatan, ketidakbersahajaan, kepengecutan, kejahilan.”

“Adakah apapun dari hal-hal ini yang menguraikan atau menghancurkannya? dan di sini jangan biarkan kita terjatuh di dalam kesalahan dari menganggap bahwa yang tidak adil dan yang bodoh, binasa melalui ketidakadilannya sendiri, yang adalah sebuah keburukan dari jiwa. Ambil pemisalan dari badan: Keburukan dari badan adalah sebuah penyakit yang membuang dan menurunkan dan menghancurkan badan; dan semua hal yang kita baru saja bicarakan datang kepada penghancuran melalui pemburukan yang, mengena kepada mereka dan melekat di dalam mereka dan sehingga menghancurkan mereka. Bukankah ini benar?”

“Ya.”

“Pertimbangkan jiwa di dalam jalan yang serupa. Apakah ketidakadilan atau keburukan lain yang ada di dalam jiwa, mengena kepada jiwa dan melekat di dalamnya akhirnya membawannya kepada kematian, dan sehingga memisahkannya dari badan?”

“Tentu saja tidak.”

“Dan bahkan,” aku berkata, “tidaklah beralasan untuk menganggap bahwa apapun bisa binasa melalui pengaruh dari keburukan luar, sementara tidak bisa dihancurkan dari dalam oleh pemburukan dari miliknya sendiri?”

“Ya, tidak beralasan,” ia menjawab.

“Pertimbangkanlah,” aku berkata, “Glaucon, kataku, bahwa bahkan keburukan dari makanan, basi, penguraian, atau apapun mutu buruk yang lain, ketika dicampurkan kepada makanan yang sebenarnya, tidaklah dianggap menghancurkan badan; walaupun, jika keburukan dari makanan berhubungan dengan pemburukan badan, kita harus mengatakan bahwa badan dihancurkan oleh sebuah pemburukan dari dirinya sendiri, yang adalah penyakit, dibawa oleh ini. Tetapi bahwa badan, sebagai satu hal, bisa dihancurkan oleh keburukan dari makanan, yang adalah hal yang lain, yaitu keburukan asing yang tidak menghasilkan yang lekat kepadanya. Ini kita harus benar-benar sangkal?”

“Benar.”

“Dan, di ajaran yang sama, kecuali suatu keburukan badaniah bisa menghasilkan sebuah keburukan jiwa, kita harus tidak menganggap bahwa jiwa, yang adalah satu hal, bisa diurai oleh apapun keburukan yang hanya bersifat luar yang tertuju kepada yang lain?”

“Ya,” ia berkata, “ada alasan di dalam itu.”

“Salah satu kemudian, biarkan kita menyangkal ini dan menunjukkan bahwa ia salah, atau, sementara ia tetap tidak tersangkal, biarkan kita tidak pernah mengatakan bahwa demam, atau apapun penyakit yang lain, atau pisau yang diletakkan kepada tenggorokan, atau bahkan pemotongan keseluruhan badan menjadi potongan-potongan terkecil, bisa menghancurkan jiwa, sampai ia sendiri terbukti menjadi tidak suci dan tidak terhormat akibat hal-hal ini dilakukan kepada badan; tetapi sebuah keburukan yang dari luar, yang tidak bisa memberikan keburukan dari dalam, kita harus tidak membiarkannya dikatakan bahwa jiwa atau apapun yang lain bisa dihancurkan di dalam jalan ini.”

“Tidak seorangpun akan pernah bisa membuktikan bahwa jiwa-jiwa manusia menjadi lebih tidak adil akibat kematian.”

“Tetapi jika seseorang tidak menerima keabadian dari jiwa, dan secara lantang mengatakan bahwa yang mati benar-benar menjadi lebih buruk dan tidak terhormat, kemudian, jika pembicara tersebut benar, aku menganggap bahwa ketidakadilan, harus dianggap berbahaya kepada yang tidak adil, seperti penyakit, dan bahwa mereka yang mengambil kekacauan ini mati oleh kekuatan penghancuran yang dimiliki oleh keburukan, dan yang membunuh mereka segera atau nanti, dan bukan seperti saat ini, penjahat menerima kematian di tangan-tangan dari orang-orang yang lain sebagai hukuman perbuatan-perbuatan mereka?”

“Tidak, demi Zeus,” ia berkata, “jika ketidakadilan berbahaya kepada yang tidak adil, kita akan tidak terlalu gentar untuknya, karena ia akan dihantarkan dari keburukan. Tetapi aku lebih menduga sebaliknya. Sesuatu yang membunuh yang lain jika ia bisa, tetapi sang pembunuh tetap hidup, ah, dan bukan hanya hidup tetapi baik juga; sejauh ia tinggal dari kematian.”

“Benar,” aku berkata; “jika keburukan alamiah yang lekat atau keburukan dari jiwa tidak mampu membunuh atau menghancurkannya; secara sukar hal yang ditunjuk sebagai kehancuran dari badan lain, menghancurkan sebuah jiwa atau apapun yang lain, kecuali hal yang untuknya ia ditujukan.”

“Ya, itu sukar demikian.”

“Tetapi jiwa yang tidak bisa dihancurkan oleh sebuah keburukan, miliknya ataupun asing, harus ada untuk selama-lamanya, dan jika ada selama-lamanya, haruslah abadi?”

“Tentu saja.”

“Itulah kesimpulannya,” aku berkata; “dan, jika sebuah kesimpulan yang benar, kemudian jiwa-jiwa harus selalu sama, untuk jika tidak ada yang dihancurkan mereka akan tidak berkurang di dalam bilangan. Juga tidak mereka bertambah, karena penambahan alamiah-alamiah yang abadi harus datang dari sesuatu yang fana, dan semua hal akan dengan demikian berujung di dalam keabadian.”

“Benar.”

“Tetapi ini kita tidak bisa memercayai, alasan akan tidak membiarkan kita, apapun lebih daripada kita bisa memercayai bahwa jiwa, di dalam alamiahnya yang paling benar, penuh oleh keragaman dan perbedaan dan ketidaksamaan.”

“Apa maksudmu?” katanya.

“Tidaklah mudah,” kataku, “untuk sebuah hal menjadi abadi, yang disusun dari banyak bagian tidak diletakkan bersama-sama di dalam jalan yang terbaik, sebagaimana sekarang tampak kepada kita dengan kejadian jiwa.”

“Tentu saja tidak.”

“Keabadiannya ditunjukkan oleh argumen sebelumnya, dan ada banyak bukti yang lain; tetapi untuk melihat ia sebagaimana sebenarnya, bukan sebagaimana kita memandangnya, terkotori oleh pertemuannya dengan badan dan kemalangan-kemalangan yang lain, kamu harus melihatnya dengan mata alasan, di dalam kemurniannya yang asli; dan kemudian keindahannya akan terungkap, dan keadilan dan ketidakadilan dan semua hal yang kita telah jelaskan akan dihadirkan lebih secara jelas. Sedemikian jauh, kita telah membicarakan kebenaran tentang ia sebagaimana ia tampak sekarang, tetapi kita harus mengingat juga bahwa kita melihatnya hanya di dalam sebuah keadaan yang mungkin dibandingkan kepada dewa laut Glaucus, yang bentuk aslinya sukar diperhatikan karena anggota-anggota alamiahnya terpecah dan terhancurkan dan terhantam oleh gelombang-gelombang di dalam semua macam jalan, dan lapisan-lapisan telah tumbuh menyelimuti mereka dari rumput laut dan tiram dan batu-batu, sehingga ia seperti monster daripada bentuk alamiahnya. Dan jiwa yang kita pandangi adalah di dalam keadaan yang serupa, terselubungi bentuknya oleh sepuluh ribu penyakit. Tetapi bukan di sana kita harus melihat, Glaucon.”

“Di mana kemudian?”

“Di cintanya kepada kebijaksanaan. Biarkan kita melihat hal yang ia pengaruhi, dan masyarakat dan percakapan apa yang ia cari, karena dirinya sendiri berkerabat dengan yang tidak mati dan abadi dan ilahiah; juga betapa berbeda ia jika secara keseluruhan mengikuti ajaran yang lebih tinggi ini, dan dibawa oleh dorongan ilahiah keluar dari lautan yang ia sekarang karam di dalamnya, terbersihkan dari batu-batu dan tiram-tiram dan hal-hal dari bumi dan batu karang yang, di dalam keragaman yang liar tumbuh mengitarinya karena ia makan di bumi, dan terbalut oleh hal-hal yang disangka baik dari kehidupan ini. Kemudian kamu akan melihat ia sebagaimana adanya, dan mengetahui jika ia memiliki satu bentuk ataukah banyak, atau alamiahnya. Dari pengaruh-pengaruhnya dan bentuk-bentuk yang ia ambil di dalam kehidupan yang sekarang ini aku berpikir bahwa kita telah sekarang cukup mengatakan.”

“Benar,” ia menjawab.

“Demikianlah,” aku berkata, “kita telah memenuhi persyaratan-persyaratan argumen tersebut; kita tidak memperkenalkan hadiah-hadiah dan kemenangan-kemenangan dari keadilan, yang, sebagaimana kamu telah katakan, bisa ditemukan di dalam Homer dan Hesiod; tetapi keadilan di dalam alamiahnya sendiri telah diperlihatkan sebagai yang terbaik untuk jiwa di dalam alamiahnya sendiri. Seseorang haruslah melakukan keadilan, memiliki cincin Gyges ataupun tidak, dan bahkan jika ditambahkan dengan memasang helm Hades.”

“Benar.”

“Dan sekarang, Glaucon, tidak bisa lagi ada penolakan, bisakah ada, kepada penunjukan kita terhadap keadilan dan kebaikan-kebaikan yang lain, semua hadiah dan pembayaran yang diberikan kepada jiwa dari para dewa dan manusia, kedua-duanya di dalam kehidupan dan setelah kematian.”

“Tentu saja tidak,” katanya.

“Akankah kamu membayar kepadaku, kemudian, hal yang kamu pinjam di dalam argumen?”

“Apa yang aku pinjam?”

“Anggapan bahwa orang adil harus tampak tidak adil dan orang yang tidak adil adil: untuk kamu dahulu berpendapat bahwa jika Negara yang benar dari kejadian tersebut tidak bisa secara munngkin lepas dari mata para dewa dan manusia, tetap perizinan ini harus dibuat demi argumen, supaya keputusan bisa dibuat antara keadilan yang mutlak dan ketidakadilan yang mutlak. Apakah kamu ingat?”

“Aku harus sangat disalahkan jika aku melupakannya.”

“Kemudian, sebagaimana sekarang mereka telah dibandingkan dan dinilai, aku meminta demi keadilan bahwa perkiraan yang di dalamnya ia dipegang oleh para dewa dan manusia dan yang kita terima sebagai miliknya harus sekarang dikembalikan kepadanya oleh kita; sejak ia telah diperlihatkan menganugerahkan kenyataan, dan bukan menipu mereka yang benar-benar memilikinya, biarkan hal yang telah diambil darinya diberikan kembali, supaya ia mungkin memenangi palm penampilan yang adalah miliknya juga, dan yang ia berikan kepada miliknya sendiri.”

“Permintaan tersebut,” ia berkata, “adalah adil.”

“Di dalam tempat pertama,” aku berkata, “dan ini adalah hal pertama yang akan dikembalikan, alamiah kedua-duanya dari yang adil dan yang tidak adil adalah benar-benar terketahui kepada para dewa.”

“Kita akan mengembalikan itu.”

“Dan jika mereka kedua-duanya terketahui kepada mereka, satu haruslah menjadi teman dan yang lain adalah musuh dari para dewa, sebagaimana kita terima dari permulaan?”

“Benar.”

“Dan kita harus setuju bahwa semua hal yang datang dari para dewa bekerja bersama-sama untuk yang paling baik untuk ia yang tersayang kepada para dewa, kecuali keburukan yang disebabkan oleh dosa-dosa dari kehidupan yang terdahulu?”

“Tentu saja.”

“Kemudian ini harus menjadi pemahaman kita tentang orang yang adil, bahwa bahkan ketika ia di dalam kemiskinan atau sakit, atau apapun yang lain yang tampak sebagai kemalangan, untuknya semua hal ini di ujung akhirnya akan baik, di dalam kehidupan dan kematian: untuk para dewa menjaga siapapun yang keinginannya adalah menjadi adil dan menjadi seperti dewa, meraih keserupaan ilahiah oleh pengejaran kebaikan, sejauh yang manusia bisa?”

“Ya,” ia berkata; “jika ia seperti dewa ia akan secara yakin tidak diabaikan oleh dewa.”

“Dan yang tidak adil, sebaliknya?”

“Tentu saja.”

“Semacam demikian, kemudian, palm-palm kemenangan yang para dewa berikan kepada yang adil?”

“Itulah keyakinanku.”

“Dan apa yang mereka terima dari manusia? Pandanglah hal-hal sebagaimana adanya, dan kamu akan melihat bahwa orang tidak adil yang cerdas adalah di dalam kejadian dari para pelari, yang berlari baik dari tempat memulai kepada tujuan tetapi tidak kembali lagi dari tujuan tersebut: mereka memulai secara tegap, tetapi hanya tampak konyol di ujung, menyelinap dengan telinga-telinga mereka di bahu mereka, dan tanpa mahkota; tetapi pelari sejati mendatangi akhir dan menerima hadiah dan dimahkotai. Inilah jalan dengan yang adil; ia yang menjalani sampai ujung setiap tindakan dan keadaan dari keseluruhan kehidupannya memiliki sebuah laporan yang baik dan membawa hadiah yang manusia harus berikan.”

“Benar.”

“Dan sekarang kamu harus membiarkanku jika aku mengatakan dari mereka semua yang dulu kamu katakan dari yang tidak adil? Aku akan mengatakan bahwa saat tumbuh lebih tua, mereka menjadi para pemimpin di dalam kota mereka sendiri jika mereka peduli; mereka menikahi orang yang mereka suka dan menikahkan yang mereka ingini. Semua yang dulu kamu katakan dari yang lain aku sekarang katakan dari mereka ini. Dan, di lain pihak, dari yang tidak adil aku katakan bahwa sejumlah yang lebih besar, walaupun mereka lolos di masa muda mereka, akhirnya ditemukan dan tampak konyol di ujung perjalanan mereka, dan ketika mereka tua dan menyedihkan dan sama-sama dicemooh oleh orang asing dan warga. Mereka dipukuli dan kemudian datanglah hal-hal yang tidak pantas untuk telinga yang baik, sebagaimana kamu benar-benar menyebut mereka, mereka akan dikerangkeng dan mata mereka dibakar keluar, sebagaimana kamu telah katakan. Dan kamu mungkin menganggap bahwa aku telah mengulangi sisa dari kisah kengerian darimu. Tetapi akankah kamu membiarkanku menganggap, tanpa mengucapkan mereka, bahwa hal-hal ini adalah benar?”

“Tentu saja,” ia berkata, “kamu mengatakan benar.”

“Inilah hadiah-hadiah dan penghargaan-penghargaan dan berkat-berkat yang dianugerahkan kepada yang adil oleh para dewa dan manusia di dalam kehidupan yang kini, beserta hal-hal baik yang lain yang keadilan sediakan dari dirinya sendiri.”

“Ya,” ia berkata; “dan mereka indah dan bertahan lama.”

“Namun,” aku berkata, “semua hal ini bukanlah apa-apa, di dalam bilangan ataupun besaran di dalam perbandingan dengan pembalasan-pembalasan lain yang menanti kedua-duanya yang adil dan yang tidak adil setelah kematian. Dan kamu harus mendengarkan mereka, dan kemudian kedua-duanya yang adil dan yang tidak adil akan menerima dari kita sebuah pembayaran penuh dari hutang yang argumen pinjam dari mereka.”

“Beritahukanlah kepadaku,” katanya, “tidak banyak hal yang aku akan lebih secara senang mendengarnya.”

“Baik, aku berkata, aku akan memberitahukan kepadamu sebuah kisah. Bukan satu dari kisah-kisah yang Odysseus ceritakan kepada pahlawan Alcinous, walaupun demikian, ini juga adalah sebuah kisah seorang pahlawan. Er anak laki-laki dari Armenius, yang lahir sebagai orang Pamphylia. Ia dibunuh di dalam sebuah perang, dan sepuluh hari kemudian, ketika mayat-mayat diambil saat telah membusuk, mayatnya ditemukan tidak membusuk, dan dibawa pulang untuk dikuburkan. Di hari yang ke dua belas, saat ia berbaring di kayu pemakaman, ia kembali hidup dan menceritakan kepada mereka hal-hal yang ia lihat di dunia lain. Ia mengatakan bahwa ketika jiwanya meninggalkan badan dan melakukan perjalanan dengan teman yang banyak, dan bahwa mereka mendatangi daerah misterius yang memiliki dua pembukaan di dalam bumi; mereka berdekatan, dan melawan mereka ada dua pembukaan di langit di atas. Di bentang antara mereka ada para hakim yang duduk, yang memerintahkan kepada yang adil, setelah mereka memberikan penghakiman terhadap mereka dan membacakan keputusan terhadap mereka di hadapan mereka, untuk naik dengan jalan surgawi di sebelah kanan; dan di dalam cara yang sama yang tidak adil diperintah oleh mereka untuk turun dengan jalan yang lebih rendah di sebelah kiri; mereka ini juga membawa lambng-lambang tetapi tertempel di punggung-punggung mereka, tentang semua perbuatan mereka. Ia mendekat, dan mereka memberitahukan kepadanya bahwa ia akan menjadi rasul yang akan membawa laporan dari dunia lain kepada manusia, dan mereka memerintahkan supaya ia mendengar dan melihat semua yang harus didengar dan dilihat di tempat itu. Kemudian ia memandang dan melihat di satu sisi jiwa-jiwa berangkat masing-masing di pembukaan langit dan bumi ketika keputusan telah diberikan kepada mereka; dan di dua pembukaan yang lain jiwa-jiwa yang lain, beberapa naik keluar dari bumi berdebu dan lelah dengan perjalanan, beberapa turun keluar dari langit bersih dan cerah. Dan bahwa mereka yang tiba dari waktu ke waktu tampak telah datang dari sebuah perjalanan jauh, dan mereka dengan gembira masuk ke dalam padang rumput, tempat mereka berkemah sebagaimana di sebuah perayaan; dan mereka yang saling mengenal satu sama lain memeluk dan berbincang-bincang, jiwa-jiwa yang datang dari bumi secara ingin tahu menanyakan tentang hal-hal di atas, dan jiwa-jiwa yang datang dari langit tentang hal-hal di bawah. Dan mereka menceritakan satu sama lain yang mereka telah lalui, dan yang satu menangis dan bersedih mengingat hal-hal yang mereka telah mengalami dan lihat di dalam perjalanan di bawah bumi, di perjalanan seribu tahun, sementara yang dari atas menggambarkan kegembiraan-kegembiraan surgawi dan penglihatan-penglihatan kepada keindahan yang tidak terkira.”

“Kisah tersebut, Glaucon, akan terlalu panjang untuk diceritakan; tetapi rangkumannya adalah ini: Ia mengatakan bahwa untuk setiap kesalahan yang mereka telah lakukan kepada siapapun mereka menderita sepuluh kali; dan ukuran rentang ini adalah masing-masing seratus tahun demikian dianggap sebagai panjang dari kehidupan manusia, dan denda yang mereka harus bayar sepuluh kali lipat di dalam seribu tahun. Jika, misalnya, ada siapapun yang menjadi penyebab dari kematian banyak orang, atau telah mengkhianati atau memperbudak kota-kota atau pasukan-pasukan, atau bersalah dari apapun kelakuan buruk yang lain, untuk masing-masing dan semua yang mereka serang mereka menerima hukuman sepuluh kali lipat, dan hadiah-hadih dari kebaikan dan keadilan dan kesucian adalah di dalam takaran yang sama. Aku perlu secara sukar mengulangi hal yang ia katakan tentang anak-anak kecil, yang mati segera setelah mereka lahir. Dari kesalehan dan ketidaksalehan kepada para dewa dan manusia, dan dari para pembunuh, ada pembayaran-pembayaran lain dan jauh lebih besar yang ia jelaskan. Ia menyebutkan bahwa ia hadir ketika satu dari ruh-ruh menanyai satu yang lain, 'di mana Ardiaeus yang agung?' Ardiaeus ini hidup seribu tahun sebelum Er. Ia adalah tiran dari suatu kota dari Pamphylia, dan telah membunuh ayahnya yang telah tua dan kakaknya, dan dikatakan telah melakukan banyak kejahatan besar yang lain. Jawaban dari ruh yang lain tersebut adalah: ‘Ia akan tidak datang ke sini dan akan tidak pernah datang. Dan ini,’ katanya, ‘adalah satu dari pemandangan-pemandangan mengerikan yang kami sendiri saksikan. Kami dahulu di mulut gua, dan, setelah menyelesaikan pengalaman-pengalaman kami, sedang akan kembali naik, ketika tiba-tiba Ardiaeus tampak bersama beberapa yang lain, paling banyak adalah para tiran; dan ada juga selain para tiran diri perseorangan yang dahulu adalah para penjahat besar. Mereka sedang, sebagaimana mereka meyakini, hendak kembali ke dunia atas, tetapi mulut tersebut, melain dari menerima mereka, memberikan sebuah auman, kapanpun satu dari para pendosa yang tidak bisa dipulihkan yang belum secara pantas dihukum ini mencoba untuk naik; dan kemudian orang-orang liar yang beringas, yang berdiri dan mendengar suara tersebut, menangkap dan membawa mereka pergi; dan Ardiaeus dan yang lainnya mereka ikat kepala dan kaki dan tangannya, dan melemparkan mereka turun dan mendera mereka, dan menyeret mereka menyusuri sisi jalan tersebut, menusuk mereka di tanduk-tanduk, dan menyatakan kepada yang lewat kejahatan-kejahatan mereka, dan bahwa mereka dibawa untuk dilemparkan ke dalam Tartarus.’ Dari semua kengerian yang mereka telah mengalami, ia mengatakan bahwa tidak ada kengerian seperti yang masing-masing mereka rasakan di saat itu, jika tidak mereka harus mendengar suara tersebut. Ketika telah sunyi, satu demi satu mereka naik dengan kegembiraan yang sangat besar. Hal-hal ini, kata Er, adalah denda-denda dan pembayaran-pembayaran, dan sebaliknya ada juga berkat-berkat besar.”

“Kemudian ruh-ruh yang di padang rumput telah tinggal tujuh hari, di hari ke delapan mereka harus melanjutkan perjalanan mereka, dan di hari ke empat setelahnya, ia mengatakan bahwa mereka datang kepada sebuah tempat sehingga mereka bisa melihat dari atas sebuah garis cahaya, lurus sebagai sebuah tiang, memanjang menembus langit dan bumi, warnanya seperti pelangi, hanya lebih cerah dan lebih murni, kepada ini mereka datang setelah sehari perjalanan, dan di sana, di tengah-tengah cahaya, mereka melihat ujung dari rantai langit teruntai ke bawah dari atas, cahaya ini adalah  sabuk langit, dan menahan bersama-sama lingkaran alam semesta, seperti ikatan trireme. Dari ujung-ujung ini menguntai kumparan Keperluan, yang padanya perputaran berjalan. Tangkai dan kait kumparan ini terbuat dari baja, dan kumparannya dibuat dari separuh baja dan separuh bahan-bahan yang lain. Kumparan tersebut seperti bentuk kumparan yang digunakan di bumi; dan penggambarannya menunjukkan bahwa ada satu kumparan besar yang cukup tertekuk keluar, dan ke dalam ini terpasang sebuah yang lain yang lebih kecil, dan sebuah yang lain, dan sebuah yang lain, dan empat yang lain, sehingga keseluruhannya delapan, seperti peti-peti yang terisi ke dalam satu ke yang lainnya. Kumparan-kumparan tersebut mempertunjukkan ujung-ujung mereka di sisi atas, dan di sisi yang lebih rendah semuanya bersama-sama membentuk kumparan yang berlanjutan. Ini tertembus oleh tiang kumparan, yang dikembalikan melalui pusat dari yang ke delapan. Kumparan yang pertama dan yang paling luar memiliki tepian yang paling lebar, dan tujuh kumparan yang lain lebih sempit, di dalam takaran-takaran sebagai berikut ukuran yang ke enam setelah yang pertama, yang keempat setelah yang ke enam; kemudian yang ke delapan; yang ke tujuh adalah yang ke lima, yang ke lima adalah yang ke enam, yang ke tiga adalah yang ke tujuh, terakhir dan yang ke delapan datang yang ke dua. Yang paling besar dari bintang-bintang yang diketahui berkerlap-kerlip, dan yang ke tujuh adalah yang paling cerah; yang ke delapan diwarnai oleh pantulan cahaya dari yang ke tujuh; yang ke dua dan yang ke lima di dalam warna yang menyerupai satu sama lain, dan lebih kuning daripada yang sebelumnya; yang ke tiga memiliki cahaya yang paling putih; yang ke empat kemerah-merahan; yang ke enam ke dua yang putih. Sekarang keseluruhan kumparan memiliki gerakan yang sama, tetapi saat seluruhnya berputar di dalam satu arah, tujuh lingkaran dalam bergerak secara lambat di dalam yang lain, dan dari mereka ini yang paling cepat adalah yang ke delapan, kemudian yang ke tujuh, ke enam, dan ke lima, yang bergerak bersama-sama. Urutan ke tiga tercepat tampak bergerak berdasarkan hukum ini berbalikan gerakan yang ke empat, yang ke tiga tampak ke empat dan yang ke dua ke lima. Kumparan tersebut berbalik di lutut Keperluan; dan di permukaan atas dari masing-masing lingkaran adalah penyanyi perempuan, yang berputar bersama mereka, menyanyikan himne bersuara atau bernada tunggal. Delapan bersama-sama membentuk sebuah harmoni; dan berkeliling, di jarak-jarak yang setara. Ada kumpulan lain, tiga di dalam bilangan, masing-masing duduk di singgasananya: mereka ini adalah Takdir, perempuan anak dari Keperluan, yang mengenakan jubah putih dan garland di kepalanya, Lachesis dan Clotho dan Atropos, yang menemani dengan suara-suara mereka harmoni para penyanyi perempuan Lachesis menyanyikan masa lalu, Clotho masa kini, Atropos masa depan. Clotho dari waktu ke wakutu membantu dengan sentuhan tangan kanannya peredaran dari lingkaran luar kumparan, dan Atropos dengan tangan kirinya menyentuh dan menuntun yang lebih di dalam, dan Lachesis memegang masing-masing bergantian, pertama dengan satu tangan dan kemudian dengan yang lain.”

“Ketika Er dan ruh-ruh tiba, mereka diundang untuk langsung pergi ke hadapan Lachesis, kemudian pertama-tama datang nabi yang membariskan mereka di dalam jarak-jarak yang teratur, kemudian ia mengambil dari lutut dari Lachesis undian-undian dan contoh-contoh kehidupan, dan setelah menaiki sebuah mimbar yang tinggi, ia berbicara sebagai berikut: ‘Dengarkanlah kata dari Lachesis, puteri dari Keperluan. “Jiwa-jiwa yang telah hidup sehari, pandanglah sebuah siklus baru dari kehidupan dan kematian. Ruh penuntun akan tidak diserahkan kepada kalian, tetapi kalian pilihlah ruh penuntun kalian. Biarkan ia yang mengambil undian pertama memiliki pilihan pertama, dan kehidupan yang ia pilih harus menjadi takdirnya. Kebaikan adalah merdeka, dan sebagaimana seseorang menghargai atau tidak menghargai ia ia akan memiliki lebih banyak atau lebih sedikit darinya. Pertanggungjawaban adalah bersama sang pemilih. Dewa diluruskan.”’ Ketika sang penerjemah telah berbicara demikian ia mengacak undian-undian secara sama di antara mereka semua, dan masing-masing dari mereka mengambil undian yang jatuh di dekat dirinya, semuanya kecuali Er yang tidak dibiarkan, dan masing-masing saat mengambil undian melihat bilangan yang ia terima. Kemudian sang penerjemah menempatkan di lantai di hadapan mereka contoh-contoh dari kehidupan-kehidupan. Ada lebih banyak kehidupan daripada jiwa-jiwa yang hadir, dan mereka dari semua macam. Ada kehidupan-kehidupan dari setiap binatang dan manusia di dalam setiap keadaan. Dan ada tirani-tirani di antara mereka, beberapa menjalani habis kehidupan tiran, yang lainnya patah di tengah dan tiba di ujung di dalam kemiskinan dan pengasingan dan menjadi pengemis; dan ada kehidupan-kehidupan dari orang-orang yang terkenal, beberapa terkenal untuk bentuk dan keindahan mereka sebagaimana untuk kekuatan dan keberhasilan di dalam permainan-permainan, atau, lagi, untuk kelahiran mereka dan mutu-mutu dari para pendahulu mereka; dan beberapa yang kebalikan dari terkenal untuk mutu-mutu yang berlawanan. Dan dari para perempuan juga; tidak ada, bagaimanapun, watak tertentu mereka, karena jiwa, ketika memilih sebuah kehidupan baru, harus dari keperluan mejadi berbeda. Tetapi ada setiap mutu yang lain, dan semua hal bercampur dengan satu sama lain, dan juga unsur-unsur dari kekayaan dan kemiskinan, dan penyakit dan kesehatan; dan ada keadaan-keadaan pertengahan juga. Dan di sini, Glaucon yang baik, bahaya tertinggi dari keadaan manusia; dan karena itu kehati-hatian yang paling tinggi harus diambil. Biarkan masing-masing kita meninggalkan setiap macam pengetahuan yang lain dan mengejar dan mengikuti satu hal saja, jika secara kebetulan ia mungkin mampu untuk belajar dan mungkin menemukan seseorang yang akan membuatnya mampu untuk belajar dan membedakan antara baik dan buruk, dan sehingga memilih selalu dan di manapun kehidupan yang lebih baik saat ia memiliki kesempatan. Ia harus mempertimbangkan penanggungan dari semua hal ini yang kita telah sebutkan secara terpisah dan secara bersama-sama kepada kebaikan; ia harus mengetahui pengaruh dari keindahan ketika dipasangkan dengan kemiskinan atau kekayaan di dalam sebuah jiwa yang khusus, dan akibat-akibat baik dan buruk dari kelahiran yang terhormat dan papa, dari kedudukan pribadi dan umum, dari kekuatan dan kelemahan, dari kecerdasan dan kedunguan, dan dari semua jiwa, dan penggunaan mereka ketika terbaurkan; dan sehingga dengan mempertimbangkan semua hal ini ia akan mampu membuat pilihan yang beralasan di antara kehidupan yang lebih baik dan yang lebih buruk, dengan matanya lekat kepada alamiah jiwanya, memberikan nama buruk kepada kehidupan yang membuat jiwanya lebih tidak adil, dan baik kepada kehidupan yang akan membuat jiwanya lebih adil; semua yang lain ia akan tidak hargai. Untuk kita telah melihat dan mengetahui bahwa ini adalah pilihan yang terbaik kedua-duanya di dalam kehidupan dan setelah kematian. Seseorang harus mengambil bersamanya ke dalam dunia bawah sebuah keyakinan teguh di dalam kebenaran dan hak, supaya di sana juga ia mungkin tidak tersilaukan oleh gairah dari kekayaan atau yang lain pikatan-pikatan dari keburukan, jika tidak, mendatangi tirani-tirani dan kejahatan-kejahatan yang serupa, ia melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak bisa diobati kepada orang-orang yang lain dan juga dirinya sendiri menderita lebih buruk; tetapi biarkan ia mengetahui bagaimana untuk memilih pertengahan dan menghindari yang keterlaluan di masing-masing sisi, sejauh yang mungkin, bukan hanya di dalam kehidupan ini tetapi di dalam semua yang akan datang. Karena ini adalah jalan kebahagiaan.”

“Dan berdasarkan kepada laporan dari rasul dari dunia lain inilah yang sang nabi katakan di saat tersebut: ‘Bahkan untuk yang datang terakhir, jika ia memilih secara bijaksana dan akan hidup secara tekun, ada diberikan sebuah keberadaan yang berbahagia dan yang bukan tidak diharapkan. Biarkan ia yang memilih pertama tidak gegabah, dan biarkan ia yang memilih terakhir tidak putus asa.’ Dan ketika ia telah berkata demikian, ia yang memiliki pilihan pertama maju dan di dalam sekejap memilih tirani yang paling besar; di dalam kedunguan dan keserakahan ia memilihnya, ia tidak memikirkan persoalan secara keseluruhan, dan tidak mengamati bahwa termasuk di dalamnya adalah memangsa anak-anaknya sendiri, dan kengerian-kengerian yang lain. Tetapi ketika ia memiliki waktu untuk memikirkan, dan melihat hal yang di dalam undian tersebut, ia mulai memukuli dadanya dan meratapi pilihannya, melupakan pernyataan sang nabi; untuk, melain dari melemparkan penyalahan dari kemalangannya kepada dirinya sendiri, ia menuding peluang dan para dewa, dan setiap hal kecuali dirinya sendiri. Sekarang ia adalah satu dari mereka yang datang dari langit, dan di dalam kehidupan yang sebelumnya telah tinggal di dalam sebuah Negara yang diatur baik, tetapi kebaikannya hanya persoalan kebiasaan, dan ia tidak ada memiliki filsafat. Dan benar dari yang lain yang salah memilih secara serupa, bahwa sejumlah yang lebih besar dari mereka datang dari langit dan karena itu mereka tidak pernah diajari oleh penghukuman, sementara para peziarah yang datang dari bumi, setelah menderita dan melihat yang lain menderita, tidak terburu-buru untuk memilih. Dan disebabkan oleh mereka tidak berpengalaman, dan juga karena undian tersebut adalah sebuah peluang, banyak jiwa menukarkan sebuah nasib baik untuk sebuah nasib buruk atau sebuah nasib buruk untuk sebuah yang baik. Untuk jika di ketibaannya di dalam dunia ini seseorang selalu memiliki memberikan dirinya sendiri sejak pertama kepada filsafat secara sadar, dan telah cukup beruntung di dalam bilangan dari undian, ia mungkin, sebagaimana sang rasul laporkan, berbahagia di sini, dan juga perjalanannya kepada sebuah kehidupan lain dan kembali kepada ini, melain dari kasar dan di bawah tanah, akan halus dan surgawi. Paling mengherankan, katanya, ia adalah sebuah pemandangan yang pantas disaksikan, sedih dan lucu dan aneh, karena pilihan dari jiwa-jiwa tersebut paling banyak berdasarkan kepada pengalaman mereka dari sebuah kehidupan yang sebelumnya. Di sana ia melihat jiwa yang dulunya Orpheus memilih kehidupan seekor angsa oleh kebenciaannya kepada ras para perempuan, membenci untuk dilahirkan oleh seorang perempuan karena mereka adalah para pembunuhnya; ia juga memandang jiwa Thamyras yang memilih kehidupan dari seekor burung nightingale. Burung-burung musikal, di lain pihak, seperti angsa dan pemusik-pemusik yang lain, ingin menjadi manusia. Jiwa yang memeroleh undian ke dua puluh memilih kehidupan seekor singa, dan ini adalah jiwa dari Ajax anak Telamon, yang tidak ingin menjadi manusia, mengingat ketidakadilan yang diputuskan oleh senjata Achilles. Berikutnya adalah Agamemnon, yang mengambil kehidupan seekor rajawali, karena seperti Ajax, ia membenci alamiah manusia karena penderitaan-penderitaannya. Di sekitar pertengahan datang undian dari Atalanta, yang melihat kemasyhuran seorang Atlet, tidak mampu menahan godaan tersebut: dan setelah ia jiwa dari Epeus laki-laki anak dari Panopeus memasuki alamiah seorang perempuan yang terampil di dalam seni-seni; dan jauh di antara yang terakhir memilih, jiwa dari pelawak Thersites diletakkan kepada bentuk seekor monyet. Ada datang juga jiwa dari Odysseus belum membuat sebuah pilihan, dan undiannya kebetulan yang terakhir dari mereka semuanya. Kenangan dari kerja keras yang dahulu, telah menghalaunya dari ambisi, dan ia berkeliling cukup lama di dalam mencari kehidupan seorang biasa yang hanya melakukan urusannya sendiri. Ia mendapat beberapa kesukaran di dalam menemukan ini, yang tergeletak dan diabaikan oleh setiap orang yang lain. Ketika ia melihatnya, ia berkata bahwa ia akan telah melakukan pemilihan tersebut andai ia pertama dan bukan terakhir, dan bahwa ia gembira memilikinya. Dan bukan hanya manusia beralih ke dalam binatang-binatang, tetapi aku harus juga menyebutkan bahwa ada binatang-binatang jinak dan liar yang berubah ke dalam satu sama lain dan ke dalam alamiah-alamiah manusia yang bersesuaian. Yang baik ke dalam yang lembut, dan yang buruk ke dalam yang buas, di dalam semua macam pencampuran dan penggabungan.”

“Semua jiwa kini telah memilih kehidupan mereka, dan mereka pergi di dalam aturan dari pilhan mereka kepada Lachesis, yang mengirim mereka masing-masing bersama, untuk menjadi sebagai pengawal mereka dari kehidupan-kehidupan mereka dan sebagai pemenuh dari pilihan tersebut, ruh penuntun yang mereka telah pilih secara acak. Ruh ini menuntun jiwa-jiwa pertama-tama kepada Clotho, dan menarik mereka ke dalam  peredaran kumparan yang disebabkan oleh tangannya, dengan demikian mensyahkan nasib dari masing-masing; dan kemudian, ketika mereka dilekatkan kepada ini, membawa mereka kepada Atropos, yang memutarkan alur-alur tersebut dan membuat mereka tidak bisa diubah, tanpa memutar kembali mereka lewat di bawah singgasana Keperluan; dan ketika mereka telah semuanya berlalu, mereka berbaris di bawah panas yang luar biasa menuju padang Kelupaan, yang adalah sebuah dataran gersang yang miskin pepohonan dan semua tumbuh-tumbuhan; dan kemudian menuju malam mereka berkemah di tepi sungai Lethe, yang airnya tidak bisa ditampung, dari ini mereka semua dipaksa minum sejumlah tertentu, dan mereka yang tidak diselamatkan oleh kebijaksanaan meminum lebih daripada yang perlu, dan setiap yang meminumnya melupakan semua hal. Sekarang setelah mereka pergi untuk beristirahat, sekitar tengah malam ada sebuah badai petir dan gempa bumi, dan kemudian di dalam sekejap mereka didesak naik di dalam semua cara dari jalan-jalan kepada kelahiran mereka, seperti bintang-bintang yang jatuh. Ia sendiri terhindar dari meminum air tersebut. Tetapi di dalam cara apa atau oleh jalan apa ia kembali kepada badannya, ia tidak bisa mengatakan. Saat pagi, terbangun secara tiba-tiba, ia menemukan dirinya sendiri terbaring di tumpukan kayu pemakaman.”

“Demikianlah, Glaucon, kisah tersebut telah diselamatkan dan tidak binasa, dan akan menyelamatkan kita jika kita mematuhi perkataan yang diucapkan, dan kita harus melewati secara aman sungai Kelupaan dan jiwa kita akan tidak terkotori. Sementara nasihatku adalah bahwa kita selalu berpegang teguh kepada jalan surgawi dan selalu mengikuti keadilan dan kebaikan, mempertimbangkan bahwa jiwa adalah abadi dan mampu menahan setiap macam kebaikan dan setiap macam keburukan. Demikianlah kita harus hidup menyayangi kepada satu sama lain dan kepada para dewa, kedua-duanya sementara masih di sini dan ketika, seperti para pemenang di dalam permainan yang pergi berkeliling untuk mengumpulkan penghargaan-penghargaan, kita menerima hadiah kita. Kedua-duanya di dalam kehidupan ini dan di dalam perjalanan seribu tahun, yang aku telah ceritakan kepadamu, kita harus menjalaniya secara baik.”

Akhir Republik Buku 10.

No comments:

Post a Comment