Friday, 20 April 2012

Republik (Buku 7)

Oleh Plato

 

Sekarang,” aku berkata, “bandingkan alamiah kita tercerahkan atau tidak tercerahkan di dalam suatu pengalaman semacam ini. Gambarkanlah orang-orang hidup di dalam sebuah gua bawah tanah, mulut gua tersebut terbuka menghadap cahaya yang menyinari seluruh kedalaman gua. Gambarkanlah leher-leher dan kaki-kaki mereka terantai sedari mereka kanak-kanak. sehingga mereka tetap di tempat mereka, hanya mampu melihat ke depan, tercegah oleh rantai dari memalingkan kepala-kepala mereka. Gambarkan cahaya tersebut dari sebuah api yang menyala di atas di suatu jarak di belakang mereka, dan di antara api dan para tahanan ada sebuah jalan yang timbul, dan kamu akan melihat sebuah tembok rendah dibangun di sepanjang jalan tersebut, seperti pembatas yang para dalang pertunjukan boneka miliki di hadapan orang-orang, yang di atasnya mereka mempertunjukkan boneka-boneka.”

“Aku melihatnya,” katanya.

“Lihatlah juga,” aku berkata, “orang-orang membawa melintasi tembok tersebut semua macam peti, dan patung-patung manusia dan juga bentuk-bentuk binatang terbuat dari kayu dan batu dan dari setiap macam bahan, beberapa dari para pembawa ini berbicara, yang lainnya diam.”

“Kamu membicarakan sebuah gambaran yang aneh, dan tahanan-tahanan yang aneh.”

“Seperti diri kita sendiri,” aku menjawab, “dan mereka hanya melihat bayangan-bayangan mereka sendiri, atau bayangan-bayangan dari satu sama lain, yang api lemparkan di tembok yang berlawanan dari gua tersebut?”

“Benar,” ia berkata, “bagaimana bisa mereka melihat apapun kecuali bayangan-bayangan jika mereka tidak pernah dibiarkan menggerakkan kepala mereka?”

“Dan benda-benda yang dibawa di dalam cara yang serupa mereka akan hanya melihat bayangan-bayangan?”

“Ya,” katanya.

“Dan jika mereka mampu berbincang-bincang dengan satu sama lain, bukankah mereka akan menganggap bahwa di dalam mereka menamai hal-hal yang mereka lihat, mereka menamai benda-benda yang dibawa tersebut?”

“Benar.”

“Dan anggap lebih jauh bahwa penjara tersebut memiliki sebuah gema yang datang dari sisi lain. Apakah menurutmu mereka akan meyakini ketika satu dari yang lewat tersebut berbicara, bahwa sang pembicara selain daripada bayangan yang melintas tersebut?”

“Demi Zeus, tidak menurutku,” ia menjawab.

“Kemudian di dalam setiap jalan,” aku berkata, “para tahanan semacam demikian akan menganggap kebenaran bukan apa-apa kecuali bayangan-bayangan dari benda-benda buatan.”

“Itu pasti.”

“Pertimbangkanlah, apa yang akan secara alamiah mengikuti jika para tahanan tersebut dilepaskan dan dibebaskan dari kengerian mereka. Pertama-tama, ketika siapapun dari mereka dibebaskan dan dipaksa secara tiba-tiba untuk berdiri dan memalingkan lehernya dan berjalan dan memandang kepada cahaya, ia akan menderita sakit-sakit yang tajam, kilauan akan menyulitkannya, dan ia akan tidak mampu melihat kenyataan-kenyataan yang di dalam keadaan sebelumnya ia telah melihat bayangan-bayangannya. Menurutmu apa yang akan menjadi jawabannya jika seseorang berkata kepadanya bahwa yang ia lihat sebelumnya adalah sebuah tipuan dan ilusi, tetapi bahwa sekarang, ketika lebih mendekati kenyataan dan menghadap kepada hal-hal yang lebih nyata, ia memiliki sebuah peglihatan yang lebih nyata? Dan kamu mungkin lebih jauh membayangkan bahwa pengarahnya menunjuk kepada benda-benda tersebut saat mereka melintas dan memintanya untuk menamai mereka, bukankah ia akan bingung? Bukankah ia akan meyakini bahwa bayangan-bayangan yang ia sebelumnya lihat adalah lebih nyata daripada benda-benda yang sekarang ditunjukkan kepadanya?”

“Jauh lebih nyata.”

“Dan jika ia dipaksa untuk memandang langsung kepada cahaya, bukankah ia akan merasakan sakit di dalam matanya yang akan membuatnya berpaling untuk mengambil dan menerima hal-hal yang ia bisa lihat, dan yang ia akan anggap lebih jernih dam tepat daripada hal-hal yang sekarang diperlihatkan kepadanya?”

“Demikianlah.”

“Dan jika,” aku berkata, “seseorang menyeretnya menaiki sebuah pendakian yang curam dan sukar, dan tidak melepaskannya sampai ia dipaksa ke dalam cahaya matahari, bukankah ia akan menjadi tersakiti dan perih? Ketika ia mendekati cahaya, matanya akan berkunang-kunang, dan ia akan tidak mampu melihat walau satupun hal-hal yang sekarang kita sebut sebagai nyata?”

“Semuanya tidak di dalam sekejap,” ia berkata.

“Ia akan memerlukan pembiasaan untuk bisa membuatnya memandang hal-hal dari dunia atas. Dan pertama-tama ia akan paling mudah melihat bayangan-bayangan, selanjutnya pantulan-pantulan dari benda-benda dan orang-orang di dalam air, dan kemudian benda-benda itu sendiri. Kemudian ia akan menatap cahaya bulan dan bintang-bintang dan langit yang berkerlip, dan ia akan melihat angkasa dan bintang-bintanng saat malam lebih baik daripada matahari atau sinar matahari saat siang?”

“Tentu saja.”

“Terakhir ia akan mampu melihat matahari dan alamiah matahari, bukan hanya pantulannya di dalam air atau di dalam cara asing yang lain, tetapi di dalam dirinya sendiri di tempatnya sendiri.”

“Tentu saja.”

“Ia akan kemudian mengatakan bahwa inilah ia yang memberikan musim dan tahun-tahun, dan adalah pengawal dari semua yang di dalam dunia yang bisa dilihat, dan di dalam suatu jalan penyebab dari semua hal yang ia dan teman-temannya biasa pandang?”

“Secara jelas,” ia berkata, “ia akan pertama-tama melihat matahari dan kemudian alasan tentangnya.”

“Dan ketika ia mengingat tempat tinggalnya yang dulu, dan kebijaksanaan gua dan rekan-rekannya tahanan, apakah kamu tidak menganggap bahwa ia akan menyelamati dirinya sendiri di perubahan tersebut, dan mengasihani mereka?”

“Tentu saja ia akan demikian.”

“Dan jika mereka di dalam kebiasaan dari saling memberikan penghormatan-penghormatan di antara diri mereka sendiri kepada mereka yang paling cepat untuk mengamati bayangan-bayangan dan untuk menandai yang mana dari mereka yang melintas sebelumnya, dan yang mengikuti setelahnya, dan yang bersama-sama; dan siapa karena itu paling mampu menarik kesimpulan masa depan, apakah kamu berpikir bahwa ia akan memedulikan penghormatan-penghormatan dan kemenangan-kemenangan semacam demikian, atau mencemburui para pemilik mereka? Akankah ia tidak mengatakan bersama Homer, lebih baik untuk menjadi seorang pelayan miskin dari seorang tuan yang miskin, dan untuk memikul apapun, daripada berpikir sebagaimana mereka dan hidup mengikuti cara mereka?”

“Ya,” ia berkata, “menurutku ia akan lebih baik menderita apapun daripada menerima pemahaman-pemahaman salah ini dan hidup di dalam cara yang menyedihkan ini.”

“Bayangkan sekali lagi,” aku berkata, “seseorang semacam demikian datang secara tiba-tiba keluar dari matahari untuk ditempatkan kembali di dalam keadaannya yang dulu. Bukankah ia akan benar-benar mendapati matanya penuh kegelapan?”

“Untuk yakin,” katanya.

“Dan jika ada sebuah pertandingan, dan ia harus bertanding di dalam mengukur bayangan-bayangan bersama para tahanan yang tidak pernah keluar dari gua tersebut, sementara pandangannya masih lemah, dan sebelum matanya menjadi mantap (dan waktu yang diperlukan untuk menerima kebiasaan memandang yang baru ini mungkin sangat panjang) bukankah ia akan menggelikan? Orang-orang akan mengatakan kepadanya bahwa ia dulu naik dan ia turun tanpa matanya, dan bahwa lebih baik tidak bahkan untuk berpikir naik. Dan jika mungkin untuk menjatuhkan tangan dan membunuh seseorang yang berusaha melepaskan dan menuntun mereka naik, bukankah mereka akan membunuhnya?”

“Tidak perlu ditanyakan,” katanya.

“Keseluruhan alegori ini,” aku berkata, “kamu mungkin sekarang terapkan, Glaucon yang baik, kepda argumen yang sebelumnya. Penjara tersebut adalah dunia pemandangan, cahaya api adalah matahari, dan kamu akan tidak salah memahamiku jika kamu menerangkan perjalanan naik tersebut sebagai kenaikan jiwa ke dalam dunia kecerdasan berdasarkan dugaanku, yang atas keinginanmu, aku telah ungkapkan secara benar ataupun secara salah dewa mengetahui. Tetapi, benar ataupun salah, pendapatku adalah bahwa di dalam dunia pengetahuan, terakhir terlihat dari semua hal dan secara sukar dilihat adalah ide kebaikan, dan bahwa ketika terlihat, adalah juga disimpulkan sebagai penyebab dari semua hal yang indah dan yang benar, orang-tua dan tuan dari cahaya di dalam dunia yang bisa dilihat, dan sumber langsung dari alasan dan kebenaran di dalam dunia kecerdasan. Inilah yang ia yang hendak bertindak secara beralasan, di dalam khalayak ataupun pribadi harus menatapkan matanya kepadanya.”

“Aku setuju,” ia berkata, “sejauh aku mampu untuk memahamimu.”

“Terlebih lagi,” aku berkata, “kamu harus tidak heran bahwa mereka yang memeroleh penglihatan indah ini tidak berkeinginan untuk turun kepada hubungan-hubungan manusia. Jiwa-jiwa mereka bersegera ke dalam dunia atas tempat mereka ingin untuk tinggali. Keinginan-keinginan mereka sangat alami, jika alegori kita mungkin dipercaya.”

“Ya, sangat alami.”

“Dan adakah sesuatu apapun yang mengejutkan di dalam seseorang yang datang dari perenungan-perenungan ilahiah kepada keadaan buruk manusia, salah menyikapi dirinya sendiri di dalam sebuah cara yang menggelikan, jika sementara matanya berkedip dan sebelum ia menjadi terbiasa kepada kegelapan-kegelapan yang mengitari, ia dipaksa bertarung di sidang-sidang hukum, atau di dalam tempat-tempat lain, tentang gambar-gambar atau bayangan-bayangan dari gambar-gambar dari keadilan, dan berusaha untuk mempertemukan pemahaman-pemahaman dari mereka yang belum pernah melihat keadilan yang mutlak?”

“Apapun kecuali mengejutkan,” ia menjawab.

“Siapapun yang memiliki kewarasan akan mengingat bahwa kebingungan-kebingungan dari mata adalah dari dua macam, dan bangkit dari dua penyebab, dari keluar dari cahaya ataupun dari pergi ke dalam cahaya, yang benar kepada cahaya pikiran, cukup sebagaimana mata badaniah. Ia yang mengingat ini ketika ia melihat siapapun yang penglihatannya bingung dan lemah, akan tidak terlalu siap untuk tertawa; ia akan pertama-tama menanyakan jika jiwa orang itu telah keluar dari cahaya yang lebih terang, dan tidak mampu melihat karena tidak terbiasa kepada gelap, atau berpaling dari kegelapan kepada hari berkunang-kunang oleh kelebihan cahaya. Dan ia akan memperhitungkan yang satu di dalam keadaan dan keberadaan yang berbahagia, dan ia akan mengasihani yang lainnya; atau, jika ia memiliki pemikiran untuk tertawa kepada jiwa yang datang dari bawah kepada cahaya, akan ada lebih banyak alasan di dalam ini daripada di dalam tertawa yang menyapa ia yang kembali dari atas keluar dari cahaya ke dalam gua.”

“Itu,” ia berkata, “adalah sebuah pengertian yang adil.”

“Tetapi kemudian, jika aku benar, beberapa guru besar pendidikan haruslah salah ketika mereka mengatakan bahwa mereka bisa meletakkan sebuah pengetahuan ke dalam jiwa yang belum pernah di sana sebelumnya, seperti pandangan ke dalam mata yang buta.”

“Mereka secara tidak ragu mengatakan ini,” ia menjawab.

“Sementara, argumen kita menunjukkan bahwa kekuatan dan kemampuan belajar telah ada di dalam jiwa; dan bahwa sebagaimana mata tidak mampu berpaling dari kegelapan kepada cahaya tanpa keseluruhan badan, demikian juga alat pengetahuan hanya bisa oleh pergerakan dari keseluruhan jiwa dipalingkan dari dunia yang mendatang ke dalam dunia yang ada, dan belajar beberapa derajat untuk menanggung penglihatan dari ada, dan dari yang paling terang dan paling baik dari ada, atau di dalam kata lain, dari kebaikan.”

“Benar.”

“Dan bukankah harus ada suatu seni yang akan memberikan perubahan di dalam cara yang paling mudah dan paling cepat, bukan menanamkan indera penglihatan, karena memang sudah ada, tetapi telah dibalikkan di dalam arah yang salah, dan berpaling dari kebenaran?”

“Ya,” ia berkata, “sebuah seni semacam demikian mungkin diduga.”

“Dan sementara yang disebut sebagai kebaikan-kebaikan yang lain dari jiwa tampak berkerabat kepada mutu-mutu badaniah, untuk bahkan ketika mereka bukan secara asli semenjak lahir mereka bisa ditanamkan terkemudian oleh kebiasaan dan latihan, kebijaksanaan lebih daripada apapun yang lain mengandung sebuah unsur ilahiah yang selalu ada, dan oleh pengubahan ini dijadikan berguna dan menguntungkan; atau, di lain pihak, menyakiti dan tidak berguna. Apakah kamu tidak pernah mengamati kecerdasan picik yang berkilat dari mata yang tajam dari seorang penjahat yang pintar? betapa gigih ia, betapa secara jelas jiwanya yang remeh melihat jalan kepada ujungnya. Ia adalah kebalikan dari buta, tetapi pandangan matanya yang tajam dipaksa ke dalam pelayanan dari keburukan, dan ia adalah jahat di dalam takaran kepada kepintarannya.”

“Benar,” katanya.

“Tetapi apa jika ada sebuah pemotogan dari alamiah-alamiah semacam demikian di masa-masa muda mereka; dan mereka terpotong dari kenikmatan-kenikmatan sensual tersebut, semacam makan dan minum, yang, seperti timah-timah pemberat, terpasang kepada mereka di kelahiran mereka, dan yang menyeret mereka turun dan memalingkan pandangan jiwa mereka kepada hal-hal yang di bawah. Jika, aku berkata, mereka telah dilepaskan dari halangan-halangan ini dan dipalingkan di dalam arah yang berlawanan, indera yang sama di dalam mereka akan melihat kebenaran setajam mereka melihat hal yang mata mereka terpaling kepadanya sekarang.”

“Sangat sepertinya.”

“Ya,” aku berkata, “dan ada sebuah hal lain yang sepertinya, atau lebih sebuah kesimpulan dari hal yang telah mendahului, bahwa tidak akan yang terdidik dan yang tidak-diberitahukan kebenaran, juga tidak mereka yang tidak pernah sampai di ujung pendidikan mereka, akan mampu mengurus Negara. Tidak yang terdahulu, karena mereka tidak memiliki satupun tujuan dari tugas yang adalah aturan dari semua tindakan mereka, pribadi sebagaimana juga umum; juga tidak yang terakhir, karena mereka akan tidak bertindak kecuali terpaksa, meyakini bahwa mereka telah tinggal terpisah di pulau-pulau dari yang terbaik.”

“Benar,” ia menjawab.

“Kemudian,” aku berkata, “urusan kita yang adalah para pendiri Negara akan menjadi untuk memaksa pikiran-pikiran terbaik untuk memeroleh pengetahuan itu yang kita telah pertunjukkan sebagai yang terbesar dari semuanya. Mereka harus melanjutkan menaik sampai mereka tiba di kebaikan, tetapi ketika mereka telah naik dan cukup melihat, kita harus tidak membiarkan mereka untuk melakukan sebagaimana mereka melakukan sekarang.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku bahwa mereka tetap tinggal di dunia atas, tetapi ini harus tidak dibiarkan. Mereka harus dibuat turun lagi di antara para tahanan di dalam gua, dan mengambil bagian dengan pekerjaan-pekerjaan dan penghormatan-penghormatan mereka, mereka berharga untuk dimiliki ataupun tidak.”

“Tetapi bukankah ini tidak adil?” ia berkata, “apakah kita akan memberikan kepada mereka sebuah kehidupan yang lebih buruk, ketika mereka mungkin memiliki sebuah yang lebih baik?”

“Kamu melupakan lagi, temanku,” aku berkata, “tujuan dari pelegislasi, yang tidak bertujuan membuat satu tingkatan di dalam Negara berbahagia di atas yang lainnya. Kebahagiaan tersebut akan di dalam keseluruhan Negara, dan ia mengumpulkan para warga bersama-sama oleh bujukan dan keperluan, menjadikan mereka para penyumbang kepada Negara, dan karena itu para penyumbang kepada satu sama lain. Kepada ujung ini ia menciptakan mereka, bukan untuk membuat senang diri mereka sendiri, tetapi untuk menjadi peralatan-peralatannya di dalam menyatukan Negara.”

“Benar,” ia berkata, “aku tadi lupa.”

“Amatilah, Glaucon, bahwa akan tidak ada ketidakadilan di dalam memaksa para filsuf kita untuk menjaga dan memelihara yang lain. Kita harus menjelaskan kepada mereka bahwa di dalam Negara-negara lain, orang-prang dari tingkatan mereka tidak diharuskan untuk berbagi di dalam kerja keras dari politik: dan ini beralasan, karena mereka tumbuh di keinginan manis mereka sendiri, dan pemerintah akan lebih tidak memiliki mereka. Belajar sendiri, mereka tidak bisa diharapkan untuk menunjukkan sambutan untuk sebuah budaya yang mereka tidak pernah menerimanya. Tetapi kami telah membawa kalian ke dunia untuk menjadi pemimpin sarang, raja-raja dari diri kalian sendiri dan warga-warga yang lain, dan telah mendidik kalian jauh lebih baik dan lebih secara sempurna daripada mereka telah dididik, dan kalian lebih baik mampu untuk berbagi di dalam tugas ganda. Sementara masing-masing kalian, ketika gilirannya datang, harus turun kepada tempat tinggal umum di bawah tanah, dan membiasakan melihat di dalam gelap. Ketika kalian telah memeroleh kebiasaan tersebut, kalian akan melihat sepuluh ribu kali lebih baik daripada para penghuni gua tersebut, dan kalian akan mengetahui beberapa gambar tersebut, dan mengetahui yang mereka wakilkan, karena kalian telah melihat keindahan dan keadilan dan kebaikan di dalam kebenaran mereka. Dan dengan demikian Negara kami yang adalah juga Negara kalian akan menjadi sebuah kenyataan, dan bukan sebuah mimpi saja, dan akan diurus di dalam sebuah semangat yang bukan seperti Negara-negara lain itu, yang di dalamnya orang-orang berkelahi dengan satu sama lain tentang bayangan-bayangan saja dan teralihkan di dalam perjuangan untuk kekuatan, yang di dalam mata mereka adalah sebuah kebaikan yang besar. Sementara kebenaran adalah bahwa Negara yang di dalamnya para pemimpin paling segan untuk memerintah adalah selalu yang paling baik dan paling diperintah secara tenang, dan Negara yang di dalamnya mereka paling berkeinginan, yang paling buruk.”

“Benar,” ia menjawab.

“Dan akankah murid-murid kita, ketika mereka mendengar ini, menolak giliran mereka di pekerjaan-pekerjaan keras dari Negara, ketika mereka dibiarkan untuk melewatkan bagian yang lebih besar dari waktu mereka dengan satu sama lain di dalam cahaya surgawi?”

“Mustahil,” ia menjawab, “karena kita melimpajkan perintah-perintah yang adil kepada mereka yang adalah orang-orang yang adil. Tidak bisa ada ragu bahwa masing-masing mereka akan mengambil jabatan sebagai sebuah keperluan yang mendesak, dan bukan mengikuti gaya para pemimpin Negara kita yang kini.”

“Ya, temanku,” aku berkata, “jika kamu bisa menemukan sebuah kehidupan yang lebih baik untuk para pemimpin masa depanmu daripada memegang jabatan, kemudian kamu mungkin memiliki sebuah Negara yang diperintah baik. Karena hanya di dalam Negara yang menawarkan ini, akan mereka memerintah yang benar-benar kaya, bukan di dalam perak dan emas, tetapi kekayaan yang membuat hidup berbahagia, hidup yang baik dan bijaksana. Sementara jika saat miskin dan lapar karena kekurangan kebaikan mereka pergi kepada pengurusan Negara, hendak meraup kebaikan di sana, kemudian akan mustahil. Karena saat jabatan menjadi hadiah, kepanasan-kepanasan sipil dan dalam negeri akan menjadi keruntuhan  para pemimpin itu sendiri dan keseluruhan Negara.”

“Benar,” ia menjawab.

“Dan kehidupan satu-satunya yang memandang turun kepada kehidupan dari ambisi politik adalah yang dari filsafat sejati. Apakah kamu mengetahui apapun yang lain?”

“Tidak, demi Zeus,” katanya.

“Dan mereka yang memerintah harus tidak menjadi para pecinta tugas? Untuk, jika mereka demikian, akan ada para pecinta saingan, dan mereka akan berkelahi.”

“Tidak ditanyakan.”

“Siapa kemudian mereka yang harus kita paksa untuk menjadi para pengawal? Secara yakin orang-orang yang paling bijsksana tentang hubungan-hubungan Negara, dan yang olehnya Negara paling baik diatur, dan yang di saat yang sama memiliki penghormatan-penghormatan yang lain dan sebuah kehidupan yang lain dan yang lebih baik daripada yang dari politik?”

“Mereka adalah orang-orang tersebut, dan aku akan memilih mereka,” ia menjawab.

“Dan sekarang haruskah kita mempertimbangkan di dalam jalan apa para pengawal semacam demikian akan dihasilkan, dan bagaimana mereka akan dibawa dari kegelapan kepada cahaya, sebagaimana beberapa dikatakan telah naik dari dunia bawah kepada para dewa?”

“Dengan senang hati,” ia menjawab.

“Proses tersebut, aku berkata, bukanlah pembalikan cangkang tiram, tetapi pergantian dari sebuah jiwa melalui sebuah siang yang sedikit lebih baik daripada malam kepada siang yang sejati dari keberadaan, yaitu kenaikan dari bawah, yang kita kukuhkan sebagai filsafat sejati?”

“Cukup demikian.”

“Dan bukankah kita harus mencari macam pengetahuan apa yang memiliki kekuatan yang menyebabkan sebuah perubahan semacam demikian?”

“Tentu saja.”

“Macam pengetahuan apa yang ada yang akan menggiring jiwa dari menjadi kepada ada? Dan sebuah pertimbangan lain baru saja tampak kepadaku, kamu akan mengingat bahwa para pemuda kita akan menjadi para atlet tentara.”

“Ya, itu dulu dikatakan.”

“Kemudian pengetahuan macam baru ini harus memiliki sebuah mutu tambahan?”

“Apa?”

“Bukan tidak berguna untuk para tentara.”

“Ya, jika mungkin.”

“Ada dua bagian di dalam alur pendidikan kita yang terdahulu, bukankah demikian?”

“Tepat demikian.”

“Ada senam yang mengetuai pertumbuhan dan perusakan dari badan, dan mungkin karena itu dihargai sebagai berurusan dengan generasi dan korupsi?”

“Benar.”

“Kemudian itu bukanlah pengetahuan yang kita cari untuk temukan?”

“Bukan.”

“Tetapi apa yang kamu katakan dari musik, yang juga masuk kepada sebuah perpanjangan ke dalam skema kita yang sebelumnya?”

“Musik,” ia berkata, “sebagaimana kamu akan mengingat, adalah pasangan berlawanan dari senam, dan melatih para pengawal oleh pengaruh-pengaruh dari kebiasaan, oleh harmoni membuat mereka berharmoni, oleh ritme membuat mereka beritme, tetapi tidak memberikan mereka ilmu; dan kata-kata, hebat ataupun mungkin benar, memiliki unsur-unsur yang berkaitan kepada ritme dan harmoni di dalam mereka. Tetapi di dalam musik tidak ada apa-apa yang membawa kepada kebaikan yang kamu sekarang cari.”

“Kamu paling tepat,” aku berkata, “di dalam mengingatmu. Di dalam musik secara jelas tidak ada apa-apa dari macam tersebut. Tetapi cabang pengetahuan apa yang ada, Glaucon yang baik, yang dari alamiah yang diingini, sejak semua seni dianggap pertengahan oleh kita?”

“Secara tidak ragu. Bahkan jika musik dan senam dikeluarkan, dan seni-seni juga dikeluarkan, apa yang tersisa?”

“Baik,” aku berkata, “mungkin tidak ada apa-apa yang tersisa dari pokok-pokok pembahasan kita yang khusus; dan kemudian kita harus memiliki sesuatu yang bukan khusus, tetapi dari penerapan yang umum.”

“Apakah yang mungkin?”

“Sesuatu yang semua seni dan ilmu dan kecerdasan gunakan di dalam umum, dan yang setiap orang pertama-tama harus pelajari di antara unsur-unsur dari pendidikan.”

“Apa?”

“Persoalan kecil dari membedakan satu, dua, dan tiga. Maksudku, secara ringkas, bilangan dan perhitunngan. Bukankah semua seni dan ilmu secara perlu mengambil bagian dari mereka?”

“Ya.”

“Kemudian seni perang mengambil bagian dari mereka?”

“Yakin.”

“Kemudian Palamedes, selalu di dalam tragedi membuat Agamemnon tampak sebagai seorang jenderal yang paling menggelikan. Pernahkah kamu menandai bagaimana ia menyatakan bahwa ia menemukan bilangan, dan telah membilang kapal-kapal dan membariskan tingkatan-tingkatan dari pasukan di Troy; yang menunjukkan bahwa mereka belum pernah dibilang sebelumnya, dan Agamemnon harus dianggap sebagai tidak mampu menghitung kakinya sendiri? bagaimana ia bisa jika jahil kepada bilangan? Dan jika itu benar, ia akan menjadi jenderal macam apa?”

“Aku harus mengatakan satu yang aneh, jika ini sebagaimana yang kamu katakan.”

“Bisakah kita menyangkal bahwa seorang tentara harus memiliki sebuah pengetahuan aritmatika?”

“Tentu saja ia harus, jika ia hendak memiliki pemahaman yang terkecil dari taktik-taktik ketentaraan, atau, aku harus lebih mengatakan, jika ia benar-benar ingin menjadi manusia.”

“Aku harus suka untuk mengetahui apakah kamu memiliki pemahaman yang sama dengan yang aku miliki dari pembelajaran ini?”

“Apa pemahamanmu?”

“Ia tampak kepadaku sebagai sebuah pembelajaran yang kita cari, dan yang menuntun secara alamiah kepada perenungan, tetapi tidak pernah digunakan secara benar. Karena kegunaannya yang benar adalah secara sederhana untuk membawa jiwa menuju kenyataan.”

“Apakah kamu akan menjelaskan maksudmu?” Ia berkata.

“Aku akan mencoba,” aku berkata, “dan aku berharap kamu akan berbagi pencarian tersebut bersamaku, dan katakan ‘ya’ atau ‘tidak’ ketika aku berusaha untuk membedakan di dalam pemikiranku sendiri cabang-cabang apa dari pengetahuan yang memiliki kekuatan yang menarik ini, supaya kita mungkin memiliki bukti yang lebih jelas bahwa aritmatika, sebagaimana aku menduga, satu dari mereka.”

“Jelaskanlah,” ia berkata.

“Aku bermaksud mengatakan bahwa hal-hal yang dikerjakan oleh indera-indera adalah dari dua macam. Beberapa dari mereka tidak mengundang pemikiran karena indera tersebut adalah juri yang mencukupi dari mereka, sementara di dalam hal dari hal-hal yang dikerjakan oleh indera-indera yang lainnya adalah sangat sukar dipercayai sehingga pencarian yang lebih jauh diingini secara sangat perlu.”

“Kamu secara jelas menunjuk,” ia berkata, “kepada cara yang di dalamnya indera-indera dikenai dari jauh, dan oleh melukis di dalam cahaya dan naungan.”

“Tidak,” aku berkata, “itu sama sekali bukan maksudku.”

“Kemudian apa maksudmu?”

“Ketika membicarakan hal-hal benda-benda yang tidak mengundang, maksudku adalah mereka yang melintas dari satu sensasi kepada yang berlawanan. Hal-hal yang mengundang adalah mereka yang melakukan, di dalam kejadian terakhir ini indera mendatangi benda, di kejauhan ataupun dekat, tidak memberikan ide yang gamblang dari apapun di dalam kekhususan daripada dari yang berlawanan dengannya. Sebuah gambaran akan membuat maksudku lebih jelas, ini adalah tiga jari sebuah jari kelingking, sebuah jari manis, dan sebuah jari tengah.”

“Sangat baik.”

“Kamu mungkin menganggap bahwa mereka terlihat cukup dekat. Dan inilah datang titik tersebut.”

“Apa?”

“Masing-masing mereka secara sama tampak sebagai sebuah jari, terlihat di dalam pertengahan ataupun di kejauhan, putih ataupun hitam, tebal ataupun tipis, ia tidak membuat perbedaan, sebuah jari adalah sebuah jari semuanya sama. Di dalam kejadian-kejadian ini, seseorang tidaklah dipaksa untuk mengajukan pertanyaan dari pemikiran, apa sebuah jari? Karena pandangan tidak pernah mengakrabkan kepada pikiran bahwa sebuah jari adalah lain daripada sebuah jari.”

“Benar.”

“Dan karena itu,” aku berkata, “sebagaimana kita mungkin mengharapkan, tidak ada apapun di sini yang mengundang atau menarik kecerdasan.”

“Tidak ada,” katanya.

“Tetapi apakah ini juga benar kepada kebesaran dan kekecilan dari jari-jemari? Bisakah pandangan secara cukup memahami mereka? dan tidak ada perbedaan dibuat oleh keadaan bahwa satu dari jari-jemari tersebut adalah di dalam pertengahan dan yang lainnya di kejauhan? Dan di dalam cara yang serupa apakah sentuhan secara cukup menerima mutu-mutu dari ketebalan dan ketipisan, atau kelembutan atau kekasaran? Dan demikian dari indera-indera yang lainnya, apakah mereka memberikan pengakraban yang sempurna dari persoalan-persoalan semacam demikian? Bukankah cara bekerja mereka di dalam cara ini, indera yang memperhatikan mutu kekasaran adalah secara perlu memperhatikan juga mutu kehalusan, dan hanya mengakrabkan kepada jiwa bahwa hal yang sama adalah terasa sebagai kedua-duanya kasar dan halus?”

“Kamu cukup benar,” ia berkata.

“Dan bukankah jiwa harus bingung di pengakraban ini yang indera memberikan kasar yang juga halus? Apa, lagi, arti dari ringan dan berat, jika hal yang ringan adalah juga berat, dan yang berat, ringan?”

“Ya,” ia berkata, “pengakraban-pengakraban yang jiwa terima ini adalah sangat menarik perhatian dan perlu dijelaskan.”

“Ya,” aku berkata, “dan di dalam kebingungan-kebingungan ini jiwa secara alamiah mendatangkan bantuan perhitungan dan kecerdasan, supaya ia mungkin melihat jika beberapa hal yang ditunjukkan kepadanya adalah satu ataukah dua.”

“Benar.”

“Dan jika mereka terubah menjadi dua, bukankah masing-masing mereka adalah satu dan berbeda?”

“Tentu saja.”

“Dan jika masing-masing adalah satu, dan kedua-duanya adalah dua, ia akan memahami bahwa dua tersebut di dalam keadaan dari pembagian, untuk jika mereka tidak terbagi mereka hanya akan bisa dipahami sebagai satu?”

“Benar.”

“Mata tentu saja melihat kedua-duanya kecil dan besar, tetapi hanya di dalam sebuah cara yang membingungkan. Mereka tidak terbedakan.”

“Ya.”

“Sementara pikiran yang berpikir, berupaya untuk memberi cahaya kepada kekacauan tersebut, terpaksa untuk membalik proses tersebut, dan memandang kecil dan besar sebagai terpisah dan tidak bingung.”

“Benar.”

“Dan bukankah inilah permulaan dari pencarian ‘apakah besar?’ Dan ‘apakah kecil?’”

“Secara tepat demikian.”

“Dan dengan demikian bangkit perbedaan dari yang bisa dilihat dan yang bisa dipikirkan.”

“Paling benar.”

“Inilah maksudku ketika aku membicarakan kesan-kesan yang mengundang kecerdasan, atau kebalikannya. Mereka yang serentak dengan kesan-kesan yang berlawanan, mengundang pemikiran; mereka yang tidak serentak tidak melakukan.”

“Aku mengerti,” ia berkata, “dan setuju denganmu.”

“Dan kepada tingkatan yang mana kesatuan dan bilangan termasukkan?”

“Aku tidak mengetahui,” ia menjawab.

“Pikirkan sedikit dan kamu akan melihat bahwa yang telah mendahului akan menyediakan jawaban; untuk jika kesatuan sederhana bisa secara pantas diterima oleh pandangan atau oleh apapun indera yang lain, kemudian, sebagaimana kita katakan di dalam kejadian jari, akan tidak ada yang menarik kepada kenyataan. Tetapi ketika ada suatu pertentangan yang selalu hadir, dan satu adalah kebalikan dari satu dan melibatkan pemahaman keberagaman, kemudian pemikiran mulai bangkit di dalam kita, dan jiwa bingung dan mengingini untuk tiba di penentuan pertanyaan ‘Apakah kesatuan mutlak?’ Ini adalah jalan yang di dalamnya pembelajaran dari yang satu memiliki sebuah kekuatan dari menarik dan merubah pikiran kepada pemahaman dari kenyataan.”

“Dan secara yakin,” ia berkata, “ini terjadi terutama di dalam kejadian dari satu; karena kita melihat hal yang sama sebagai kedua-duanya satu dan tidak terbatas di dalam banyak?”

“Ya,” aku berkata; “dan ini sebagai benar dari satu harus menjadi secara sama benar dari seluruh bilangan?”

“Tentu saja.”

“Dan semua aritmatika dan perhitungan berurusan dengan bilangan?”

“Ya.”

“Dan mereka tampak menuntun pikiran menuju kebenaran?”

“Ya, di dalam sebuah cara yang sangat bisa dipuji.”

“Kemudian ini adalah pengetahuan dari macam yang untuknya kita mencari, memiliki sebuah kegunaan ganda, filsafat dan ketentaraan; karena orang perang harus mempelajari seni bilangan atau ia akan tidak mengetahui cara mengatur pasukan, dan filsuf juga, karena ia harus keluar dari lautan perubahan dan mencapai keberadaan sejati, dan karena itu ia harus menjadi seorang ahli aritmatika.”

“Itu adalah benar.”

“Dan pengawal kita adalah kedua-duanya tentara dan filsuf?”

“Tentu saja.”

“Kemudian jelaslah, Glaucon, inilah cabang pelajaran yang harus ditetapkan oleh hukum kita, dan kita harus mendorong membuat yakin mereka yang digambarkan untuk menjadi orang-orang utama dari Negara kita untuk pergi dan mempelajari aritmatika, bukan sebagai para amatir, tetapi mereka harus melanjutkan pelajaran tersebut sampai mereka melihat alamiah dari bilangan-bilangan dengan murni pemikiran. Juga tidak seperti para pedagang atau pedagang pasar, dengan tujuan membeli atau menjual, tetapi demi penggunaan ketentaraan, dan demi jiwa sendiri. Karena ini akan menjadi jalan yang paling mudah untuk jiwa melintas dari dunia peranakan kepada dunia esensi dan kebenaran.”

“Itu sangat baik,” ia berkata.

“Ya, dan lebih jauh,” aku berkata, “tampak kepadaku sekarang setelah ilmu penghitungan dibicarakan, bahwa ada sesuatu yang indah di dalamnya, dan ia akan berguna untuk tujuan kita di dalam sangat banyak jalan, jika dikejar di dalam semangat seorang filsuf, dan bukan seorang penjaga toko.”

“Maksudmu di dalam hal apa?”

“Maksudku, sebagaimana aku katakan, bahwa aritmatika memiliki sebuah pengaruh yang sangat besar dan mengangkat, memaksa jiwa untuk berbincang-bincang tentang bilangan-bilangan yang murni, dan tidak pernah menyetujui jika siapapun membawa bilangan-bilangan yang lekat kepada benda-benda yang bisa dilihat dan bisa diraba ke dalam argumen. Kamu mengetahui betapa secara terus menerus para guru dari seni tersebut menghalau dan menertawakan siapapun yang berusaha untuk membagi kesatuan mutlak ketika ia menghitung, dan jika kamu membagi, mereka membanyak, menjaga bahwa yang satu harus melanjutkan satu dan tidak menghilang di dalam pecahan-pecahan?”

“Benar,” ia menjawab.

(Bukan) Akhir Republik Buku 7.

No comments:

Post a Comment