“Sekarang,” aku berkata, “bandingkan alamiah kita tercerahkan atau tidak
tercerahkan di dalam suatu pengalaman semacam ini. Gambarkanlah orang-orang
hidup di dalam sebuah gua bawah tanah, mulut gua tersebut terbuka menghadap
cahaya yang menyinari seluruh kedalaman gua. Gambarkanlah leher-leher dan
kaki-kaki mereka terantai sedari mereka kanak-kanak. sehingga mereka tetap di
tempat mereka, hanya mampu melihat ke depan, tercegah oleh rantai dari
memalingkan kepala-kepala mereka. Gambarkan cahaya tersebut dari sebuah api yang
menyala di atas di suatu jarak di belakang mereka, dan di antara api dan para
tahanan ada sebuah jalan yang timbul, dan kamu akan melihat sebuah tembok
rendah dibangun di sepanjang jalan tersebut, seperti pembatas yang para dalang pertunjukan boneka miliki di hadapan orang-orang, yang di atasnya mereka
mempertunjukkan boneka-boneka.”
“Lihatlah juga,” aku berkata, “orang-orang membawa melintasi tembok
tersebut semua macam peti, dan patung-patung manusia dan juga bentuk-bentuk
binatang terbuat dari kayu dan batu dan dari setiap macam bahan, beberapa dari para
pembawa ini berbicara, yang lainnya diam.”
“Kamu membicarakan sebuah gambaran yang aneh, dan tahanan-tahanan yang
aneh.”
“Seperti diri kita sendiri,” aku menjawab, “dan mereka hanya melihat
bayangan-bayangan mereka sendiri, atau bayangan-bayangan dari satu sama lain,
yang api lemparkan di tembok yang berlawanan dari gua tersebut?”
“Benar,” ia berkata, “bagaimana bisa mereka melihat apapun kecuali
bayangan-bayangan jika mereka tidak pernah dibiarkan menggerakkan kepala
mereka?”
“Dan benda-benda yang dibawa di dalam cara yang serupa mereka akan hanya
melihat bayangan-bayangan?”
“Ya,” katanya.
“Dan jika mereka mampu berbincang-bincang dengan satu sama lain, bukankah
mereka akan menganggap bahwa di dalam mereka menamai hal-hal yang mereka lihat,
mereka menamai benda-benda yang dibawa tersebut?”
“Benar.”
“Dan anggap lebih jauh bahwa penjara tersebut memiliki sebuah gema yang
datang dari sisi lain. Apakah menurutmu mereka akan meyakini ketika satu dari
yang lewat tersebut berbicara, bahwa sang pembicara selain daripada bayangan
yang melintas tersebut?”
“Demi Zeus, tidak menurutku,” ia menjawab.
“Kemudian di dalam setiap jalan,” aku berkata, “para tahanan semacam
demikian akan menganggap kebenaran bukan apa-apa kecuali bayangan-bayangan dari
benda-benda buatan.”
“Itu pasti.”
“Pertimbangkanlah, apa yang akan secara alamiah mengikuti jika para
tahanan tersebut dilepaskan dan dibebaskan dari kengerian mereka. Pertama-tama,
ketika siapapun dari mereka dibebaskan dan dipaksa secara tiba-tiba untuk
berdiri dan memalingkan lehernya dan berjalan dan memandang kepada cahaya, ia
akan menderita sakit-sakit yang tajam, kilauan akan menyulitkannya, dan ia akan
tidak mampu melihat kenyataan-kenyataan yang di dalam keadaan sebelumnya ia
telah melihat bayangan-bayangannya. Menurutmu apa yang akan menjadi jawabannya
jika seseorang berkata kepadanya bahwa yang ia lihat sebelumnya adalah sebuah
tipuan dan ilusi, tetapi bahwa sekarang, ketika lebih mendekati kenyataan dan menghadap
kepada hal-hal yang lebih nyata, ia memiliki sebuah peglihatan yang lebih nyata?
Dan kamu mungkin lebih jauh membayangkan bahwa pengarahnya menunjuk kepada
benda-benda tersebut saat mereka melintas dan memintanya untuk menamai mereka,
bukankah ia akan bingung? Bukankah ia akan meyakini bahwa bayangan-bayangan
yang ia sebelumnya lihat adalah lebih nyata daripada benda-benda yang sekarang
ditunjukkan kepadanya?”
“Jauh lebih nyata.”
“Dan jika ia dipaksa untuk memandang langsung kepada cahaya, bukankah ia
akan merasakan sakit di dalam matanya yang akan membuatnya berpaling untuk
mengambil dan menerima hal-hal yang ia bisa lihat, dan yang ia akan anggap
lebih jernih dam tepat daripada hal-hal yang sekarang diperlihatkan kepadanya?”
“Demikianlah.”
“Dan jika,” aku berkata, “seseorang menyeretnya menaiki sebuah pendakian
yang curam dan sukar, dan tidak melepaskannya sampai ia dipaksa ke dalam cahaya
matahari, bukankah ia akan menjadi tersakiti dan perih? Ketika ia mendekati
cahaya, matanya akan berkunang-kunang, dan ia akan tidak mampu melihat walau
satupun hal-hal yang sekarang kita sebut sebagai nyata?”
“Semuanya tidak di dalam sekejap,” ia berkata.
“Ia akan memerlukan pembiasaan untuk bisa membuatnya memandang hal-hal
dari dunia atas. Dan pertama-tama ia akan paling mudah melihat
bayangan-bayangan, selanjutnya pantulan-pantulan dari benda-benda dan
orang-orang di dalam air, dan kemudian benda-benda itu sendiri. Kemudian ia
akan menatap cahaya bulan dan bintang-bintang dan langit yang berkerlip, dan ia
akan melihat angkasa dan bintang-bintanng saat malam lebih baik daripada
matahari atau sinar matahari saat siang?”
“Tentu saja.”
“Terakhir ia akan mampu melihat matahari dan alamiah matahari, bukan
hanya pantulannya di dalam air atau di dalam cara asing yang lain, tetapi di
dalam dirinya sendiri di tempatnya sendiri.”
“Tentu saja.”
“Ia akan kemudian mengatakan bahwa inilah ia yang memberikan musim dan
tahun-tahun, dan adalah pengawal dari semua yang di dalam dunia yang bisa
dilihat, dan di dalam suatu jalan penyebab dari semua hal yang ia dan
teman-temannya biasa pandang?”
“Secara jelas,” ia berkata, “ia akan pertama-tama melihat matahari dan
kemudian alasan tentangnya.”
“Dan ketika ia mengingat tempat tinggalnya yang dulu, dan kebijaksanaan
gua dan rekan-rekannya tahanan, apakah kamu tidak menganggap bahwa ia akan
menyelamati dirinya sendiri di perubahan tersebut, dan mengasihani mereka?”
“Tentu saja ia akan demikian.”
“Dan jika mereka di dalam kebiasaan dari saling memberikan
penghormatan-penghormatan di antara diri mereka sendiri kepada mereka yang
paling cepat untuk mengamati bayangan-bayangan dan untuk menandai yang mana
dari mereka yang melintas sebelumnya, dan yang mengikuti setelahnya, dan yang
bersama-sama; dan siapa karena itu paling mampu menarik kesimpulan masa depan,
apakah kamu berpikir bahwa ia akan memedulikan penghormatan-penghormatan dan
kemenangan-kemenangan semacam demikian, atau mencemburui para pemilik mereka?
Akankah ia tidak mengatakan bersama Homer, lebih baik untuk menjadi seorang
pelayan miskin dari seorang tuan yang miskin, dan untuk memikul apapun,
daripada berpikir sebagaimana mereka dan hidup mengikuti cara mereka?”
“Ya,” ia berkata, “menurutku ia akan lebih baik menderita apapun daripada
menerima pemahaman-pemahaman salah ini dan hidup di dalam cara yang menyedihkan
ini.”
“Bayangkan sekali lagi,” aku berkata, “seseorang semacam demikian datang
secara tiba-tiba keluar dari matahari untuk ditempatkan kembali di dalam
keadaannya yang dulu. Bukankah ia akan benar-benar mendapati matanya penuh
kegelapan?”
“Untuk yakin,” katanya.
“Dan jika ada sebuah pertandingan, dan ia harus bertanding di dalam
mengukur bayangan-bayangan bersama para tahanan yang tidak pernah keluar dari
gua tersebut, sementara pandangannya masih lemah, dan sebelum matanya menjadi
mantap (dan waktu yang diperlukan untuk menerima kebiasaan memandang yang baru
ini mungkin sangat panjang) bukankah ia akan menggelikan? Orang-orang akan
mengatakan kepadanya bahwa ia dulu naik dan ia turun tanpa matanya, dan bahwa
lebih baik tidak bahkan untuk berpikir naik. Dan jika mungkin untuk menjatuhkan
tangan dan membunuh seseorang yang berusaha melepaskan dan menuntun mereka
naik, bukankah mereka akan membunuhnya?”
“Tidak perlu ditanyakan,” katanya.
“Keseluruhan alegori ini,” aku berkata, “kamu mungkin sekarang terapkan,
Glaucon yang baik, kepda argumen yang sebelumnya. Penjara tersebut adalah dunia
pemandangan, cahaya api adalah matahari, dan kamu akan tidak salah memahamiku
jika kamu menerangkan perjalanan naik tersebut sebagai kenaikan jiwa ke dalam
dunia kecerdasan berdasarkan dugaanku, yang atas keinginanmu, aku telah
ungkapkan secara benar ataupun secara salah dewa mengetahui. Tetapi, benar
ataupun salah, pendapatku adalah bahwa di dalam dunia pengetahuan, terakhir terlihat
dari semua hal dan secara sukar dilihat adalah ide kebaikan, dan bahwa ketika
terlihat, adalah juga disimpulkan sebagai penyebab dari semua hal yang indah
dan yang benar, orang-tua dan tuan dari cahaya di dalam dunia yang bisa
dilihat, dan sumber langsung dari alasan dan kebenaran di dalam dunia
kecerdasan. Inilah yang ia yang hendak bertindak secara beralasan, di dalam
khalayak ataupun pribadi harus menatapkan matanya kepadanya.”
“Aku setuju,” ia berkata, “sejauh aku mampu untuk memahamimu.”
“Terlebih lagi,” aku berkata, “kamu harus tidak heran bahwa mereka yang
memeroleh penglihatan indah ini tidak berkeinginan untuk turun kepada
hubungan-hubungan manusia. Jiwa-jiwa mereka bersegera ke dalam dunia atas tempat
mereka ingin untuk tinggali. Keinginan-keinginan mereka sangat alami, jika
alegori kita mungkin dipercaya.”
“Ya, sangat alami.”
“Dan adakah sesuatu apapun yang mengejutkan di dalam seseorang yang
datang dari perenungan-perenungan ilahiah kepada keadaan buruk manusia, salah
menyikapi dirinya sendiri di dalam sebuah cara yang menggelikan, jika sementara
matanya berkedip dan sebelum ia menjadi terbiasa kepada kegelapan-kegelapan
yang mengitari, ia dipaksa bertarung di sidang-sidang hukum, atau di dalam tempat-tempat
lain, tentang gambar-gambar atau bayangan-bayangan dari gambar-gambar dari
keadilan, dan berusaha untuk mempertemukan pemahaman-pemahaman dari mereka yang
belum pernah melihat keadilan yang mutlak?”
“Apapun kecuali mengejutkan,” ia menjawab.
“Siapapun yang memiliki kewarasan akan mengingat bahwa
kebingungan-kebingungan dari mata adalah dari dua macam, dan bangkit dari dua
penyebab, dari keluar dari cahaya ataupun dari pergi ke dalam cahaya, yang
benar kepada cahaya pikiran, cukup sebagaimana mata badaniah. Ia yang mengingat
ini ketika ia melihat siapapun yang penglihatannya bingung dan lemah, akan
tidak terlalu siap untuk tertawa; ia akan pertama-tama menanyakan jika jiwa
orang itu telah keluar dari cahaya yang lebih terang, dan tidak mampu melihat
karena tidak terbiasa kepada gelap, atau berpaling dari kegelapan kepada hari
berkunang-kunang oleh kelebihan cahaya. Dan ia akan memperhitungkan yang satu
di dalam keadaan dan keberadaan yang berbahagia, dan ia akan mengasihani yang
lainnya; atau, jika ia memiliki pemikiran untuk tertawa kepada jiwa yang datang
dari bawah kepada cahaya, akan ada lebih banyak alasan di dalam ini daripada di
dalam tertawa yang menyapa ia yang kembali dari atas keluar dari cahaya ke
dalam gua.”
“Itu,” ia berkata, “adalah sebuah pengertian yang adil.”
“Tetapi kemudian, jika aku benar, beberapa guru besar pendidikan
haruslah salah ketika mereka mengatakan bahwa mereka bisa meletakkan sebuah
pengetahuan ke dalam jiwa yang belum pernah di sana sebelumnya, seperti
pandangan ke dalam mata yang buta.”
“Mereka secara tidak ragu mengatakan ini,” ia menjawab.
“Sementara, argumen kita menunjukkan bahwa kekuatan dan kemampuan
belajar telah ada di dalam jiwa; dan bahwa sebagaimana mata tidak mampu
berpaling dari kegelapan kepada cahaya tanpa keseluruhan badan, demikian juga
alat pengetahuan hanya bisa oleh pergerakan dari keseluruhan jiwa dipalingkan
dari dunia yang mendatang ke dalam dunia yang ada, dan belajar beberapa derajat
untuk menanggung penglihatan dari ada, dan dari yang paling terang dan paling
baik dari ada, atau di dalam kata lain, dari kebaikan.”
“Benar.”
“Dan bukankah harus ada suatu seni yang akan memberikan perubahan di
dalam cara yang paling mudah dan paling cepat, bukan menanamkan indera
penglihatan, karena memang sudah ada, tetapi telah dibalikkan di dalam arah
yang salah, dan berpaling dari kebenaran?”
“Ya,” ia berkata, “sebuah seni semacam demikian mungkin diduga.”
“Dan sementara yang disebut sebagai kebaikan-kebaikan yang lain dari
jiwa tampak berkerabat kepada mutu-mutu badaniah, untuk bahkan ketika mereka
bukan secara asli semenjak lahir mereka bisa ditanamkan terkemudian oleh
kebiasaan dan latihan, kebijaksanaan lebih daripada apapun yang lain mengandung
sebuah unsur ilahiah yang selalu ada, dan oleh pengubahan ini dijadikan berguna
dan menguntungkan; atau, di lain pihak, menyakiti dan tidak berguna. Apakah
kamu tidak pernah mengamati kecerdasan picik yang berkilat dari mata yang tajam
dari seorang penjahat yang pintar? betapa gigih ia, betapa secara jelas jiwanya
yang remeh melihat jalan kepada ujungnya. Ia adalah kebalikan dari buta, tetapi
pandangan matanya yang tajam dipaksa ke dalam pelayanan dari keburukan, dan ia
adalah jahat di dalam takaran kepada kepintarannya.”
“Benar,” katanya.
“Tetapi apa jika ada sebuah pemotogan dari alamiah-alamiah semacam
demikian di masa-masa muda mereka; dan mereka terpotong dari
kenikmatan-kenikmatan sensual tersebut, semacam makan dan minum, yang, seperti
timah-timah pemberat, terpasang kepada mereka di kelahiran mereka, dan yang
menyeret mereka turun dan memalingkan pandangan jiwa mereka kepada hal-hal yang
di bawah. Jika, aku berkata, mereka telah dilepaskan dari halangan-halangan ini
dan dipalingkan di dalam arah yang berlawanan, indera yang sama di dalam mereka
akan melihat kebenaran setajam mereka melihat hal yang mata mereka terpaling
kepadanya sekarang.”
“Sangat sepertinya.”
“Ya,” aku berkata, “dan ada sebuah hal lain yang sepertinya, atau lebih
sebuah kesimpulan dari hal yang telah mendahului, bahwa tidak akan yang
terdidik dan yang tidak-diberitahukan kebenaran, juga tidak mereka yang tidak
pernah sampai di ujung pendidikan mereka, akan mampu mengurus Negara. Tidak
yang terdahulu, karena mereka tidak memiliki satupun tujuan dari tugas yang
adalah aturan dari semua tindakan mereka, pribadi sebagaimana juga umum; juga
tidak yang terakhir, karena mereka akan tidak bertindak kecuali terpaksa,
meyakini bahwa mereka telah tinggal terpisah di pulau-pulau dari yang terbaik.”
“Benar,” ia menjawab.
“Kemudian,” aku berkata, “urusan kita yang adalah para pendiri Negara
akan menjadi untuk memaksa pikiran-pikiran terbaik untuk memeroleh pengetahuan
itu yang kita telah pertunjukkan sebagai yang terbesar dari semuanya. Mereka
harus melanjutkan menaik sampai mereka tiba di kebaikan, tetapi ketika mereka
telah naik dan cukup melihat, kita harus tidak membiarkan mereka untuk
melakukan sebagaimana mereka melakukan sekarang.”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku bahwa mereka tetap tinggal di dunia atas, tetapi ini harus
tidak dibiarkan. Mereka harus dibuat turun lagi di antara para tahanan di dalam
gua, dan mengambil bagian dengan pekerjaan-pekerjaan dan
penghormatan-penghormatan mereka, mereka berharga untuk dimiliki ataupun
tidak.”
“Tetapi bukankah ini tidak adil?” ia berkata, “apakah kita akan
memberikan kepada mereka sebuah kehidupan yang lebih buruk, ketika mereka
mungkin memiliki sebuah yang lebih baik?”
“Kamu melupakan lagi, temanku,” aku berkata, “tujuan dari pelegislasi,
yang tidak bertujuan membuat satu tingkatan di dalam Negara berbahagia di atas
yang lainnya. Kebahagiaan tersebut akan di dalam keseluruhan Negara, dan ia
mengumpulkan para warga bersama-sama oleh bujukan dan keperluan, menjadikan
mereka para penyumbang kepada Negara, dan karena itu para penyumbang kepada
satu sama lain. Kepada ujung ini ia menciptakan mereka, bukan untuk membuat
senang diri mereka sendiri, tetapi untuk menjadi peralatan-peralatannya di
dalam menyatukan Negara.”
“Benar,” ia berkata, “aku tadi lupa.”
“Amatilah, Glaucon, bahwa akan tidak ada ketidakadilan di dalam memaksa
para filsuf kita untuk menjaga dan memelihara yang lain. Kita harus menjelaskan
kepada mereka bahwa di dalam Negara-negara lain, orang-prang dari tingkatan
mereka tidak diharuskan untuk berbagi di dalam kerja keras dari politik: dan ini
beralasan, karena mereka tumbuh di keinginan manis mereka sendiri, dan
pemerintah akan lebih tidak memiliki mereka. Belajar sendiri, mereka tidak bisa
diharapkan untuk menunjukkan sambutan untuk sebuah budaya yang mereka tidak
pernah menerimanya. Tetapi kami telah membawa kalian ke dunia untuk menjadi
pemimpin sarang, raja-raja dari diri kalian sendiri dan warga-warga yang lain,
dan telah mendidik kalian jauh lebih baik dan lebih secara sempurna daripada
mereka telah dididik, dan kalian lebih baik mampu untuk berbagi di dalam tugas
ganda. Sementara masing-masing kalian, ketika gilirannya datang, harus turun
kepada tempat tinggal umum di bawah tanah, dan membiasakan melihat di dalam
gelap. Ketika kalian telah memeroleh kebiasaan tersebut, kalian akan melihat
sepuluh ribu kali lebih baik daripada para penghuni gua tersebut, dan kalian
akan mengetahui beberapa gambar tersebut, dan mengetahui yang mereka wakilkan,
karena kalian telah melihat keindahan dan keadilan dan kebaikan di dalam
kebenaran mereka. Dan dengan demikian Negara kami yang adalah juga Negara
kalian akan menjadi sebuah kenyataan, dan bukan sebuah mimpi saja, dan akan
diurus di dalam sebuah semangat yang bukan seperti Negara-negara lain itu, yang
di dalamnya orang-orang berkelahi dengan satu sama lain tentang
bayangan-bayangan saja dan teralihkan di dalam perjuangan untuk kekuatan, yang
di dalam mata mereka adalah sebuah kebaikan yang besar. Sementara kebenaran
adalah bahwa Negara yang di dalamnya para pemimpin paling segan untuk
memerintah adalah selalu yang paling baik dan paling diperintah secara tenang,
dan Negara yang di dalamnya mereka paling berkeinginan, yang paling buruk.”
“Benar,” ia menjawab.
“Dan akankah murid-murid kita, ketika mereka mendengar ini, menolak
giliran mereka di pekerjaan-pekerjaan keras dari Negara, ketika mereka
dibiarkan untuk melewatkan bagian yang lebih besar dari waktu mereka dengan
satu sama lain di dalam cahaya surgawi?”
“Mustahil,” ia menjawab, “karena kita melimpajkan perintah-perintah yang
adil kepada mereka yang adalah orang-orang yang adil. Tidak bisa ada ragu bahwa
masing-masing mereka akan mengambil jabatan sebagai sebuah keperluan yang
mendesak, dan bukan mengikuti gaya para pemimpin Negara kita yang kini.”
“Ya, temanku,” aku berkata, “jika kamu bisa menemukan sebuah kehidupan
yang lebih baik untuk para pemimpin masa depanmu daripada memegang jabatan,
kemudian kamu mungkin memiliki sebuah Negara yang diperintah baik. Karena hanya
di dalam Negara yang menawarkan ini, akan mereka memerintah yang benar-benar kaya,
bukan di dalam perak dan emas, tetapi kekayaan yang membuat hidup berbahagia,
hidup yang baik dan bijaksana. Sementara jika saat miskin dan lapar karena
kekurangan kebaikan mereka pergi kepada pengurusan Negara, hendak meraup
kebaikan di sana, kemudian akan mustahil. Karena saat jabatan menjadi hadiah, kepanasan-kepanasan
sipil dan dalam negeri akan menjadi keruntuhan
para pemimpin itu sendiri dan keseluruhan Negara.”
“Benar,” ia menjawab.
“Dan kehidupan satu-satunya yang memandang turun kepada kehidupan dari
ambisi politik adalah yang dari filsafat sejati. Apakah kamu mengetahui apapun
yang lain?”
“Tidak, demi Zeus,” katanya.
“Dan mereka yang memerintah harus tidak menjadi para pecinta tugas?
Untuk, jika mereka demikian, akan ada para pecinta saingan, dan mereka akan
berkelahi.”
“Tidak ditanyakan.”
“Siapa kemudian mereka yang harus kita paksa untuk menjadi para
pengawal? Secara yakin orang-orang yang paling bijsksana tentang
hubungan-hubungan Negara, dan yang olehnya Negara paling baik diatur, dan yang
di saat yang sama memiliki penghormatan-penghormatan yang lain dan sebuah
kehidupan yang lain dan yang lebih baik daripada yang dari politik?”
“Mereka adalah orang-orang tersebut, dan aku akan memilih mereka,” ia
menjawab.
“Dan sekarang haruskah kita mempertimbangkan di dalam jalan apa para
pengawal semacam demikian akan dihasilkan, dan bagaimana mereka akan dibawa
dari kegelapan kepada cahaya, sebagaimana beberapa dikatakan telah naik dari
dunia bawah kepada para dewa?”
“Dengan senang hati,” ia menjawab.
“Proses tersebut, aku berkata, bukanlah pembalikan cangkang tiram,
tetapi pergantian dari sebuah jiwa melalui sebuah siang yang sedikit lebih baik
daripada malam kepada siang yang sejati dari keberadaan, yaitu kenaikan dari
bawah, yang kita kukuhkan sebagai filsafat sejati?”
“Cukup demikian.”
“Dan bukankah kita harus mencari macam pengetahuan apa yang memiliki
kekuatan yang menyebabkan sebuah perubahan semacam demikian?”
“Tentu saja.”
“Macam pengetahuan apa yang ada yang akan menggiring jiwa dari menjadi
kepada ada? Dan sebuah pertimbangan lain baru saja tampak kepadaku, kamu akan
mengingat bahwa para pemuda kita akan menjadi para atlet tentara.”
“Ya, itu dulu dikatakan.”
“Kemudian pengetahuan macam baru ini harus memiliki sebuah mutu tambahan?”
“Apa?”
“Bukan tidak berguna untuk para tentara.”
“Ya, jika mungkin.”
“Ada dua bagian di dalam alur pendidikan kita yang terdahulu, bukankah
demikian?”
“Tepat demikian.”
“Ada senam yang mengetuai pertumbuhan dan perusakan dari badan, dan
mungkin karena itu dihargai sebagai berurusan dengan generasi dan korupsi?”
“Benar.”
“Kemudian itu bukanlah pengetahuan yang kita cari untuk temukan?”
“Bukan.”
“Tetapi apa yang kamu katakan dari musik, yang juga masuk kepada sebuah
perpanjangan ke dalam skema kita yang sebelumnya?”
“Musik,” ia berkata, “sebagaimana kamu akan mengingat, adalah pasangan
berlawanan dari senam, dan melatih para pengawal oleh pengaruh-pengaruh dari
kebiasaan, oleh harmoni membuat mereka berharmoni, oleh ritme membuat mereka
beritme, tetapi tidak memberikan mereka ilmu; dan kata-kata, hebat ataupun
mungkin benar, memiliki unsur-unsur yang berkaitan kepada ritme dan harmoni di
dalam mereka. Tetapi di dalam musik tidak ada apa-apa yang membawa kepada
kebaikan yang kamu sekarang cari.”
“Kamu paling tepat,” aku berkata, “di dalam mengingatmu. Di dalam musik
secara jelas tidak ada apa-apa dari macam tersebut. Tetapi cabang pengetahuan
apa yang ada, Glaucon yang baik, yang dari alamiah yang diingini, sejak semua
seni dianggap pertengahan oleh kita?”
“Secara tidak ragu. Bahkan jika musik dan senam dikeluarkan, dan
seni-seni juga dikeluarkan, apa yang tersisa?”
“Baik,” aku berkata, “mungkin tidak ada apa-apa yang tersisa dari
pokok-pokok pembahasan kita yang khusus; dan kemudian kita harus memiliki
sesuatu yang bukan khusus, tetapi dari penerapan yang umum.”
“Apakah yang mungkin?”
“Sesuatu yang semua seni dan ilmu dan kecerdasan gunakan di dalam umum,
dan yang setiap orang pertama-tama harus pelajari di antara unsur-unsur dari
pendidikan.”
“Apa?”
“Persoalan kecil dari membedakan satu, dua, dan tiga. Maksudku, secara
ringkas, bilangan dan perhitunngan. Bukankah semua seni dan ilmu secara perlu
mengambil bagian dari mereka?”
“Ya.”
“Kemudian seni perang mengambil bagian dari mereka?”
“Yakin.”
“Kemudian Palamedes, selalu di dalam tragedi membuat Agamemnon tampak
sebagai seorang jenderal yang paling menggelikan. Pernahkah kamu menandai
bagaimana ia menyatakan bahwa ia menemukan bilangan, dan telah membilang
kapal-kapal dan membariskan tingkatan-tingkatan dari pasukan di Troy; yang
menunjukkan bahwa mereka belum pernah dibilang sebelumnya, dan Agamemnon harus
dianggap sebagai tidak mampu menghitung kakinya sendiri? bagaimana ia bisa jika
jahil kepada bilangan? Dan jika itu benar, ia akan menjadi jenderal macam apa?”
“Aku harus mengatakan satu yang aneh, jika ini sebagaimana yang kamu
katakan.”
“Bisakah kita menyangkal bahwa seorang tentara harus memiliki sebuah
pengetahuan aritmatika?”
“Tentu saja ia harus, jika ia hendak memiliki pemahaman yang terkecil
dari taktik-taktik ketentaraan, atau, aku harus lebih mengatakan, jika ia
benar-benar ingin menjadi manusia.”
“Aku harus suka untuk mengetahui apakah kamu memiliki pemahaman yang
sama dengan yang aku miliki dari pembelajaran ini?”
“Apa pemahamanmu?”
“Ia tampak kepadaku sebagai sebuah pembelajaran yang kita cari, dan yang
menuntun secara alamiah kepada perenungan, tetapi tidak pernah digunakan secara
benar. Karena kegunaannya yang benar adalah secara sederhana untuk membawa jiwa
menuju kenyataan.”
“Apakah kamu akan menjelaskan maksudmu?” Ia berkata.
“Aku akan mencoba,” aku berkata, “dan aku berharap kamu akan berbagi
pencarian tersebut bersamaku, dan katakan ‘ya’ atau ‘tidak’ ketika aku berusaha
untuk membedakan di dalam pemikiranku sendiri cabang-cabang apa dari
pengetahuan yang memiliki kekuatan yang menarik ini, supaya kita mungkin
memiliki bukti yang lebih jelas bahwa aritmatika, sebagaimana aku menduga, satu
dari mereka.”
“Jelaskanlah,” ia berkata.
“Aku bermaksud mengatakan bahwa hal-hal yang dikerjakan oleh
indera-indera adalah dari dua macam. Beberapa dari mereka tidak mengundang
pemikiran karena indera tersebut adalah juri yang mencukupi dari mereka,
sementara di dalam hal dari hal-hal yang dikerjakan oleh indera-indera yang
lainnya adalah sangat sukar dipercayai sehingga pencarian yang lebih jauh
diingini secara sangat perlu.”
“Kamu secara jelas menunjuk,” ia berkata, “kepada cara yang di dalamnya
indera-indera dikenai dari jauh, dan oleh melukis di dalam cahaya dan naungan.”
“Tidak,” aku berkata, “itu sama sekali bukan maksudku.”
“Kemudian apa maksudmu?”
“Ketika membicarakan hal-hal benda-benda yang tidak mengundang, maksudku
adalah mereka yang melintas dari satu sensasi kepada yang berlawanan. Hal-hal
yang mengundang adalah mereka yang melakukan, di dalam kejadian terakhir ini
indera mendatangi benda, di kejauhan ataupun dekat, tidak memberikan ide yang
gamblang dari apapun di dalam kekhususan daripada dari yang berlawanan
dengannya. Sebuah gambaran akan membuat maksudku lebih jelas, ini adalah tiga
jari sebuah jari kelingking, sebuah jari manis, dan sebuah jari tengah.”
“Sangat baik.”
“Kamu mungkin menganggap bahwa mereka terlihat cukup dekat. Dan inilah
datang titik tersebut.”
“Apa?”
“Masing-masing mereka secara sama tampak sebagai sebuah jari, terlihat
di dalam pertengahan ataupun di kejauhan, putih ataupun hitam, tebal ataupun
tipis, ia tidak membuat perbedaan, sebuah jari adalah sebuah jari semuanya
sama. Di dalam kejadian-kejadian ini, seseorang tidaklah dipaksa untuk mengajukan
pertanyaan dari pemikiran, apa sebuah jari? Karena pandangan tidak pernah
mengakrabkan kepada pikiran bahwa sebuah jari adalah lain daripada sebuah jari.”
“Benar.”
“Dan karena itu,” aku berkata, “sebagaimana kita mungkin mengharapkan,
tidak ada apapun di sini yang mengundang atau menarik kecerdasan.”
“Tidak ada,” katanya.
“Tetapi apakah ini juga benar kepada kebesaran dan kekecilan dari
jari-jemari? Bisakah pandangan secara cukup memahami mereka? dan tidak ada
perbedaan dibuat oleh keadaan bahwa satu dari jari-jemari tersebut adalah di
dalam pertengahan dan yang lainnya di kejauhan? Dan di dalam cara yang serupa
apakah sentuhan secara cukup menerima mutu-mutu dari ketebalan dan ketipisan,
atau kelembutan atau kekasaran? Dan demikian dari indera-indera yang lainnya,
apakah mereka memberikan pengakraban yang sempurna dari persoalan-persoalan
semacam demikian? Bukankah cara bekerja mereka di dalam cara ini, indera yang
memperhatikan mutu kekasaran adalah secara perlu memperhatikan juga mutu
kehalusan, dan hanya mengakrabkan kepada jiwa bahwa hal yang sama adalah terasa
sebagai kedua-duanya kasar dan halus?”
“Kamu cukup benar,” ia berkata.
“Dan bukankah jiwa harus bingung di pengakraban ini yang indera
memberikan kasar yang juga halus? Apa, lagi, arti dari ringan dan berat, jika
hal yang ringan adalah juga berat, dan yang berat, ringan?”
“Ya,” ia berkata, “pengakraban-pengakraban yang jiwa terima ini adalah
sangat menarik perhatian dan perlu dijelaskan.”
“Ya,” aku berkata, “dan di dalam kebingungan-kebingungan ini jiwa secara
alamiah mendatangkan bantuan perhitungan dan kecerdasan, supaya ia mungkin
melihat jika beberapa hal yang ditunjukkan kepadanya adalah satu ataukah dua.”
“Benar.”
“Dan jika mereka terubah menjadi dua, bukankah masing-masing mereka
adalah satu dan berbeda?”
“Tentu saja.”
“Dan jika masing-masing adalah satu, dan kedua-duanya adalah dua, ia
akan memahami bahwa dua tersebut di dalam keadaan dari pembagian, untuk jika
mereka tidak terbagi mereka hanya akan bisa dipahami sebagai satu?”
“Benar.”
“Mata tentu saja melihat kedua-duanya kecil dan besar, tetapi hanya di
dalam sebuah cara yang membingungkan. Mereka tidak terbedakan.”
“Ya.”
“Sementara pikiran yang berpikir, berupaya untuk memberi cahaya kepada
kekacauan tersebut, terpaksa untuk membalik proses tersebut, dan memandang
kecil dan besar sebagai terpisah dan tidak bingung.”
“Benar.”
“Dan bukankah inilah permulaan dari pencarian ‘apakah besar?’ Dan ‘apakah
kecil?’”
“Secara tepat demikian.”
“Dan dengan demikian bangkit perbedaan dari yang bisa dilihat dan yang
bisa dipikirkan.”
“Paling benar.”
“Inilah maksudku ketika aku membicarakan kesan-kesan yang mengundang
kecerdasan, atau kebalikannya. Mereka yang serentak dengan kesan-kesan yang
berlawanan, mengundang pemikiran; mereka yang tidak serentak tidak melakukan.”
“Aku mengerti,” ia berkata, “dan setuju denganmu.”
“Dan kepada tingkatan yang mana kesatuan dan bilangan termasukkan?”
“Aku tidak mengetahui,” ia menjawab.
“Pikirkan sedikit dan kamu akan melihat bahwa yang telah mendahului akan
menyediakan jawaban; untuk jika kesatuan sederhana bisa secara pantas diterima
oleh pandangan atau oleh apapun indera yang lain, kemudian, sebagaimana kita
katakan di dalam kejadian jari, akan tidak ada yang menarik kepada kenyataan. Tetapi
ketika ada suatu pertentangan yang selalu hadir, dan satu adalah kebalikan dari
satu dan melibatkan pemahaman keberagaman, kemudian pemikiran mulai bangkit di
dalam kita, dan jiwa bingung dan mengingini untuk tiba di penentuan pertanyaan
‘Apakah kesatuan mutlak?’ Ini adalah jalan yang di dalamnya pembelajaran dari
yang satu memiliki sebuah kekuatan dari menarik dan merubah pikiran kepada
pemahaman dari kenyataan.”
“Dan secara yakin,” ia berkata, “ini terjadi terutama di dalam kejadian dari
satu; karena kita melihat hal yang sama sebagai kedua-duanya satu dan tidak
terbatas di dalam banyak?”
“Ya,” aku berkata; “dan ini sebagai benar dari satu harus menjadi secara
sama benar dari seluruh bilangan?”
“Tentu saja.”
“Dan semua aritmatika dan perhitungan berurusan dengan bilangan?”
“Ya.”
“Dan mereka tampak menuntun pikiran menuju kebenaran?”
“Ya, di dalam sebuah cara yang sangat bisa dipuji.”
“Kemudian ini adalah pengetahuan dari macam yang untuknya kita mencari,
memiliki sebuah kegunaan ganda, filsafat dan ketentaraan; karena orang perang
harus mempelajari seni bilangan atau ia akan tidak mengetahui cara mengatur
pasukan, dan filsuf juga, karena ia harus keluar dari lautan perubahan dan
mencapai keberadaan sejati, dan karena itu ia harus menjadi seorang ahli
aritmatika.”
“Itu adalah benar.”
“Dan pengawal kita adalah kedua-duanya tentara dan filsuf?”
“Tentu saja.”
“Kemudian jelaslah, Glaucon, inilah cabang pelajaran yang harus
ditetapkan oleh hukum kita, dan kita harus mendorong membuat yakin mereka yang
digambarkan untuk menjadi orang-orang utama dari Negara kita untuk pergi dan
mempelajari aritmatika, bukan sebagai para amatir, tetapi mereka harus
melanjutkan pelajaran tersebut sampai mereka melihat alamiah dari
bilangan-bilangan dengan murni pemikiran. Juga tidak seperti para pedagang atau
pedagang pasar, dengan tujuan membeli atau menjual, tetapi demi penggunaan
ketentaraan, dan demi jiwa sendiri. Karena ini akan menjadi jalan yang paling
mudah untuk jiwa melintas dari dunia peranakan kepada dunia esensi dan
kebenaran.”
“Itu sangat baik,” ia berkata.
“Ya, dan lebih jauh,” aku berkata, “tampak kepadaku sekarang setelah
ilmu penghitungan dibicarakan, bahwa ada sesuatu yang indah di dalamnya, dan ia
akan berguna untuk tujuan kita di dalam sangat banyak jalan, jika dikejar di
dalam semangat seorang filsuf, dan bukan seorang penjaga toko.”
“Maksudmu di dalam hal apa?”
“Maksudku, sebagaimana aku katakan, bahwa aritmatika memiliki sebuah
pengaruh yang sangat besar dan mengangkat, memaksa jiwa untuk berbincang-bincang
tentang bilangan-bilangan yang murni, dan tidak pernah menyetujui jika siapapun
membawa bilangan-bilangan yang lekat kepada benda-benda yang bisa dilihat dan
bisa diraba ke dalam argumen. Kamu mengetahui betapa secara terus menerus para guru
dari seni tersebut menghalau dan menertawakan siapapun yang berusaha untuk
membagi kesatuan mutlak ketika ia menghitung, dan jika kamu membagi, mereka
membanyak, menjaga bahwa yang satu harus melanjutkan satu dan tidak menghilang
di dalam pecahan-pecahan?”
“Benar,” ia menjawab.
(Bukan) Akhir Republik Buku 7.
No comments:
Post a Comment