Echecrates: Apakah kamu hadir secara pribadi, Phædo, bersama Socrates di hari ketika ia meminum racun di dalam penjara, atau apakah kamu mendengar sebuah cerita tentang itu dari seseorang yang lain?
Phædo: Aku hadir di sana, Echecrates.
Echecrates: Apa, kemudian, yang ia katakan sebelum ia mati, dan bagaimana ia mati? aku harus suka mendengarnya: karena sukar ada warga-kota Phlius yang pernah mengunjungi Athena sekarang, juga tidak ada orang asing datang dari sana, yang mampu memberikan kepada kami kisah yang jelas tentang kejadian tersebut, kecuali bahwa ia mati meminum racun, tetapi tidak memberitahukan lebih banyak.
Phædo: Dan apakah kamu bahkan tidak mendengar pengadilan tersebut, dan bagaimana ia berlangsung?
Echecrates: Ya, seseorang memberitahukan kepada kami tentang ini, dan kami menyangka bahwa walaupun telah beberapa lama terjadi, ia tampak mati lama kemudian. Mengapa demikian, Phædo?
Phædo: Sebuah keadaan kebetulan, Echecrates. Ia adalah karena buritan kapal yang orang-orang Athena kirim ke Delos dimahkotai di hari sebelum persidangan tersebut.
Echecrates: Kapal apakah ini?
Phædo: Ia adalah kapal, sebagaimana orang-orang Athena katakan, yang di dalamnya sebelumnya Theseus mengantarkan empat belas pemuda laki-laki dan perempuan ke Crete, dan menyelamatkan kedua-duanya mereka dan juga ia sendiri. Mereka, dengan demikian, membuat sebuah sumpah kepada Apollo karena kejadian itu, sebagaimana diriwayatkan, bahwa jika mereka terselamatkan mereka setiap tahun akan mengirimkan sebuah utusan ke Delos. Dan, sejak saat itu sehingga kini, mereka mengutusnya setiap tahun untuk menghormati sang dewa. Ketika mereka memulai persiapan-persiapan untuk duta ini, mereka memiliki sebuah hukum bahwa kota akan disucikan selama masa ini, dan bahwa akan tidak ada pelaksanaan hukuman di hadapan khalayak sampai kapal tersebut mencapai Delos dan kembali ke Athena. Dan terkadang, ketika angin menghalangi perjalanan mereka, ini memerlukan waktu yang panjang. Permulaan duta ini adalah ketika pendeta Apollo telah memahkotai buritan kapal tersebut, dan ini telah dilakukan, sebagaimana aku telah katakan, di hari sebelum hari persidangannya. Demikianlah sehingga Socrates melewati sebuah rentang waktu yang panjang di dalam penjara di antara persidangan dan kematiannya.
Echecrates: Dan apa, Phædo, keadaan-keadaan di kematiannya? Apa yang dikatakan dan dilakukan? dan siapa dari teman-temannya yang ada bersamanya? ataukah pihak yang berwenang tidak membiarkan mereka hadir, sehingga ia mati tanpa teman-temannya?
Phædo: Sama sekali tidak, tetapi beberapa, bahkan cukup banyak yang hadir.
Echecrates: Berbaiklah untuk menceritakan kepadaku semua kejadian ini sejelas yang kamu bisa, kecuali kamu memiliki urusan yang mendesak.
Phædo: Aku tidak sedang sibuk, dan aku akan berusaha untuk memberimu sebuah kisah penuh. Karena untuk mengenang Socrates, dibicarakan olehku ataupun mendengar kepada seseorang yang lain, selalu paling mencerahkan untukku.
Echecrates: Dan benar-benar, Phædo, kamu memiliki beberapa pendengar yang berpikiran sama. Bagaimanapun, berusahalah untuk menceritakan setiap hal serinci yang kamu bisa.
Phædo: Untukku, perasaanku sangat aneh, saat dahulu aku di sana. Karena aku bukan terisi oleh perasaan iba, seperti seseorang yang hadir di kematian seorang teman, karena orang itu tampak kepadaku sebagai berbahagia, Echecrates, kedua-duanya dari sikap dan perkataannya, sangat secara terhormat dan tanpa takut ia berjumpa dengan kematiannya. Sehingga, tampak kepadaku bahwa di dalam ia pergi ke Hades ia bukan pergi tanpa takdir suci, tetapi bahwa ketika ia tiba di sana ia akan berbahagia, jika siapapun pernah. Untuk alasan inilah aku benar-benar tidak terisi oleh perasaan iba, sebagaimana akan terlihat sebagai kejadian dengan seseorang yang hadir di keadaan duka. Juga tidak aku terpengaruh oleh kenikmatan dari terlibat di dalam percakapan filsafat, sebagaimana kebiasaan kita, karena percakapan kita dari macam itu. Tetapi sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan, menguasai diriku, semacam campuran yang tidak biasa antara kenikmatan dan rasa sakit bersama-sama, ketika aku mempertimbangkan bahwa Socrates akan segera mati. Dan semua kami yang hadir terpengaruh di dalam cara yang sama, di suatu waktu tertawa, di lain waktu menangis. Satu dari kami terutama, Apollodorus, karena kamu mengenal ia dan wataknya.
Echecrates: Memang aku mengenalnya.
Phædo: Ia sangat dikuasai oleh perasaan-perasaan ini, dan aku juga, sebagaimana yang lainnya.
Echecrates: Tetapi siapa mereka ini, Phædo?
Phædo: Dari penduduk Athena, Apollodorus ini hadir, dan Critobulus, dan ayahnya Crito, dan Hermogenes, Epigenes, Æschines dan Antisthenes. Ctesippus orang Pæania, Menexenus, dan beberapa yang lain dari Athena. Plato juga hadir, aku pikir, dulu ia sedang sakit.
Echecrates: Apakah ada orang asing yang hadir?
Phædo: Ya, Simmias, orang Thebes, Cebes dan Phædondes. Dari Megara, Euclides dan Terpsion.
Echecrates: Apakah Aristippus dan Cleombrotus hadir?
Phædo: Tidak, karena mereka dikatakan ada di Ægina.
Echecrates: Masih adakah orang lain di sana?
Phædo: Menurutku ini telah hampir semuanya yang hadir.
Echecrates: Baik, sekarang, apa yang kamu katakan sebagai pokok percakapan?
Phædo: Aku akan mencoba menceritakan keseluruhan kepadamu dari permulaan. Di hari-hari sebelumnya, aku dan yang lainnya secara tetap di dalam mengunjungi Socrates. Kami biasanya bertemu di awal pagi di rumah pengadilan tempat persidangan tersebut dahulu berlangsung, karena berdekatan dengan penjara. Setiap hari, kami biasanya menunggu sampai penjara dibuka, bercakap-cakap satu sama lain, karena ia tidak dibuka terlalu awal. Segera setelah terbuka, kami masuk menemui Socrates, dan biasa melewatkan hari bersamanya. Di hari itu, kami berkumpul lebih awal, karena di hari sebelumnya, ketika kami meninggalkan penjara saat malam, kami mendengar bahwa kapal telah tiba dari Delos. Sehingga kami saling berpendapat untuk datang seawal mungkin. Kemudian kami datang, dan sipir yang biasa menerima kami, keluar memberitahukan kami untuk menunggu, dan tidak masuk sampai ia memanggil kami. “Karena,” katanya, “Sebelas sekarang sedang melepaskan Socrates dari belenggunya, dan menyatakan kepadanya bahwa ia harus mati hari ini.” tetapi tidak lama kemudian, ia kembali, dan mempersilakan kami masuk.
Ketika kami masuk, kami mendapati Socrates baru saja dibebaskan dari belenggunya, dan Xanthippe, kamu mengenalnya, memegang anak laki-lakinya yang kecil, dan duduk di samping Socrates. Segera setelah Xanthippe melihat kami ia menangis keras, dan mengucapkan perkataan-perkataan yang perempuan biasa lakukan di keadaan demikian, “Socrates, teman-temanmu sekarang akan bercakap-cakap denganmu untuk terakhir kali, dan kamu dengan mereka.” Tetapi Socrates, memandang kepada Crito, berkata, “Crito, biarkan seseorang membawanya pulang.” Beberapa pembantu Crito segera menuntunnya pergi, meratap dan memukuli dadanya.
Socrates duduk di atas dipan dan menarik kakinya dan menggosoknya dengan tangannya, dan sementara ia menggosoknya, ia berkata, “Sebuah hal yang aneh, teman-temanku, hal yang orang-orang biasanya sebut sebagai kenikmatan, dan sangat menakjubkan ia berhubungan dengan kebalikannya, rasa sakit, bahwa mereka akan tidak kedua-duanya hadir kepada seseorang di saat yang sama. Walaupun demikian, jika seorang mengejar dan mendapatkan yang satu, ia hampir selalu terpaksa menerima yang lainnya, seolah-olah mereka kedua-duanya tersatukan bersama-sama dari satu kepala." "Dan tampak kepadaku," katanya, "bahwa jika Æsop pernah mengamati ini ia akan membuat sebuah kisah darinya, bagaimana dua ini berperang, dan dewa hendak mendamaikan mereka, ketika ia tidak bisa melakukan demikian, ia melekatkan kepala mereka bersama-sama, dan sejak itu siapapun yang dikunjungi oleh yang satu yang lainnya akan tiba segera setelahnya. Seperti itulah yang terjadi denganku, aku menderita sakit di kakiku sebelumnya dari belenggu, tetapi sekarang kenikmatan tampak menggantikan.”
Kepada ini Cebes, menyela ia, berkata: “Demi Zeus, Socrates, aku suka kamu mengingatkanku. Beberapa orang yang lain telah bertanya tentang puisi-puisi yang kamu buat, secara memasukkan ke dalam matra kisah-kisah dari Æsop dan himne untuk Apollo. Evenus, dua hari yang lalu menanyaiku, mengapa kamu membuat mereka setelah kamu datang ke sini, sementara sebelumnya kamu tidak pernah membuat satupun. Jika saja, kamu peduli sama sekali bahwa aku harus mampu menjawab kepada Evenus, jika ia bertanya lagi, karena menurutku ia akan melakukan demikian, katakanlah kepadaku apa yang aku harus katakan kepadanya?”
“Beritahukan ia kebenaran, Cebes,” ia menjawab, “bahwa aku bukan membuat mereka untuk bertanding dengannya atau puisi-puisinya, karena aku mengetahui bahwa ini akan bukan menjadi persoalan yang mudah, tetapi supaya aku mungkin mengungkapkan arti dari beberapa mimpi, dan melaksanakan kata hatiku, jika ini bisa menjadi musik yang sering mereka perintahkan kepadaku untuk aku kerjakan. Mereka adalah sesuatu semacam ini. Sering di masa laluku mimpi yang sama mengunjungiku, tampak di saat-saat berbeda dengan bentuk-bentuk yang berbeda, tetapi selalu mengatakan hal yang sama, ‘Socrates,’ ia berkata, ‘serahkan dirimu kepada dan kerjakanlah musik.’ Dan aku dahulu menyangka bahwa ia mendorong dan menyemangatiku untuk melanjutkan pengejaran yang aku sedang lakukan, seperti orang-orang yang berteriak di perlombaan, sehingga mimpi tersebut menyemangatiku untuk melanjutkan pengejaran yang aku lakukan, yakni, untuk menyerahkan diriku sendiri kepada pekerjaan musik, karena filsafat adalah musik yang paling tinggi, dan aku sedang mengerjakannya. Tetapi sekarang sejak persidanganku terjadi, dan hari raya sang dewa menunda kematianku, tampak kepadaku bahwa jika saja mimpi yang sering mendatangiku tersebut memintaku untuk melakukan pekerjaan musik yang paling dikenal, aku harus melakukannya, dan tidak mengabaikannya. Karena menurutku akan lebih aman untukku tidak berangkat dari sini sebelum aku melaksanakan kata hatiku dengan membuat beberapa puisi di dalam mematuhi mimpi tersebut. Sehingga, pertama-tama aku menyusun sebuah himne kepada sang dewa yang hari rayanya saat ini, dan setelah sang dewa, mempertimbangkan bahwa seorang penyair, jika ia bermaksud menjadi penyair, haruslah membuat kisah-kisah, dan bukan ceramah-ceramah, dan aku bukanlah pembuat kisah-kisah, sehingga aku mengambil kisah-kisah dari Æsop itu, yang sudah ada, dan diketahui olehku, dan yang pertama tampak kepadaku. Katakanlah ini kepada Evenus, Cebes, dan ucapkan selamat jalan kepadanya, dan jika ia bijaksana, untuk mengikutiku sesegera yang ia bisa. Aku, tampaknya, berangkat hari ini, karena demikianlah perintah orang-orang Athena.”
Kepada ini Simmias berkata, “Apa ini, Socrates, yang kamu dorong Evenus lakukan? karena aku sering bertemu dengannya, dan dari yang aku ketahui tentangnya, aku cukup yakin bahwa ia akan tidak mengikuti nasihatmu itu.”
“Apa, kemudian,” kata ia, “bukankah Evenus seorang filsuf?”
“Kepadaku ia tampak demikian,” kata Simmias.
“Kemudian ia akan bersedia,” Socrates menjawab, “dan demikian semua orang yang secara pantas menekuni pembelajaran ini. Mungkin, bagaimanapun, ia akan tidak mengambil hidupnya sendiri, karena hal itu mereka katakan tidak bisa dibiarkan.” Ketika ia mengatakan ini ia menurunkan kakinya di lantai, dan ia tetap di dalam sikap ini di sepanjang sisa percakapan.
Cebes kemudian menanyainya, “Apa maksudkmu, Socrates, dengan mengatakan bahwa tidak sesuai hukum untuk seseorang mengambil hidupnya sendiri, tetapi seorang filsuf harus bersedia mengikuti seorang yang sedang akan mati?”
“Apa, Cebes! Apakah kamu dan Simmias, yang telah secara akrab bercakap-cakap dengan Philolaus, belum pernah mendengar tentang hal ini?”
“Tidak ada yang terlalu jelas, Socrates.”
“Aku sendiri, hanya berbicara perkataan yang kudengar, tetapi aku tidak keberatan untuk mengatakan hal yang aku telah dengar. Mungkin pantas, sejak aku sedang akan melakukan perjalanan ke sana, untuk mencari dan memperkirakan tentang perjalanan ke sana, macam apa yang kita sangka. Apa yang lain yang bisa seseorang lakukan di rentang waktu dari sekarang sampai matahari terbenam?”
“Kemudian mengapa, Socrates, mereka mengatakan bahwa tidak bisa dibiarkan untuk membunuh diri sendiri? karena aku, sebagaimana kamu tanyakan sekarang, telah mendengar kedua-duanya Philolaus, dan beberapa yang lain, mengatakan bahwa bukan hal yang benar untuk melakukan ini, tetapi aku belum pernah mendengar siapapun mengatakan sesuatu yang jelas tentang hal ini.”
“Kemudian, kamu memberanikan diri,” kata Socrates, “dan kamu mungkin bisa mendengarkan sesuatu. Mungkin ia akan tampak menakjubkan untukmu, bahwa ini saja dari semua hukum tanpa pengecualian, dan tidak pernah terjadi kepada seorang manusia, sebagaimana di dalam semua persoalan yang lain, bahwa hanya di beberapa waktu dan hanya di beberapa orang, lebih baik untuk mati daripada untuk hidup. Mungkin tampak aneh kepadamu bahwa orang-orang yang lebih baik untuk mati ini, tidak bisa tanpa ketidaksalehan melakukan kebaikan ini kepada diri mereka sendiri, tetapi harus menunggu berkah lain.”
Kemudian Cebes, tersenyum lembut, berkata, berbicara di dalam dialeknya sendiri, “Jove mengetahui!”
“Ia akan tampak tidak beralasan jika diletakkan di dalam cara ini,” kata Socrates, “tetapi boleh jadi ada suatu alasan di dalamnya. Ajaran yang diajarkan secara rahasia tentang persoalan ini, bahwa kita manusia di dalam semacam penjara, dan kita harus tidak melepaskan diri kita darinya dan bebas, tampak kepadaku sulit dimengerti dan tidak mudah diresapi. Bagaimanapun, Cebes, aku percaya bahwa para dewa menjaga kita, dan bahwa kita adalah milik mereka. Apakah kamu memercayai ini?”
“Ya,” kata Cebes, “aku percaya.”
“Kemudian,” kata ia, “jika satu dari para budakmu hendak membunuh dirinya sendiri, tanpa kamu memberitahukan bahwa kamu menginginkan ia mati, apakah kamu akan marah, dan apakah kamu akan menghukumnya jika kamu bisa?”
“Tentu saja,” ia menjawab.
“Kemudian, di dalam titik pandang ini, bukan tidak beralasan untuk mengatakan bahwa seseorang harus tidak membunuh dirinya sendiri sebelum para dewa meletakkannya di bawah sebuah keperluan untuk melakukan demikian, sebagaimana sekarang diletakkan kepadaku.”
“Ini,” kata Cebes, “tampak bisa dimengerti. Tetapi hal yang baru saja kamu katakan, Socrates, bahwa para filsuf harus bersedia dan berkeinginan untuk mati, tampak aneh, jika hal yang kita baru saja katakan adalah benar, bahwa dewa memelihara kita, dan kita adalah miliknya. Karena tidak beralasan, jika orang-orang yang paling bijaksana harus tidak bersedih meninggalkan pelayanan yang di dalamnya mereka diperintah oleh yang paling baik dari semua tuan, yaitu, para dewa. Seorang yang bijaksana tentu saja tidak akan beranggapan bahwa ia akan lebih baik mengurus dirinya sendiri ketika ia bebas. Tetapi manusia yang bodoh mungkin berpikir demikian, bahwa ia harus pergi dari tuannya, dan akan tidak menyadari bahwa ia harus tidak lari dari satu yang baik, tetapi harus merapat kepadanya sebanyak mungkin, sehingga ia pergi melawan semua alasan. Tetapi seorang yang berpikiran baik akan menginginkan tetap dengan satu yang lebih baik daripada dirinya sendiri. Demikianlah, Socrates, pertentangan dari hal yang baru saja kamu katakana, karena menjadi yang bijaksana bersedih terhadap mati, tetapi yang bodoh untuk bergembira.”
Ketika Socrates mendengarkan ini, tampak kepadaku bahwa senang dengan kekerasan hati dari Cebes, dan memandangi kami, berkata, “Cebes, kalian lihat, selalu memeriksa argumen-argumen, dan tidak akan secara mudah teryakinkan oleh apapun yang orang katakan.”
Kepada itu Simmias menjawab, “Tetapi, Socrates, Cebes tampak kepadaku sebagai benar. Karena mengapa orang-orang yang benar-benar bijaksana pergi dari tuan-tuan yang lebih baik daripada diri mereka sendiri, dan sangat bersedia meninggalkan mereka? Cebes tampak kepadaku mengarahkan argumen tersebut melawanmu, karena kamu sangat bersedia meninggalkan kami dan para dewa, yang adalah, sebagaimana kamu sendiri mengakuinya, para pemimpin yang baik.”
“Kamu berhak mengatakan demikian,” kata Socrates, “karena aku berpikir bahwa maksudmu aku harus membuat pembelaan diri terhadap tuduhan ini, seolah-olah jika aku sedang di dalam sebuah sidang pengadilan.”
“Tentu saja,” Simmias menjawab.
“Baik, kemudian,” kata ia, “aku akan berusaha mempertahankan diriku sendiri secara lebih berhasil di hadapan kalian daripada di hadapan para juri. Karena,” ia melanjutkan, “Simmias dan Cebes, jika aku tidak berpikir bahwa aku akan pergi, pertama dari semua, di antara para dewa yang kedua-duanya bijaksana dan baik, dan, lebih lanjut, di antara orang-orang yang telah meninggalkan kehidupan ini, aku haruslah salah di dalam tidak bersedih kepada kematian. Tetapi sekarang, kalian semua yakinlah, bahwa aku berharap pergi ke orang-orang baik, walaupun aku bukan secara pasti menerima demikian. Tetapi, bagaimanapun, bahwa aku akan pergi kepada para dewa yang secara sempurna tuan-tuan yang baik, aku bisa secara pasti menerima ini. Sehingga, di kejadian ini, aku tidak sangat susah, tetapi aku menerima sebuah harapan baik bahwa sesuatu menunggu mereka yang mati, dan bahwa, sebagaimana sejak dahulu dikatakan, sesuatu yang akan jauh lebih baik untuk orang-orang yang baik daripada untuk orang-orang yang buruk.”
“Apa, kemudian, Socrates,” kata Simmias, “apakah kamu akan pergi dan menyimpan pendapat ini untuk dirimu sendiri, ataukah kamu akan membaginya kepada kami? Karena kebaikan ini tampak kepadaku berlaku secara umum untuk kita, dan di saat yang sama, jika kamu bisa membuat kami yakin dengan hal yang kamu katakan, ia akan menjadi pembelaan diri untukmu.”
“Aku akan berusaha melakukan demikian, ia berkata. “Tetapi pertama-tama biarkan kita membawa Crito ke sini, dan melihat apa diingininya. Ia tampak telah beberapa lema mencoba mengatakan sesuatu.”
“Apa yang lain, Socrates” kata Crito, “kecuali apa yang orang yang akan memberikan racun kepadamu katakan kepadaku beberapa saat yang lalu, bahwa aku harus memberitahukan kamu untuk berbicara se-sedikit mungkin? Karena ia mengatakan bahwa orang-orang menjadi terlalu terpanasi oleh berbicara, dan hal semacam ini berpengaruh buruk kepada racun tersebut, sehingga kadang-kadang, mereka yang melakukan demikian, harus meminumnya dua atau bahkan tiga kali.”
Kepadanya Socrates menjawab, “Biarkan ia memperhatikan urusannya sendiri, dan bersiap-siap memberikan aku dua kali, atau, jika keadaan mensyaratkan, bahkan tiga kali.”
“Aku hampir yakin mengetahui apa yang kamu akan katakan,” Crito menjawab, “tetapi ia telah beberapa lama terus manggangguku.”
“Jangan menghiraukannya,” ia menjawab. “Aku sekarang aku berharap untuk mengantarkan sebuah kisah kepada kalian, para juriku, alasan mengapa seorang yang benar-benar menyerahkan hidupnya kepada filsafat, secara alamiah memiliki keberanian yang baik, ketika ia sedang akan mati, dan untuk menikmati sebuah harapan yang kuat bahwa kebaikan yang paling besar akan ia peroleh di dalam dunia lain ketika ia berangkat dari kehidupan ini. Bagaimana, kemudian, ini bisa demikian, Simmias dan Cebes, aku akan berusaha jelaskan.”
“Orang-orang yang lain seperti tidak menyadari bahwa mereka yang secara benar mengejar filsafat, tidak menjadikan apapun sebagai tujuan kecuali kematian dan menjadi mati. Jika ini benar, kemudian, akan sangat absurd untuk mereka mengingini hal apapun kecuali ini di sepanjang hidup mereka, tetapi, ketika hal tersebut tiba, mereka bersedih kepada apa yang telah sejak lama mereka sangat ingini dan jadikan tujuan."
Kepada ini Simmias tetawa, dan berkata, “Demi Zeus, Socrates, walau aku sama sekali tidak bermaksud untuk tertawa, kamu membuatku melakukan demikian. Karena menurutku, orang-orang, jika mereka mendengar perkataanmu tentang para filsuf, akan mengatakan bahwa kamu benar, dan terutama orang-orang negeri kita akan setuju denganmu, bahwa para filsuf mengingini kematian, dan mereka akan menambahkan bahwa mereka sangat mengetahui bahwa para filsuf pantas menderita demikian.”
“Dan, mereka berbicara benar, Simmias, kecuali di dalam menambahkan bahwa mereka sangat mengetahui. Karena mereka jahil kepada rasa yang di dalamnya para filsuf sejati ingin untuk mati, dan di dalam rasa apa mereka pantas mati, dan mati semacam apa.” “Tetapi,” ia berkata, “biarkan kita meninggalkan mereka, dan berbicara satu sama lain. Apakah kita berpikir bahwa kematian adalah sesuatu?”
“Tentu saja,” Simmias menjawab.
“Apakah ia sesuatu selain daripada pemisahan jiwa dari badan? Dan bukankah ini mati, karena badan menjadi bagian tersendiri terpisah dari jiwa, dan jiwa menjadi tersendiri terpisah dari badan? Apakah mati adalah sesuatu selain ini?”
“Tidak, Socrates,” ia menjawab.
“Pertimbangkan, kemudian, temanku yang baik, jika kamu sependapat denganku. Karena jika kamu demikian, menurutku, kita akan mengerti lebih baik persoalan yang kita sedang pertimbangkan. Apakah tampak kepadamu ada di dalam seorang filsuf untuk mengingini kenikmatan-kenikmatan, sebagaimana mereka dikatakan, seperti daging-daging dan minuman-minuman?”
“Sama sekali tidak, Socrates,” kata Simmias.
“Bagaimana tentang kenikmatan-kenikmatan dari cinta?”
“Sama sekali tidak.”
“Apa, kemudian? Apakah orang semacam itu tampak kepadamu akan memikirkan perhatian-perhatian badaniah, maksudku, pakaian-pakaian dan sandal-sandal, dan perhiasan-perhiasan badan yang lain? Apakah menurutmu ia memedulikan mereka ataukah mengabaikan mereka, kecuali keperluan mengharuskan ia menggunakan mereka?”
“Filsuf sejati,” ia menjawab, “tampak kepadaku memandang rendah mereka.”
“Menurutmu, seluruh pekerjaan orang semacam itu, bukanlah tentang badan, tetapi memisahkan dirinya sendiri dari itu sebanyak yang mungkin, dan memperhatikan jiwanya?”
“Ya.”
“Pertama dari semua, kemudian, di dalam persoalan-persoalan demikian, lebih daripada siapapun, filsuf terbukti memisahkan jiwanya dari penyatuan dengan badan?”
“Ia tampak demikian.”
“Orang kebanyakan beranggapan bahwa ia yang tidak menggunakan kenikmatan dan tidak mengambil bagian di dalam hal-hal demikian tidaklah pantas untuk hidup, tetapi bahwa ia yang tidak memedulikan kenikmatan-kenikmatan badaniah, lebih baik mati.”
“Kamu berbicara secara sangat benar.”
“Tetapi Bagaimana dengan pencapaian kebijaksanaan? Apakah badan adalah sebuah penghalang, ataukah tidak, jika siapapun mengambilnya sebagai mitra di dalam pencarian? Maksudku begini: apakah penglihatan dan pendengaran membawakan kebenaran apapun kepada manusia, atau apakah mereka seperti yang para penyair selalu lantunkan, bahwa kita tidak melihat juga tidak mendengar apapun secara tepat? Jika, bagaimanapun, pendengaran dan penglihatan ini tidak tepat juga tidak jelas, sangat sedikit yang lainnya mungkin bisa, karena mereka semuanya indera yang jauh lebih rendah daripada ini. Tidakkah tampak demikian kepadamu?”
“Tentu saja demikian,” ia menjawab.
“Kapankah, kemudian,” kata ia, “jiwa memeroleh kebenaran? Karena ketika ia berusaha untuk mempertimbangkan apapun dengan ditemani oleh badan, jelas bahwa ia akan tertipu olehnya.”
“Benar.”
“Dengan menggunakan alasan, jika sama sekali, suatu kenyataan menjadi jelas kepadanya?”
“Ya.”
“Dan jiwa beralasan paling baik ketika tidak ada dari hal-hal ini yang mengganggunya, tidak pendengaran, tidak penglihatan, tidak rasa sakit juga tidak kenikmatan apapun, tetapi sendiri dengan dirinya sendiri, meninggalkan badan, dan menghindari, sejauh mungkin, berhubungan atau bersentuhan dengannya, untuk mencapai kenyataan yang ia tuju.”
“Benar.”
“Di dalam persoalan ini juga, kemudian, jiwa filsuf secara besar mengabaikan badan, dan pergi darinya, dan berusaha untuk sendirian dengan dirinya sendiri?”
“Tampak demikian.”
“Tetapi apa kepada hal-hal semacam ini, Simmias? Apakah kita mengatakan bahwa keadilan adalah sesuatu ataukah bukan apa-apa?”
“Tentu saja kita mengatakan demikian.”
“Dan bahwa keindahan dan kebaikan adalah sesuatu?”
“Bagaimana tidak?”
“Sekarang, kemudian, pernahkah kamu melihat apapun dari macam ini dengan matamu?”
“Sama sekali tidak,” ia menjawab.
“Pernahkah kamu menjelaskan mereka dengan apapun indera badaniah yang lain? Maksudku, seperti besaran, kesehatan, kekuatan, dan, di dalam satu kata, esensi atau mutu dasar dari semua hal. Apakah, kemudian, kebenaran yang tepat dari hal-hal ini dikenali menggunakan badan? Bukankah seperti ini, yakni siapapun yang menempatkan dirinya sendiri untuk memikirkan secara mendalam dan tepat untuk memahami esensi dari setiap hal, akan membuat pencapaian yang paling dekat kepada pengetahuan tentang itu?”
“Tentu saja.”
“Bukankah seorang yang akan melakukan ini secara sempurna, adalah yang mencapai setiap hal sejauh mungkin, semata-mata dengan alasan, tidak menghubungkan penglihatan dengan alasannya, juga tidak mengajukan indera lain manapun untuk bersama-sama dengan alasannya. Tetapi ia pemikiran yang murni, untuk mencari setiap esensi yang murni, terbebas sebanyak mungkin dari mata dan telinganya, dan, di dalam satu kalimat, dari keseluruhan badannya, karena mereka mengganggu jiwa dari menerima kebenaran dan kebijaksanaan? Bukankah ia orang tersebut, Simmias, jika ada siapapun yang bisa, yang akan tiba di pengetahuan yang nyata?”
“Kamu berbicara dengan kebenaran yang menakjubkan, Socrates,” Simmias menjawab.
“Dengan demikian,” ia berkata, “secara perlu mengikuti dari semua ini bahwa para filsuf sejati harus berpikir dan berkata dengan satu sama lain sebagai berikut: ‘Tampak sebuah jalan pintas menuntun kita dan argumen kita di dalam pencarian-pencarian kita bahwa selagi kita memiliki badan, dan jiwa kita terkontaminasi dengan keburukan demikian, kita akan tidak pernah secara penuh mencapai hal yang kita harapkan, yaitu, kebenaran. Karena badan membuat kita sibuk dengan dukungan yang ia perlukan, terlebih lagi, jika ia sakit, ia menghalangi kita dari pengejaran kita kepada kebenaran. Badan mengisi kita dengan kerinduan-kerinduan, keinginan-keinginan, rasa takut, semua macam keraguan, dan sangat banyak absurditas, sehingga, sebagaimana dikatakan dengan benar, ia secara nyata membuat kita tidak bisa berpikir sama sekali. Karena tidak ada hal selain badan dan keinginan-keinginannya yang menyebabkan peperangan, penghasutan-penghasutan, dan perlombaan-perlombaan; karena semua perang di antara kita terbangun demi keinginan kita untuk memeroleh harta: dan kita terpaksa mencari kekayaan demi kebaikan badan, kita terbudakkan untuk melayaninya. Akibat dari semua hal ini, kita terhindarkan dari pengejaran filsafat. Tetapi yang paling buruk dari semuanya adalah, bahwa jika kita mengisi waktu dengan pengejaran filsafat, ia secara tetap akan menyela pembelajaran-pembelajaran kita, dan mengganggu kita dengan keributan dan kegalauan, sehingga mencegah kita untuk mengenali kebenaran. Kita mengetahui kemudian bahwa, jika kita ingin mengetahui apapun secara murni, kita harus terpisahkan dari badan, dan kita harus memandang kenyataan-kenyataan dengan menggunakan mata jiwa. Dan kemudian, sebagaimana tampak oleh argumen-argumen kita, kita akan memeroleh hal yang kita ingini, dan hal yang kita mengakui diri kita sendiri mencintainya, kebijaksanaan, ketika kita telah mati, tetapi bukan di saat kita masih hidup. Karena jika pengetahuan yang murni mustahil diperoleh saat kita bersama badan, satu dari dua hal ini harus mengikuti, bahwa kita akan tidak pernah mencapai pengetahuan, atau hanya setelah kita mati, karena kemudian jiwa akan tersendiri terpisah dari badan, tetapi bukan sebelumnya. Dan selagi kita hidup, sebagaimana tampak, kita akan sampai paling dekat kepada pengetahuan, jika kita sama sekali tidak mengadakan sentuhan atau penyatuan dengan badan, kecuali apa yang nyata diperlukan, tidak membiarkan diri kita tercemari oleh alamiahnya, tetapi memurnikan diri kita sendiri darinya, sampai dewa membebaskan kita. Dan dengan demikian, membebaskan diri kita dari kebodohan badan, dan karena murni, menurutku, kita akan bersama yang murni dan mengetahui semua hal yang murni, dan itu adalah, mungkin, kebenaran. Karena mustahil hal yang tidak murni mencapai hal yang murni.’ Hal-hal demikian, menurutku, Simmias, yang semua pecinta sejati kepada kebijaksanaan harus kedua-duanya pikirkan dan katakan satu sama lain. Apakah kamu setuju?”
“Paling secara yakin, Socrates.”
“Kemudian,” kata Socrates, “jika ini benar, temanku, ada harapan besar bahwa ketika aku tiba di tempat yang aku akan kunjungi, di sana, jika di manapun, aku akan secara penuh memeroleh hal yang menjadi tujuan utamaku di kehidupan yang sebelumnya, sehingga perjalanan yang sekarang dihadapkan kepadaku akan dimulai dengan harapan yang baik, dan demikian juga untuk siapapun yang lain yang beranggapan bahwa pikirannya telah, sebagaimana demikian, termurnikan dan tersiapkan.”
“Tentu saja,” kata Simmias.
“Tetapi bukankah pemurnian terdiri di dalam ini, sebagaimana telah dikatakan di bagian yang lebih awal dari perbincangan kita, di dalam memisahkan sebanyak yang mungkin jiwa dari badan, dan di dalam membiasakannya untuk menghimpun dan mengumpulkan dirinya sendiri dengan dirinya sendiri di segala sisi terpisah dari badan, dan untuk tinggal sejauh mungkin, kedua-duanya sekarang dan setelah sekarang, sendirian, terhantarkan, terbebas dari badan seperti dari belenggu?”
“Tentu saja,” ia menjawab.
“Inikah, kemudian yang disebut kematian, penghantaran dan pemisahan jiwa dari badan ini?”
“Secara yakin,” ia menjawab.
“Tetapi, sebagaimana kita telah maklumi, para filsuf sejati dan hanya mereka saja yang paling berkeinginan melepaskan jiwa. Benar-benar ini pembelajaran para filsuf, penghantaran dan pemisahan jiwa dari badan ini. Bukankah demikian?”
“Tampak jelas.”
“Kemudian, sebagaimana aku katakan saat pertama, bukankah akan konyol untuk seorang yang di sepanjang kehidupannya hidup sedekat mungkin kepada kematian, kemudian, ketika kematian tiba, untuk bersedih? Bukankah ini akan konyol?”
“Tentu saja.”
“Di dalam kenyataan, kemudian, Simmias,” ia melanjutkan, “mereka yang mengejar filsafat secara benar, belajar untuk mati. Untuk mereka, dari antara semua manusia, kematian paling tidak mengerikan. Pertimbangkan di dalam jalan ini. Mereka semuanya membenci badan dan ingin menjaga jiwa tetap tersendiri. Bukankah akan tidak masuk akal jika, ketika ini akan terjadi, mereka takut dan bersedih, dan tidak merasa senang untuk pergi ke tempat yang di sana, ada harapan untuk memeroleh hal yang lama mereka cari di sepanjang hidup mereka? Tetapi mereka mengejar kebijaksanaan, dan untuk terbebas dari berhubungan dengan hal yang mereka benci. Bukankah banyak orang yang berharap untuk turun ke Hades, demi tujuan-tujuan dari harapan manusia, isteri-isteri dan anak-anak mereka, berharap melihat dan bersama dengan yang mereka cintai? dan bisakah seorang yang mencintai kebijaksanaan, dan teguh memercayai harapan ini, bahwa bukan di tempat manapun yang lain daripada di dalam dunia lain tersebut, bersedih kepada mati, dan tidak merasa senang akan pergi ke sana? Kita harus menganggap ia akan pergi secara senang, temanku, jika ia benar-benar adalah filsuf. Karena ia akan meyakini ini secara kokoh, bahwa tidaklah di manapun yang lain daripada di sana untuk memeroleh kebijaksanaan yang murni. Dan jika ini demikian, bukankah akan sangat tidak masuk akal, sebagaimana aku sekarang katakan, jika orang semacam demikian takut kepada kematian?”
“Tentu saja, sangat konyol,” ia menjawab.
“Bukankah ini, kemudian,” ia melanjutkan, “adalah sebuah bukti yang memadai untuk kalian, ketika kalian melihat seseorang yang bersedih ketika akan mati, bahwa ia bukan pecinta kebijaksanaan, tetapi pecinta badannya? Dan orang yang sama ini mungkin seorang pecinta harta dan kehormatan, satu ataupun kedua-duanya dari ini.”
“Tentu saja demikian,” ia menjawab.
“Kemudian,” ia berkata, “Simmias, keberanian adalah watak yang khas untuk para filsuf?”
“Tentu saja,” ia menjawab.
“Dan kesahajaan, juga, yang secara umum disebut sebagai kesahajaan, di dalam keterpisahan dari gairah-gairah, tetapi menganggap hina mereka, dan bertetapan menolak mereka, bukankah ini untuk ia saja yang mengabaikan badan, dan melewati hidup di dalam filsafat?”
“Secara perlu demikian,” ia menjawab.
“Karena,” ia melanjutkan, “jika kamu mempertimbangkan keberanian dan kesahajaan orang-orang yang lain, kamu akan melihatnya sebagai absurd.”
“Mengapa demikian, Socrates?”
“Apakah kamu tahu,” ia berkata, “bahwa semua orang yang lain memasukkan kematian di antara keburukan-keburukan yang besar?”
“Mereka benar-benar melakukannya,” ia menjawab.
“Kemudian, apakah yang berani di antara mereka menghadapi kematian ketika mereka menghadapinya, karena takut kepada keburukan yang lebih besar?”
“Ia demikian.”
“Semua manusia, karena itu, kecuali para filsuf, berani karena khawatir dan takut. Walaupun absurd bahwa siapapun harus berani karena rasa takut dan kekhawatiran.”
“Tentu saja.”
“Tetapi bagaimana dengan mereka yang menekan gairah mereka di dalam jalan yang sama? bukankah mereka bersahaja karena tidak bersahaja? Dan walaupun kita mungkin mengatakan bahwa ini musathil, walaupun demikian, cara yang di dalamnya mereka terpengaruh kepada kesahajaan yang konyol ini menampakkan ini, mereka takut terhalau dari kenikmatan-kenikmatan tertentu yang mereka ingini, sehingga mereka meninggalkan beberapa yang lain karena mereka terbuai oleh yang lain. Dan walaupun demikian, tunduk kepada kenikmatan-kenikmatan disebut sebagai menuruti hawa nafsu. Walaupun demikian, mereka menaklukkan kenikmatan-kenikmatan, karena mereka takluk oleh kenikmatan-kenikmatan yang lain. Inilah yang aku baru saja katakan, bahwa kesahajaan mereka terjadi karena menuruti hawa nafsu.”
“Tampak demikian.”
“Simmias-ku yang baik, aku menduga bahwa ini bukanlah jalan yang benar untuk membeli kebaikan, menukarkan kenikmatan-kenikmatan dengan kenikmatan-kenikmatan, rasa sakit untuk rasa sakit, dan yang lebih besar untuk yang lebih kecil, seperti keping-keping koin. Tetapi koin yang benar, yang untuknya semua semua hal itu ditukarkan, dan dengannya semua hal dijual atau dibeli, adalah kebijaksanaan, dan keberanian dan kesahajaan dan keadilan, dan di dalam sebuah kalimat, kebaikan yang benar hanya ada di dalam kebijaksanaan, kenikmatan-kenikmatan ataupun kekhawatiran-kekhawatiran ditambahkan ataupun diambil. Dan kebaikan yang terdiri di dalam pertukaran hal-hal yang semacam demikian satu untuk yang lain tanpa kebijaksanaan, hanyalah gambar tiruan dan rendah, tidak ada memiliki kekuatan ataupun kebenaran. Tetapi kebenaran adalah pemurnian dari semua hal semacam demikian, dan kesahajaan dan keadilan dan keberanian dan kebijaksanaan adalah semacam pemurnian. Dan menurutku, orang-orang yang mengadakan misteri-misteri untuk kita tampak sama sekali bukan tidak tercerahkan, tetapi memiliki sebuah maksud yang tersirat ketika mereka mengatakan bahwa siapapun yang tiba di dalam Hades tidak-tersucikan dan tidak-tertuntun harus berbaring di dalam lumpur, tetapi ia yang tiba di sana tersucikan dan tertuntun akan tinggal bersama para dewa. Karena sebagaimana mereka katakan di dalam misteri-misteri, ‘Ada banyak penanggung thyrsus, tetapi sedikit para mistik’. Para mistik ini, menurutku, adalah mereka yang mengejar filsafat secara benar. Dan aku di dalam hidupku, sebisa diriku, tidak meninggalkan ada tersisa belum dicoba, dan berjuang di setiap jalan untuk menjadikan diriku salah satu dari mereka. Tetapi jika aku telah berusaha secara benar, dan pernah sampai kepada apapun, di ketibaan di sana aku akan mengetahui secara jelas, jika ia menyenangkan dewa—sangat tidak lama lagi, sebagai tampak kepadaku. Demikianlah, kemudian, Simmias dan Cebes,” ia menambahkan, “pembelaan yang aku buat, untuk itu aku, di pijakan yang baik, untuk tidak terganggu atau bersedih meninggalkan kalian dan para pemimpinku di sini, karena aku percaya bahwa di sana, tidak lebih kurang daripada di sini, aku akan bertemu dengan pemimpin-pemimpin dan teman-teman yang baik. tetapi untuk orang banyak ini tidak bisa dipercaya. Jika aku lebih berhasil dengan kalian di dalam pembelaanku daripada dahulu dengan para juri Athena, ia adalah baik.”
“Ya.”
Ketika Socrates selesai berbicara demikian, Cebes memasuki perbincangan, dan berkata, “Socrates, aku setuju dengan semua hal yang lain yang kamu katakan, tetapi tentang jiwa, orang-orang sangat cenderung tidak percaya. Menurut mereka, ketika jiwa terpisah dari badan, jiwa tidak lagi ada di manapun, tetapi hancur dan binasa di hari yang sama saat seseorang mati, dan bahwa segera ia terpisah dan keluar dari badan ia menyebar, dan menghilang seperti angin atau asap, dan tidak lagi di manapun. Jika ia ada di manapun menyatu di dalam dirinya sendiri, dan terbebas dari keburukan-keburukan yang kamu baru saja sebutkan, akan ada kelimpahan dan harapan baik, Socrates, bahwa hal yang kamu katakan adalah benar. Tetapi ini mungkin memerlukan sedikit persuasi dan bukti, untuk mempertunjukkan, bahwa jiwa seorang yang mati ada, dan memiliki kekuatan dan kecerdasan.”
“Kamu mengatakan secara benar, Cebes,” Socrates berkata, “tetapi apa yang harus kita lakukan? Apakah kamu mengharapkan kita berbincang-bincang tentang titik-titik ini, untuk mengetahui jika demikian halnya ataukah bukan?”
“Benar demikian,” Cebes menjawab, “aku akan senang mendengarkan pendapatmu terhadap hal-hal ini.”
"Aku tidak berpikir," kata Socrates, "bahwa siapapun yang mendengarkan kita sekarang, bahkan jika ia penyair komik, akan mengatakan bahwa aku berbicara bergurau, atau membicarakan hal-hal yang tidak berhubungan denganku. Jika kamu suka, kemudian, kita akan menjelaskan persoalan tersebut sampai di ujungnya. Biarkan kita mempertimbangkannya di dalam titik pandang ini, jika jiwa-jiwa manusia yang mati ada di dalam Hades, ataukah tidak. Ada sebuah ucapan kuno, yang sekarang kita akan ingat kembali, bahwa jiwa-jiwa berangkat dari sini ada di sana, dan kembali ke sini lagi, dan dilahirkan dari yang mati. Jika ini benar, bahwa yang hidup dilahirkan kembali dari yang mati, jiwa-jiwa kita ada di sana, bukankah mereka akan demikian? Karena mereka akan tidak bisa dihasilkan kembali jika mereka tidak ada, dan ini akan menjadi bukti yang cukup bahwa yang hidup dihasilkan bukan dari sumber manapun selain dari yang mati. Tetapi jika ini tidak demikian, akan dibutuhkan suatu argumen lain."
"Tentu saja," kata Cebes.
"Kamu harus tidak, kemudian," ia melanjutkan, "mempertimbangkan hal ini hanya kepada manusia, jika kamu berharap mendapatkan ketepatan yang lebih besar, tetapi juga kepada semua binatang dan tumbuh-tumbuhan, dan dengan kata lain, kepada segala sesuatu yang beranak. Biarkan kita melihat dengan mempertimbangkan semua ini, benarkah bahwa mereka semua dilahirkan atau dibangkitkan hanya dari kebalikan-kebalikan mereka, jika mereka memiliki kebalikan, misalnya, terhormat kebalikan dari rendahan, dan adil kepada tidak adil, dan juga sepuluh ribu hal lain? Biarkan kita mempertimbangkan ini,benarkah bahwa segala hal yang memiliki kebalikan harus dihasilkan tidak lain daripada kebalikan mereka? Misalnya, ketika apapun menjadi lebih besar, bukankah perlu bahwa, dari sebelumnya lebih kecil, ia kemudian menjadi lebih besar?"
"Dan jika ia menjadi lebih kecil, ia sebelumnya lebih besar, kemudian menjadi lebih kecil?"
"Ia demikian," ia menjawab.
"Dan dari lebih kuat, yang lebih lemah? Dan dari lebih lambat, yang lebih lincah?"
"Secara jelas."
“Dan yang lebih buruk, bukankah ia harus menjadi demikian dari sebelumnya lebih baik? Dan jika lebih adil, dari lebih tidak adil?”
“Tentu saja.”
“Kemudian,” ia berkata, “kita telah mengukuhkan ini secara cukup, bahwa segala hal dihasilkan demikian, kebalikan dari kebalikan?
“Tentu saja.”
“Adakah juga sesuatu dari macam ini di antara pasangan-pasangan kebalikan-kebalikan ini, hal yang mungkin disebut sebagai dua macam peranakan, dari satu kepada yang lain, dan dari yang lain itu kembali lagi? Di antara hal yang lebih besar dan yang lebih kecil, ada peningkatan dan penurunan, dan bukankah kita dengan demikian menyebut yang satu meningkat, yang lainnya menurun?”
“Ya,” katanya.
“Dan analisis dan kombinasi, dan pendinginan dan pemanasan, dan semua kebalikan-kebalikan di dalam cara yang sama. Walaupun kadang-kadang kita tidak memiliki nama untuk mereka, di dalam kenyataan mereka demikian, dihasilkan dari satu-sama-lain, dan dikerjakan oleh peranakan timbal-balik?”
“Tentu saja,” ia menjawab.
“Apa, kemudian?” kata Socrates, “apakah hidup memiliki kebalikan, sebagaimana bangun memiliki kebalikan, tidur?”
“Tentu saja,” ia menjawab.
“Apa?”
“Mati,” ia menjawab.
“Tidakkah hal-hal ini, kemudian, dihasilkan dari satu sama lain, sejak mereka berlawanan? dan karena mereka ada dua, kejadian di antara mereka adalah dua, bukankah demikian?”
“Tentu saja.”
“Kemudian,” Socrates melanjutkan, “aku akan menggambarkan kepadamu satu bagian kebalikan yang aku baru saja sebutkan, kedua-duanya ia dan cara perhasilannya. Dan kamu lakukanlah menggambarkan kepadaku yang lainnya. Aku katakan bahwa yang satu adalah tidur dan kebalikannya adalah bangun, dan tidur dihasilkan dari bangun, dan bangun dihasilkan dari tidur, dan cara perhasilannya adalah, yang satu tertidur dan yang lainnya terbangun. Apakah aku telah menjelaskan ini secara cukup kepadamu ataukah tidak?”
“Tentu saja.”
“Kamu lakukanlah, kemudian,” ia berkata, “gambarkan kepadaku di dalam cara yang sama mempertimbangkan hidup dan mati. Bukankah kamu melakukan mengatakan bahwa hidup berlawanan dengan mati?”
“Aku melakukannya.”
“Dan bahwa mereka dihasilkan dari satu sama lain?”
“Ya.”
“Apa, kemudian, yang dihasilkan dari hidup?”
“Mati,” ia menjawab.
“Apa, kemudian,” kata ia “yang dihasilkan dari mati?”
“Aku harus mengakui,” ia menjawab, “bahwa hidup.”
“Dari yang mati, kemudian, Cebes, hal-hal dan manusia yang hidup, dihasilkan?”
“Seharusnya demikian,” ia menjawab.
“Jiwa-jiwa kita, karena itu,” kata Socrates, “ada di dalam Hades.”
“Demikian kelihatannya.”
“Dengan mempertimbangkan, kemudian, cara perhasilan mereka, bukankah satu dari mereka sangat jelas? karena mati tentu saja jelas, bukankah demikian?”
“Tentu saja,” ia menjawab.
“Apa, kemudian, yang kita harus lakukan?” ia melanjutkan, “haruskah kita menyangkal proses kebalikan, dan alam hanya satu sisi di dalam kejadian ini? atau haruskah kita mencari sebuah proses kebalikan dari kematian?”
“Dengan senang hati,” ia berkata.
“Apakah ini?”
“Kebangkitan.”
“Karena itu,” ia melanjutkan, “jika ada suatu hal semacam kebangkitan, bukankah kebangkitan ini menjadi cara perhasilan dari yang mati kepada yang hidup?”
“Tentu saja.”
“Demikianlah, kemudian, kita telah setuju bahwa yang hidup dihasilkan dari yang mati, demikian juga yang mati dari yang hidup; tetapi ini halnya, tampak kepadaku bukti yang cukup bahwa jiwa-jiwa dari yang mati perlu ada di suatu tempat, dari sana mereka dihasilkan.”
“Menuutku, Socrates,” ia berkata, “ini harus mengikuti dari hal-hal yang telah diterima sebelumnya.”
“Sekarang, Cebes,” ia berkata, “ada sebuah cara lain, sebagaimana ia tampak kepadaku, untuk membuktikan bahwa kita benar di dalam hal-hal yang kita telah terima tersebut. Karena jika hal-hal tidak secara tetap dikembalikan menggantikan yang lainnya, berputar, sebagaimana di dalam sebuah lingkaran, tetapi generasi hanya maju di dalam sebuah garis lurus, tanpa kembali atau melingkar, apakah kamu tahu bahwa di ujungnya, semua hal akan memiliki bentuk yang sama, di dalam keadaan yang sama, dan berhenti dihasilkan?”
“Apa maksudmu?” ia bertanya.
“Tidak sulit,” ia menjawab, “untuk memahami maksudku. Jika, misalnya, ada sebuah hal semacam tertidur, tetapi tidak ada pembalikan bangun kembali yang dihasilkan dari keadaan tidur, kamu mengetahui bahwa akhirnya, semua yang lainnya akan menunjukkan kisah Endymion sebagai omong-kosong, dan ia akan dianggap sama sekali bukan apa-apa, karena segala yang lainnya akan ada di kedaan yang seperti ia, yaitu, tidur. Dan jika semua hal bercampur bersama-sama dan tidak pernah terpisah, perkataan Anaxagoras, segala sesuatu di dalam kekacauan, akan segera menjadi kenyataan. Demikianlah Cebes, jika segala hal yang hidup akan mati, dan setelah mati tetap di dalam keadaan mati ini, bukankah jelas bahwa akhirnya semua hal akan mati, dan tidak ada yang hidup? Karena jika hal-hal yang hidup dihasilkan dari apapun hal lain daripada yang mati, dan yang hidup akan mati, apa yang akan mencegah mereka semua terserap di dalam kematian?”
“Tidak ada apapun, menurutku, Socrates.” Cebes menjawab, “Kamu tampak kepadaku mengatakan kebenaran yang nyata.”
“Menurutku, Cebes,” ia melanjutkan, “memang benar-benar demikianlah, dan kita bukan menerima hal-hal ini di bawah delusi, kebangkitan adalah kenyataan yang pasti, yang hidup dihasilkan dari yang mati, dan jiwa-jiwa dari yang mati masih ada.”
“Dan, memang,” kata Cebes, menambahkan, “jika benar, hal yang kamu seringkali katakan, bahwa belajar kita tidak lain daripada mengenang, berdasarkan ini tentu saja perlu bahwa kita harus di suatu waktu dahulu telah mempelajari apa yang sekarang kita ingat. Tetapi ini tidak mungkin jika jiwa kita tidak ada di suatu tempat sebelum lahir di dalam benruk manusia ini. Sehingga, dengan argument ini juga, jiwa tampak sebagai sesuatu yang abadi.”
“Tetapi, Cebes,” kata Simmias, menyelanya, “bukti apa yang ada untuk hal-hal ini? ingatkan aku, karena aku tidak terlalu mengingat mereka saat ini.”
“Secara singkat,” kata Cebes, “sebuah bukti yang sangat baik adalah ini. Saat orang-orang ditanyai, jika kamu meletakkan pertanyaan-pertanyaan tersebut secara baik, mereka sendiri, menjelaskan semua hal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, jika mereka tidak memiliki pengetahuan bawaan-lahir dan alasan yang benar, mereka akan tidak pernah mampu melakukan ini. Terlebih, ini ditunjukkan secara jelas, jika kamu membawa mereka kepada diagram-diagram, atau apapun yang lain dari macam ini.”
“Tetapi jika kamu tidak teryakinkan di dalam jalan itu, Simmias,” kata Socrates, “lihat jika kamu akan setuju dengan kami di dalam jalan ini. Apakah kamu ragu bahwa hal yang disebut sebagai belajar adalah mengenang?”
“Aku tidak ragu,” kata Simmias; “tetapi aku memerlukan hal yang kita bicarakan ini, mengenang. Dari hal yang Cebes katakan, aku mulai ingat dan teryakinkan. Tetapi, bagaimanapun, aku harus suka untuk mendengarkan sekarang bagaimana kamu akan berusaha membuktikannya.”
“Aku melakukannya demikian,” ia menjawab. “Kita menerima, tentu saja, bahwa jika siapapun teringatkan oleh apapun, ia seharusnya mengetahui hal itu di suatu waktu sebelumnya?”
“Tentu saja,” ia berkata.
“Apakah kita, kemudian, menerima ini juga, bahwa ketika pengetahuan datang di dalam suatu cara ia adalah mengenang? Cara yang aku maksud adalah ini: Jika seseorang melihat atau mendengar, atau menerima di dalam sebuah cara lain, suatu hal yang akrab, harus tidak hanya mengetahui hal itu saja, tetapi juga menerima suatu hal yng lain, yang pengetahuannya tidak sama, tetapi berbeda, bukankah kita benar di dalam mengatakan bahwa ia mengingat itu dari hal yang ia terima?”
“Bagaimana maksudmu?”
“Misalnya, pengetahuan tentang seseorang adalah berbeda dari pengetahuan tentang sebuah lyre.”
“Tentu saja.”
“Bukankah kamu mengetahui bahwa para pecinta ketika melihat sebuah lyre, atau sebuah kain, atau apapun yang lain yang kesayangannya biasa gunakan, terpengaruh demikian? Ini adalah mengenang, seperti ketika siapapun melihat Simmias, seringkali teringatkan kepada Cebes, dan aku bisa menyebutkan sejumlah yang sangat banyak pemisalan yang serupa.”
“Memang kamu bisa saja,” kata Simmias.
“Sekarang,” ia berkata, “apakah sesuatu semacam itu adalah mengenang? Terutama ketika terjadi dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah dilupakan, karena waktu dan tidak memperhatikan?”
“Tentu saja,” ia menjawab.
“Kemudian,” ia melanjutkan, “bissakah seseorang melihat lukisan kuda atau gambar lyre, teringatkan kepada seseorang, atau melihat gambar Simmias seseorang teringat kepada Cebes?”
“Tentu saja.”
“Dan melihat gambar Simmias, ia bisa teringatkan kepada Simmias?”
“Ya,” ia berkata.
“Kemudian, berdasarkan kepada semua contoh ini, kenangan bangkit dari hal-hal yang serupa, dan sebagian dari hal-hal yang tidak sama, bukankah demikian?”
“Ia demikian.”
“Ketika seseorang teringatkan oleh hal-hal yang serupa, perlu bahwa seseorang tersebut akan mempertimbangkan jika mengenang ini memberikan kesrupaan yang sempurna kepada hal yang ia kenang, ataukah tidak?”
“Ia perlu demikian,” ia menjawab.
“Pertimbangkan, kemudian,” kata Socrates, “jika ini benar. Apakah kita membiarkan bahwa ada hal semacam kesetaraan? Aku tidak memaksudkan sebatang kayu dengan yang lainnya, juga tidak sebongkah batu dengan yang lainnya, juga tidak apapun dari macam ini, tetapi sesuatu yang benar-benar berbeda dari semua ini—kesetaraan abstrak. Apakah kita menerima bahwa ada hal yang semacam demikian, ataukah tidak?”
“Kita harus mengatakan bahwa ada,” Simmias menjawab.
“Dan apakah kita mengetahuinya?”
“Tentu saja,” ia menjawab.
“Dari mana kita memeroleh pengetahuan tentangnya? Bukankah dari hal-hal yang kita baru saja sebutkan? dari melihat batang-batang kayu yang setara, atau batu-batu, atau hal-hal lain dari macam tersebut, kita memeroleh dari mereka pengetahuan tentang kesetaraan abstrak, yang adalah sebuah hal yang berbeda? tidakkah ia tampak kepadamu sebagai berbeda? Pertimbangkan persoalan tersebut begini. Bukankah batu-batu yang setara, dan batang-batang kayu kadang-kadang bahwa adalah sama, walaupun masih benda yang sama, tampak setara di suatu waktu, dan tidak di lain waktu?”
“Tentu saja.”
“Kemudian, apakah kesetaraan-mutlak pernah tampak kepadamu tidak setara? Atau kesetaraan ke-tidak-setara-an?”
“Tidak, Socrates, tidak pernah.”
“Hal-hal yang setara ini, kemudian,” ia berkata, “tidak sama dengan kesetaraan di dalam abstrak?”
“Sama sekali tidak, Socrates.”
“Bagaimanapun, dari hal-hal yang setara ini,” ia berkata, “yang adalah berbeda dari kesetaraan abstrak itu, bukankah kamu membentuk pemikiranmu dan mendapatkan pengetahuanmu darinya?”
“Benar,” ia menjawab.
“Ia seperti mereka ataupun tidak seperti mereka?”
“Tentu saja.”
“Tidaklah membuat perbedaan,” ia berkata. “Kapanpun penglihatan kepada suatu hal membawakanmu penglihatan yang lain, mereka serupa ataupun tidak serupa, ini haruslah secara perlu adalah mengenang?”
“Tentu saja.”
“Kemudian,” ia melanjutkan, “apakah batang-batang kayu dan hal-hal yang setara, yang kita baru saja bicarakan, memengaruhi kita di dalam jalan ini, apakah mereka tampak kepada kita setara di dalam cara yang sama sebagaimana kesetaraan abstrak, atau apakah tidak mencukupi di dalam beberapa derajat, ataukah sama sekali tidak?”
“Mereka sangat tidak mencukupi,” ia menjawab.
“Apakah kita menerima, kemudian, bahwa ketika seseorang melihat suatu hal tertentu, akan berkata, hal yang sekarang aku lihat ini, seperti sesuatu yang lain yang ada, tetapi tidak mencukupi, dan tidak mampu menjadi sebagaimana ia, tetapi lebih rendah darinya, ia yang berpikir demikian, harulsah secara perlu memiliki suatu pengetahuan sebelumnya yang kepadanya ia mengatakannya sebagai mengingat, walaupun secara tidak sempurna?”
“Ia perlu.”
“Baik, apakah ini yang terjadi kepada kita, dengan mempertimbangkan hal-hal setara dan kesetaraan abstrak itu sendiri?”
“Secara yakin demikian.”
“Kemudian, kita haruslah memiliki pengetahuan kesetaraan sebelum saat pertama melihat hal-hal yang setara, dan kita berpikir, hal-hal ini berupaya mewakili kesetaraan, tetapi tidak mencukupi.”
“Benar.”
“Terlebih lagi, kita mengakui ini juga, bahwa kita tidak meraih ini, dan tidak mungkin bisa meraihnya dengan cara selain memandang, atau menyentuh, atau penginderaan lain? Menurutku semua indera adalah sama.”
“Ya, Socrates, mereka semuanya sama, sejauh argumen kita perhatikan.”
“Kemudian dengan melalui indera-inderal-ah, kita harus mempelajari, bahwa semua hal yang bisa dirasai, berusaha mencapai kesetaraan abstrak dan tidak mencukupinya. Bukankah kita seharusnya beranggapan demikian?”
“Kemudian, sebelum kita mulai melihat dan mendengar dan menggunakan indera kita yang lain, kita seharusnya telah meraih pengetahuan kepada kesetaraan abstrak atau mutlak itu sendiri, jika kita hendak membandingkan kepadanya hal-hal setara yang dirasai oleh indera-indera, dan mengamati bahwa semua hal demikian berusaha mewakili itu, tetapi tidak mencukupi.”
“Ini perlu mengikuti, Socrates, dari hal yang telah terkatakan.”
“Kita melihat dan mendengar dan memiliki indera-indera yang lain, segera setelah kita lahir?”
“Tentu saja.”
“Tetapi, kita telah mengatakan bahwa sebelum kita memiliki ini, kita seharusnya telah memeroleh pengetahuan kepada kesetaraan abstrak?”
“Ya.”
“Kemudian, sebagaimana tampak, kita seharusnya memilikinya sebelum kita lahir.”
“Tampak demikian.”
“Jika kita memiliki ini sebelum kita lahir, dan kita lahir dengan memilikinya, kita mengetahui, kedua-duanya sebelum kita lahir dan segera setelah kita lahir, bukan hanya kesetaraan dan yang lebih besar dan lebih kecil, tetapi semua hal yang semacam demikian? Karena argumen kita kini tidaklah lebih memperhatikan kesetaraan daripada keindahan, kebaikan, keadilan, kesucian, dan, dengan kata lain, memperhatikan semua hal yang kita tandai dengan segel keberadaan, kedua-duanya di dalam pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan dan jawaban-jawaban yang kita berikan. Sehingga kita harus secara perlu memiliki pengetahuan kepada semua ini sebelum kita lahir.”
“Benar.”
“Dan jika setelah memilikinya, kita tidak melupakannya, kita seharusnya selalu terlahir dengan pengetahuan ini, dan harus mengetahui mereka di sepanjang kehidupan. Karena mengetahui adalah memiliki pengetahuan tentang apapun, menyimpan dan tidak kehilangannya, dan kehilangan pengetahuan kita sebut sebagai kelupan. Bukankah demikian, Simmias?”
“Secara yakin, Socrates,” ia menjawab.
“Tetapi jika kita memeroleh pengetahuan sebelum kita lahir dan kehilangannya di saat kelahiran kita, kemudian dengan menggunakan indera-indera kita tentang hal-hal ini, kita menemukan pengetahuan yang dahulu pernah kita miliki, bukankah hal yang kita sebut sebagai belajar, adalah penemuan kembali pengetahuan kita? Dan kita seharusnya benar di dalam menyebutnya sebagai mengenang?”
“Tentu saja.”
“Karena tampak mungkin, saat mendapati sebuah hal dengan melihat ataupun mendengar, atau menggunakan indera apapun yang lain, untuk mengingat kembali dari penginderaan tersebut, suatu hal lain yang pernah lupakan, yang dihubungkan dengan hal yang diiderai, serupa ataupun tidak serupa. Sehingga, sebagaimana aku telah katakan, satu dari dua hal ini harus mengikuti: kita lahir dengan pengetahuan ini, dan mengetahuinya di sepanjang kehidupan kita, atau mereka yang kita katakan sebagai belajar hanyalah mengingat, dan belajar kemudian akan menjadi mengenang.”
“Demikianlah, secara pasti, halnya, Socrates.”
“Kamu memilih yang mana, Simmias? kita lahir dengan pengetahuan ataukah bahwa kita selanjutnya mengenang hal-hal yang kita terima pengetahuan tentangnya sebelum kita lahir?”
“Saat ini, Socrates, aku tidak mampu memilih.”
“Bagaimana dengan pertanyaan ini? kamu bisa memilih dan berpendapat terhadapnya. Ketika seseorang mengetahui, bisakah ia memberikan alasan terhadap hal yang ia ketahui, ataukah tidak?”
“Ia harus mampu melakukan demikian, Socrates,” ia menjawab.
“Dan apakah semua orang tampak kepadamu mampu memberikan sebuah alasan untuk hal-hal yang kita baru saja bicarakan?”
“Aku berharap mereka bisa,” kata Simmias, “tetapi aku lebih khawatir bahwa besok, di waktu seperti ini, akan tidak ada lagi siapapun yang mampu melakukan ini secara baik.”
“Tidakkah semua orang, kemudian, Simmias,” ia berkata, “tampak kepadamu mengetahui hal-hal ini?”
“Tentu saja.”
“Apakah mereka mengingat, kemudian, hal yang mereka pernah pelajari?”
“Secara perlu demikian.”
“Kapankah jiwa-jiwa kita menerima pengetahuan ini? tentu saja bukan, sejak kita lahir ke dunia.”
“Tentu saja tidak.”
“Sebelumnya?”
“Ya.”
“Jiwa-jiwa kita, karena itu, Simmias, ada sebelum mereka di dalam bentuk manusia, terpisah dari badan, dan memiliki kecerdasan.”
“Kecuali, Socrates, kita menerima pengetahuan ini di kelahiran kita, karena waktu ini masih tertinggal.”
“Anggaplah demikian, temanku. Tetapi di saat kapankah kita kehilangannya? Karena kita lahir tidak bersamanya, sebagaimana sekarang kita terima. Apakah kita kehilangannya, kemudian, di saat yang sama ketika kita menerimanya? Atau bisakah kamu menyebutkan waktu yang lain?”
“Tidak ada, Socrates. Aku tidak menyadari bahwa aku berbicara tidak masuk akal.”
“Kemudian, Simmias,” ia melanjutkan, “apakah ini kejadian tersebut? Jika hal-hal yang senantiasa kita bicarakan itu benar-benar ada, keindahan, kebaikan, dan setiap esensi, dan jika kita mengarahkan penginderaan-penginderaan kita kepada hal-hal ini, yang kita setujui sebagai ada sebelumnya dan sekarang kita miliki, dan membandingkan penginderaan-penginderaan kita dengan hal-hal ini, bukankah perlu mengikuti, bahwa jika hal-hal ini ada, demikian juga jiwa kita ada sebelum kita lahir? dan jika hal-hal ini tidak ada, perbincangan ini akan sia-sia, bukankah demikian? Inikah kejadiannya, dan bukankah sama-sama perlu bahwa hal-hal ini harus ada, dan juga jiwa-jiwa kita, sebelum kita lahir, dan jika hal-hal ini tidak ada, juga tidak ada jiwa-jiwa kita?”
“Paling secara yakin, Socrates,” kata Simmias, “ada tampak kepadaku keperluan yang sama, dan argumen itu secara mengagumkan membuktikan bahwa jiwa-jiwa kita ada sebelum kita lahir, sama seperti esensi yang kamu bicarakan. Karena aku tidak melihat ada apapun yang lebih jelas daripada ini, bahwa semua hal yang demikian secara pasti ada, keindahan, kebaikan, dan semua yang lainnya yang kamu baru saja kamu bicarakan;. Menurutku, hal tersebut telah secara cukup dibuktikan.”
“Tetapi bagaimanakah dengan Cebes?” kata Socrates; “karena Cebes seharusnya teryakinkan juga.”
“Ia secara cukup teryakinkan, aku berpikir,” kata Simmias, “walaupun ia adalah yang paling teguh di antara semua orang di dalam ragu kepada argumen-argumen. Walaupun demikian, menurutku ia cukup teryakinkan kepada ini, bahwa jiwa kita ada sebelum kita lahir. Tetapi jika ketika kita mati jiwa akan tetap ada, bahkan kepadaku tampak belum terbuktikan, Socrates.” Ia melanjutkan, “Tetapi keraguan yang umum, yang Cebes baru saja sebutkan, masih ada di jalan kita, bahwa ketika seseorang mati, jiwa tidak memendar, dan inilah akhir keberadaannya. Karena jika ia terlahirkan, dan terbentuk dari sumber lain, dan ada sebelum memasuki tubuh manusia, apa yang mencegahnya, setelah datang dan meninggalkan tubuh, dari dirinya sendiri mati, dan terurai?”
“Kamu benar, Simmias,” kata Cebes, “Karena ia tampak bahwa hanya separuh dari yang perlu telah dibuktikan, yaitu, bahwa jiwa kita ada sebelum kita lahir. Tetapi kita harus membuktikan lebih jauh, bahwa ketika kita mati, ia akan ada tidak kurang daripada sebelum kita lahir, jika pembuktian tersebut hendak dibuat lengkap.”
“Ini telah dibuktikan, Simmias dan Cebes,” kata Socrates, “jika saja kalian hendak menghubungkan argumen terakhir dengan yang kita sebutkan sebelumnya, bahwa segala makhluk hidup dihasilkan dari yang mati. Karena jika jiwa ada sebelum kelahiran, dan ketika memasuki kehidupan dan dilahirkan, tidak bisa dilahirkan dari apapun selain daripada yang mati, dan dari keadaan mati, bukankah ia seharusnya juga ada setelah kematian, sejak ia harus dihasilkan kembali? Sehingga, bukti yang kalian minta, telah diberikan. Bagaimanapun, menurutku, kamu dan Simmas hendak membawa perbincangan lebih jauh lagi. Kalian memiliki perasaan takut yang kekanak-kanakan, bahwa ketika jiwa pergi dari badan, angin akan meniup dan menguraikannya, terutama jika seseorang mati saat angin kencang, dan bukan di cuaca yang tenang.”
Cebes tersenyum, dan berkata, “Anggaplah bahwa kami memiliki perasaan takut tersebut, Socrates, dan cobalah untuk membuat kami yakin, atau anggaplah kami tidak takut, walau mungkin ada seorang anak di dalam kita, yang memiliki kekhawatiran semacam demikian. Biarkan kita, kemudian, berusaha untuk membuatnya yakin untuk takut kepada kematian, seperti kepada para hobgoblin.”
“Kamu harus memanterainya setiap hari,” kata Socrates, “sampai kamu menghilangkan kekhawatiran-kekhawatirannya.”
“Tetapi di mana, Socrates,” ia berkata, “kami bisa mendapatkan pelantun mantera yang mahir untuk hal semacam demikian, saat sekarang kamu akan meninggalkan kami?”
“Yunani, Cebes,” ia menjawab, “adalah negeri yang luas, dan di dalamnya tentu saja ada orang-orang yang mahir. Ada juga banyak negeri barbar, tiap-tiapnya harus kamu datangi, mencari pemantera, tanpa memikirkan uang ataupun kerja keras, sejak tidak ada hal yang lebih baik untuk kalian menghabiskan uang. Kalian harus juga mencarinya di antara kalian sendiri, karena mungkin kalian akan sukar menemukan lagi yang lebih sanggup daripada kalian sendiri untuk melakukan ini.”
“Ini harus dilakukan,” kata Cebes; “Tetapi, biarkan kita kembali kepada titik yang darinya kita menyimpang dari pembicaraan, jika kamu setuju.”
“Tentu saja aku setuju.”
“Perkataanmu baik,” kata Cebes.
“Bukankah kita harus,” kata Socrates, “mengajukan kepada diri kita sendiri pertanyaan semacam ini? Hal apa yang bisa terpengaruh menjadi demikian, yaitu, menjadi terurai, dan untuk apa kita harus takut, kecuali ia akan terpengaruh demikian, dan hal apa yang tidak bisa terpengaruh demikian? Dan setelah ini kita harus mempertimbangkan yang mana dari dua tersebut yang jiwa alami, dan menyandarkan rasa takut kita untuk jiwa kita kepada jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini?”
“Kamu berbicara secara benar,” katanya.
“Kemudian, bukankah jelas bahwa hal yang terbentuk oleh penyusunan, dan yang tersusun, secara almiah bisa terurai, di dalam cara yang sama sebagaimana ia tersusun? Dan jika sesuatu tidak tersusun, maka secara alamiah tidak akan terurai?”
“Menurutku itu benar,” kata Cebes.
“Bukankah mungkin, kemudian, bahwa hal-hal yang selalu sama dan tidak berubah, adalah hal-hal yang tidak terurai, tetapi hal-hal yang senantiasa berubah, dan tidak pernah di keadaan yang sama, adalah terurai?”
“Menurutku juga demikian.”
“Biarkan kita kembali, kemudian,” ia berkata, “kepada hal-hal yang kita perbincangkan sebelumnya. Apakah esensi, yang di dalam dialektika bertanya dan menjawab kita mengakuinya sebagai ada, selalu sama, atau apakah ia bisa berubah? Apakah kesetaraan, keindahan, dan setiap hal yang demikian, pernah mengalami perubahan apapun? Atau apakah tiap-tiap setiap esensi, sejak ia berbentuk tunggal dan ada dengan dirinya sendiri, senantiasa sama dan tidak pernah mengalami perubahan di bawah keadaan apapun?”
“Mereka seharusnya,” kata Cebes, “senantiasa tetap sama, Socrates.”
“Tetapi bagaimana dengan banyak hal, misalnya manusia, kuda, pakaian, atau hal-hal lain semacam ini, yang menggunakan nama seperti esensi-esensi, dan disebut sebagai indah atau setara dan sebagainya? Apakah mereka selalu sama? Atau apakah mereka, berkebalikan dengan esensi-esensi, senantiasa berubah di dalam diri mereka sendiri, tidak menyerupai satu sama lain, dan, untuk dikatakan, tidak pernah sama?”
“Hal-hal ini, di lain pihak,” Cebes menjawab, “tidak pernah tetap sama.”
“Hal-hal ini, kemudian, kamu bisa sentuh, atau lihat, atau terima dengan indera-indera yang lain; tetapi hal-hal yang tetap sama itu, kamu tidak bisa pahami selain daripada menggunakan pikiran, karena tidak tampak dan tidak terlihat?”
“Kamu mengatakan hal yang benar,” Cebes menjawab.
“Sekarang, haruskah kita beranggapan bahwa ada dua macam keberadaan, satu yang bisa dilihat yang lainnya yang tidak bisa dilihat?”
“Biarkan kita beranggapan demikian,” katanya.
“Dan yang tidak bisa dilihat selalu tetap sama, tetapi yang bisa dilihat senantiasa berubah?”
“Biarkan kita juga beranggapan demikian,” ia menjawab.
“Bukankah kita terdiri dari dua bagian, jiwa dan badan?”
“Ya.”
“Kepada jenis apa, kemudian, harus kita mengatakan badan lebih sama lebih dekat bersekutu?”
“Jelas untuk setiap orang,” ia berkata, “bahwa kepada yang bisa dilihat.”
“Dan jiwa? Apakah ia bisa dilihat ataukah tidak bisa dilihat?”
“Tidak bisa dilihat, setidaknya kepada manusia, Socrates,” ia menjawab.
“Tetapi kita mengatakan bisa dilihat dan tidak bisa dilihat, dengan mempertimbangkan penglihatan manusia, bukankah kita demikian?”
“Ya, kita demikian.”
“Kemudian, apa yang kita katakan tentang jiwa? Bisa terlihat, ataukah tidak?”
“Tidak bisa.”
“Kemudian, ia tidak bisa dilihat?”
“Ya.”
“Kemudian, jiwa lebih seperti tidak bisa dilihat, dan badan lebih seperti bisa dilihat?”
“Tentu saja, Socrates.”
“Dan bukankah kita, telah sejak lama mengatakan ini juga, bahwa jiwa, ketika ia menggunakan badan untuk menjelaskan apapun, dengan penglihatan ataupun pendengaran, atau indera apapun yang lain (karena pencarian menggunakan badan dilakukan dengan indera-indera), kemudian diseret oleh badan kepada hal-hal yang tidak pernah tetap sama, dan bergentayangan dan bingung, dan terhuyung-huyung seperti mabuk, karena bersentuhan dengan hal-hal yang dari macam ini?”
“Tentu saja.”
“Tetapi ketika jiwa menjelaskan apapun dengan dirinya sendiri, ia berangkat menuju alam hal yang murni, yang abadi dan tidak bisa berubah, dan karena bersekutu kepadanya, secara tetap bersamanya, sepanjang ia terdiri oleh dirinya sendiri, dan memiliki kekuatan, dan ia berhenti dari bergentayangan, dan tetap sama dan tidak berubah bersama yang tidak berubah, sejak ia bersentuhan dengan hal-hal yang dari macam ini. Keadaan jiwa ini disebut sebagai kebijaksanaan. Bukankah demikkian?”
“Kamu berbicara,” ia berkata, “di dalam segala hal, baik dan secara benar, Socrates.”
“Kemudian, dari hal yang kita telah katakan sebelum dan saat ini, menurutmu, kepada tingkatan mana dari yang dua tersebut, jiwa tampak lebih menyerupai dan lebih secara dekat bersekutu?”
“Setiap orang menurutku akan menerima, Socrates,” ia menjawab, “bahkan orang yang paling dungu, dari cara beralasan ini, bahwa jiwa di dalam setiap hal lebih menyerupai hal yang secara tetap sama daripada yang tidak demikian.”
“Bagaimana dengan badan?”
“Ia lebih menyerupai yang lainnya.”
“Pertimbangkan persoalan tersebut di sebuah jalan lain. Ketika jiwa dan badan bersama-sama, alam menjadikan yang satu melayani dan mematuhi, dan yang lain mengatur dan memerintah. Dan, di dalam jalan ini, yang mana dari dua tersebut yang ilahiah, dan yang mana yang fana? Tidakkah tampak kepadamu alamiah bahwa ilahiah harus mengatur dan memerintah, dan yang fana mematuhi dan melayani?”
“Kepadaku ia demikian.”
“Yang mana, kemudian, yang jiwa wakilkan?”
“Secara jelas, Socrates, bahwa jiwa ilahiah, dan badan adalah fana.”
“Pertimbangkanlah, Cebes, jika ini bukan kesimpulan dari semua yang telah terkatakan, bahwa jiwa adalah paling menyerupai ilahiah, abadi, cerdas, satu bentuk, tidak bisa terurai, dan selalu tetap di dalam keadaan yang sama, dan badan, di lain pihak, paling menyerupai yang adalah manusia, fana, tidak cerdas, banyak bentuk, bisa terurai, dan yang tidak pernah tetap di dalam keadaan yang sama. Bisakah kita mengatakan apapun, Cebes yang baik, untuk menyanggah ini?”
“Kita tidak bisa.”
“Kemudian, sejak ini adalah halnya, bukankah alamiah yntuk badan secara cepat terurai, tetapi jiwa, sebaliknya, seara keseluruhan atau hampir seluruhnya, tidak bisa terurai?”
“Tentu saja.”
“Perhatikanlah,” ia berkata, “bahwa ketika seseorang mati, bagian yang terlihat darinya, yaitu badan, yang terpapar kepada penglihatan, dan yang kita namai sebagai mayat, yang secara alamiah dikerjai oleh pembusukan dan penguraian, tidak langsung mengalami hal-hal ini, tetapi tetap untuk beberapa lama, dan bahkan untuk waktu yang sangat lama jika kematian terjadi dengan tubuh yang bugar, dan di musim yang baik. Karena ketika badan telah jatuh dan dibalsem, sebagaimana di Mesir, ia bertahan untuk waktu yang luar biasa panjang. Bahkan saat badan memudar, beberapa bagiannya, semacam tulang-tulang dan urat-urat, dan setiap hal yang semacam demikian, adalah, seseorang mungkin mengatakan, abadi. Bukankah demikian?”
“Ya.”
“Bisakah jiwa, kemudian, yang adalah tidak terlihat, dan yang pergi kepada tempat lain yang sebagaimana dirinya sendiri, baik, murni dan tidak terlihat, yang secara benar disebut sebagai alam dewa dari dunia lain, kepada dewa yang baik dan bijaksana, yang ke sana, jika dewa berkehendak, jiwaku segera pergi, bisakah jiwa-jiwa kita ini, aku tanyakan, sebagai semacam alamiah yang demikian dan demikian, ketika terpisah dari badan, segera terurai dan hancur, sebagaimana kebanyakan orang katakan? Jauh dari itu, Cebes dan Simmias. Tetapi kebenarannya lebih seperti ini: jika ia terpisah di dalam keadaan yang murni, tanpa membawa apapun dari badan, sejak ia tidak pernah berhubungan secara rela dengannya di kehidupan yang kini, tetapi menghindarinya, dan mengumpulkan dirinya sendiri, sejak ini senantiasa menjadi yang ia pelajari, tetapi ini tidak lain daripada mengejar filsafat secara benar, dan benar-benar mempelajari keadaan mati, bukankah ini adalah pelajaran tentang bagaimana untuk mati?”
“Secara yakin.”
“Kemudian, ketika jiwa di dalam keadaan ini, ia berangkat kepada yang seperti dirinya sendiri, yang tidak terlihat, ilahiah, abadi dan bijaksana, dan di ketibaannya di sana, bukankah ia lebih berbahagia, bebas dari kekeliruan, kejahilan, kekhawatiran-kekhawatiran, gairah-gairah yang liar, dan semua keburukan yang lainnya yang dimiliki oleh manusia, dan, sebagaimana dikatakan oleh yang terpercaya, jiwa tinggal di dalam kebenaran di seluruh waktunya bersama para dewa. Apakah ini kepercayaan kita, Cebes, atau selainnya?”
“Secara yakin,” kata Cebes.
“Tetapi, menurutku, jika ia berangkat dari badan tercemar dan tidak murni, karena senantiasa bersama badan, dan melayani dan mencintainya, dan termanterai olehnya, melalui hasrat-hasrat dan kesenangan-kesenangan, seolah-olah menganggap bahwa tidak ada yang nyata selain hal-hal yang badaniah, yang seseorang bisa sentuh dan lihat, dan makan dan minum, dan bekerja untuk kenikmatan-kenikmatan percintaan, dan jika ia terbiasa membenci dan khawatir dan menghindari hal-hal yang gelap dan tidak terlihat, persoalan yang dipikirkan dan dijelaskan oleh filsafat. Apakah menurutmu jiwa di dalam keadaan ini akan berangkat murni dan tidak tercemar?”
“Mustahil,” ia menjawab.
“Tetapi menurutku ia akan saling memengaruhi
dengan hal-hal yang badaniah, persentuhan dan persatuan kepada badan telah menjadikan
ia sebagai bagian darinya, karena senantiasa bersamanya dan memperhatikannya.”
“Tentu saja.”
“Dan, temanku, kita harus percaya bahwa hal-hal
badaniah ini adalah lamban dan berat, duniawi dan terlihat. Jiwa yang semacam
demikian akan terbebani, dan ditarik kembali kepada dunia yang bisa dilihat karena
takut kepada yang tidak terlihat dan kepada Hades, sehingga, seperti perkataan
orang-orang, ia bergentayangan di antara tugu-tugu dan makam-makam, tempat
beberapa bayangan hantu dari jiwa pernah terlihat, menjadi semacam
gambaran-gambaran dari jiwa-jiwa yang berangkat tidak murni dari badan, jiwa-jiwa
yang menyimpan sesuatu dari hal-hal yang bisa dilihat, sehingga mereka juga
bisa dilihat.”
“Mungkin demikian, Socrates.”
“Mungkin, memang, Cebes. Mungkin mereka
bukanlah jiwa-jiwa dari yang baik, tetapi yang buruk, yang terpaksa
bergentayangan di tempat-tempat yang semacam demikian, sebagai pembalasan
kepada cara hidup mereka yang buruk. Mereka bergentayangan lama, sampai, karena hasrat kepada hal-hal yang
badaniah, yang lekat kepada mereka, mereka kembali terpenjara di dalam badan.
Mereka mungkin akan terpenjara di dalam alamiah-alamiah yang memiliki sifat
yang sama yang mereka dahulu miliki semasa hidup.”
“Maksudmu alamiah-alamiah apa, Socrates?”
“Misalnya, mereka yang memberikan diri mereka
sendiri kepada kerakusan dan keburukan dan minum-minum, dan tidak ada
meletakkan pengendalian di diri mereka, mungkin akan memasuki badan keledai atau
binatang-binatang yang semacam itu. Apakah tidak demikian menurutmu?”
“Kamu mengatakan hal yang sangat mungkin.”
“Dan bahwa yang memiliki penilaian besar
kepada ketidakadilan, tirani dan perampokan, akan memasuki jenis-jenis
serigala, elang dan rajawali. Ke mana yang lain bisa kita katakan mereka
pergi?”
“Tanpa ragu,” kata Cebes, “mereka memasuki
makhluk-makhluk yang semacam ini.”
“Kemudian,” ia melanjutkan, “jelaslah ke mana
semua yang lain akan pergi, masing-masing berdasarkan kebiasaan-kebiasaan
mereka?”
“Tentu saja,” Cebes menjawab.
“Paling berbahagia dari antara mereka, dan yang
pergi ke tempat yang terbaik, adalah mereka yang mengerjakan, dengan alamiah
dan kebiasaan, tanpa filsafat ataupun alasan, kebaikan-kebaikan diri dan masyarakat,
yang disebut sebagai kesahajaan dan keadilan?”
“Mengapa mereka ini paling berbahagia?”
“Bukankah mereka mungkin akan kembali ke
dalam binatang-binatang yang berkaitan yang damai dan beradab, semacam lebah
mungkin, atau tawon, atau semut, atau bahkan ke dalam jenis manusia yang sama
lagi, dan dari ini menjadi orang-orang yang rendah hati?”
“Mungkin demikian.”
“Tetapi tidak seorangpun dari yang tidak
mempelajari filsafat, dan yang tidak secara keseluruhan murni ketika berangkat,
yang dibiarkan memasuki pertemuan dengan para dewa, tetapi hanya pecinta kebijaksanaan. Untuk alasan inilah,
teman-temanku Simmias dan Cebes, sehingga mereka yang berfilsafat secara benar,
tidak menghadiri semua gairah badaniah, dan menjaga di dalam melakukan
demikian, dan tidak menyerah terhadap mereka, bukan karena mereka takut
kehilangan harta dan kemiskinan, sebagaimana kebanyakan manusia dan para pecinta
uang; juga tidak karena takut tidak dihargai dan dicela, seperti mereka yang
adalah para pecinta kekuatan dan kehormatan, sehingga mereka melakukan
menghindar dari mereka.”
“Tidak, itu seperti bukan mereka, Socrates,”
kata Cebes.
“Tentu saja tidak,” katanya. “Karena itulah,
Cebes, mereka yang benar-benar peduli kepada jiwa mereka, dan tidak hidup di
dalam melayani badan mereka, akan memunggungi semua orang ini dan tidak melalui
jalan-jalan mereka, karena mereka mengetahui bahwa mereka jahil tentang tujuan mereka.
Tetapi mereka meyakini bahwa filsafat, dengan pembebasan dan pemurniannya, harus
tidak dilawan, sehingga mereka memberikan diri mereka kepada pengarahannya,
mengikutinya ke manapun ia memimpin.”
“Bagaimana mereka melakukan ini, Socrates?”
“Aku akan memberitahukanmu,” ia menjawab.
“Para pecinta kebijaksanaan mengetahui bahwa di saat pertama filsafat menguasai
jiwa mereka, ia secara sederhana terikat dan terekatkan kepada badan, dan
terpaksa melihat hal-hal melalui ini, seperti di balik jeruji penjara, dan
tidak secara langsung oleh dirinya sendiri, dan karam di dalam kejahilan. Dan
filsafat melihat bahwa hal yang paling mengerikan dari keterpenjaraan tersebut
adalah, kenyataan bahwa ia disebabkan oleh gairah badaniah, sehingga sang tahanan
adalah pembantu di dalam mengikat dirinya sendiri. Aku katakan, kemudian, para
pecinta kebijaksanaan mengetahui bahwa filsafat, menerima jiwa di dalam keadaan
ini, secara lembut mendampinginya, dan
mendorong untuk membebaskannya, dengan mempertunjukkan bahwa mata dan
telinga dan indera-indera yang lain adalah penuh tipuan, dan berusaha membuatnya
yakin supaya mengabaikan hal-hal ini dan berkonsentrasi ke dalam dirinya
sendiri, dan supaya tidak percaya selain kepada dirinya sendiri dan pikiran
abstrak yang dimilikinya terhadap keberadaan abstrak, dan percaya bahwa tidak
ada apapun yang benar yang ia pandang melalui cara lain, dan yang berbeda-beda
di bawah pertimbangan-pertimbangan yang berbeda-beda, karena hal dari macam ini
adalah bisa dilihat dan dirasai oleh indera, sementara jiwa sendiri saja yang
bisa melihat hal yang tidak bisa dilihat dan yang dirasai oleh pikiran. Jiwa
filsuf sejati, karena itu, berpikir bahwa ia harus tidak melawan pembebasan
ini, sehingga menghindar sejauh mungkin dari kesenangan-kesenangan dan
gairah-gairah, kesedihan dan rasa takut, mempertimbangkan bahwa ketika siapapun
secara keterlaluan gembira atau galau, bersedih atau terpengaruh oleh gairah,
ia bukan hanya mengalami suatu keburukan dari hal-hal ini sebagaimana seseorang
mungkin menduganya, semacam sakit atau membuang hartanya demi gairah-gairahnya;
tetapi ia menderita keburukan yang paling besar dan yang paling keterlaluan,
dan tidak menyadariya.”
“Tetapi apa keburukan ini, Socrates?” kata Cebes.
“Keburukan bahwa jiwa setiap orang yang
terpaksa terlalu gembira atau bersedih tentang suatu hal, menganggap hal yang
memengaruhinya secara kuat demikian adalah nyata dan benar, walaupun tidak
demikian. Tetapi hal-hal ini kebanyakan adalah murah dan bisa dilihat, bukankah
mereka demikian?”
“Tentu saja.”
“Di dalam keadaan ini, bukankah jiwa secara
keseluruhan terbelenggu kepada badan?”
“Bagaimana demikian?”
“Karena setiap kenikmatan dan rasa sakit,
memiliki sebuah paku, sebagaimana ia demikian, memaku jiwa kepada badan, dan
merekatkannya kepadanya, sehingga ia menjadi badaniah, menganggap benar hal-hal
apapun yang badan berikan. Karena membentuk pendapat-pendapat yang sama dengan
badan, dan gembira di dalam hal-hal yang sama, ia terpaksa juga memiliki kebiasaan-kebiasaan
yang sama dan cara hidup yang sama, sehingga ia tidak pernah bisa berangkat di
dalam kemurnian menuju Hades, tetapi harus berangkat dari dicemari oleh badan,
dan secara cepat jatuh kembali ke dalam badan yang lain dan tumbuh ke dalamnya,
seolah-olah ia benih yang disemaikan. Karena itulah, ia terhindarkan dari semua
hubungan dengan yang ilahiah dan murni dan mutlak.”
“Kamu berbicara secara benar, Socrates,” kata
Cebes.
“Untuk alasan-alasan ini, karena itu, Cebes,
mereka yang adalah pecinta sejati kepada kebijaksanaan adalah rendah hati dan
tabah, dan bukan untuk alasan-alasan yang dikatakan oleh paling banyak orang. Apakah
kamu berpikir seperti yang mereka lakukan?”
“Tentu saja tidak.”
“Tidak, karena jiwa filsuf tidak akan beralasan
sebagaimana orang-orang yang lain, dan akan tidak berpikir bahwa filsafat
membebaskannya, dan setelah terbebaskan memberikan dirinya sendiri lagi ke dalam
belenggu kenikmatan-kenikmatan dan rasa sakit, dan menjadikan pekerjaannya
hampa, seperti Penelope mengurai jaring yang ia telah sulam. Tidak, jiwanya
percaya bahwa ia akan memeroleh kedamaian dari perasaan-perasaan ini, harus
senantiasa mengikuti tuntunan alasan, dan selalu berusaha kepada ini,
merenungkan yang benar dan ilahiah, dan tidak tunduk kepada pendapat, dan menjadikan
itu sebagai satu-satunya makanannya. Ia percaya bahwa di dalam cara inilah
seharusnya ia hidup, selagi hidup masih berjalan, dan bahwa ketika ia mati ia
akan pergi kepada yang berkerabat dan seperti dirinya sendiri, dan terbebas
dari keburukan-keburukan manusia. Jiwa yang diasuh di dalam jalan ini, Simmias
dan Cebes, tidak akan khawatir bahwa saat berangkata dari badan, ia akan
tertiup dan terburai oleh angin, dan tidak lagi memiliki keberadaan di
manapun.”
Ketika Socrates telah berbicara demikian, ada
keheningan beberapa lama. Socrates sepertinya memikirkan hal yang ia telah
katakan, dan demikian juga paling banyak dari kami. Tetapi Cebes dan Simmias
berbincang-bincang satu sama lain. Kemudian Socrates menatap mereka, dan berkata,
“Apakah menurut kalian ada kekurangan apapun di dalam hal yang telah
terkatakan? Ada banyak hal yang bisa menimbulkan keraguan dan banyak titik yang
terbuka terhadap serangan, jika ada yang hendak menelusurinya. Jika kalian
sedang mempertimbangkan beberapa bahan pembicaraan yang lain, aku tidak
memiliki apapun untuk dikatakan; tetapi jika kalian sedang ragu tentang ini,
janganlah kalian sungkan mengatakan dan membicarakannya di antara kalian
sendiri, jika menurut kalian ada hal yang lebih baik bisa diucapkan terhadap
pokok bahasan tersebut, dan libatkanlah aku di dalam perbincangan, jika kalian
beranggapan bahwa kalian akan lebih baik ditemani aku.”
Simmias berkata, “Socrates, aku akan
memberitahukanmu kebenaran. Untuk beberapa lama masing-masing kami ragu, dan mengatakan
dan meminta kepada lainnya supaya mengajukan sebuah pertanyaan, karena kami
berharap mendengarkan jawabanmu; tetapi kami sungkan untuk menyulitkanmu, karena
mungkin akan tidak nyaman untukmu di dalam keadaanmu saat ini.”
Mendengar ini, ia tertawa pelan, dan berkata,
“Wahai Simmias. Aku haruslah sukar membuat yakin
orang-orang yang lain bahwa aku tidak menganggap keadaanku ini sebagai
kemalangan, sejak aku tidak bisa membuat yakin bahkan kamu; tetapi kamu
khawatir aku mungkin lebih murung sekarang daripada biasanya. Dan, kamu tampak
menganggapku lebih rendah daripada para angsa dengan mempertimbangkan
keilahian, yang biasa bernyanyi, dan ketika mereka mengetahui bahwa mereka
harus mati, mereka semakin baik bernyanyi gembira akan berangkat kepada dewa
yang mereka layani. Tetapi orang-orang melalui rasa takut mereka sendiri kepada
kematian, berbohong tentang para angsa juga, dan mengatakan bahwa mereka bernyanyi
sedih meratapi kematian mereka. Mereka tidak mempertimbangkan bahwa tidak ada
burung yang bernyanyi saat lapar atau dingin, atau saat mengalami apapun sakit
yang lain, tidak bahkan burung nightingale,
atau burung layang-layang, atau burung hoopoe,
yang mereka katakan bernyanyi meratap sedih. Aku tidak percaya mereka bernyanyi
sedih, juga tidak para angsa, tetapi sejak mereka adalah burung-burung Apollo,
mereka bernubuat, dan melihat berkat-berkat dari Hades, mereka bernyanyi dan
bergembira di hari itu secara lebih baik daripada di waktu manapun sebelumnya.
Tetapi aku juga menganggap diriku sebagai pelayan bersama para angsa, dan
menyucikan dewa yang sama, dan menerima kekuatan nubuat dari tuan kami tidak
lebih kurang daripada mereka, dan aku bukan berangkat dari kehidupan ini dengan
semangat yang lebih kurang daripada mereka. Selagi ini dipertimbangkan, bicara
dan ajukanlah pertanyaan yang kalian suka, sepanjang sebelas orang Athena
mengijinkan.”
“Baik,” kata Simmias. “Aku akan
memberitahukanmu keraguanku, kemudian Cebes di dalam gilirannya, alasan ia
tidak menerima hal yang kamu telah katakan. Menurutku, Socrates, mungkin sama
denganmu, mustahil atau sangat sukar untuk memeroleh pengetahuan yang jelas
tentang persoalan ini. Di lain pihak, orang lemah tidak menguji hal yang telah
terkatakan tentang mereka di dalam setiap jalan yang mungkin, berhenti sebelum menjelaskan
mereka di setiap titik pandang, sampai lelah di setiap usaha. Karena ia
seharusnya melakukan satu dari dua hal ini, ia harus belajar sampai mengetahui
kebenaran tentang persoalan-persoalan ini, atau jika mustahil, ia harus
menerima ajaran yang paling baik dan yang paling sukar disangkal. Berangkat di
atas ini sebagai rakit, berlayar menggunakannya melintasi kehidupan di tengah
bahaya-bahaya, kecuali ia bisa berlayar di atas kapal yang lebih kuat, suatu
pencerahan ilahiah, dan menjadikan pelayarannya lebih aman. Sekarang aku tidak sungkan
menanyaimu, sejak kamu memintaku melakukannya, tidak juga aku harus menyalahkan
diriku sendiri karena tidak memberitahukanmu saat ini hal yang aku pikirkan.
Karena Socrates, ketika aku mempertimbangkan persoalan tersebut, kedua-duanya
sendirian dan dengan Cebes, hal yang telah terkatakan tidak tampak cukup
memuaskan.”
Kemudian kata Socrates, “Mungkin kamu benar,
temanku. Tetapi katakanlah kepadaku, ia tidak memuaskan di dalam hal apa?”
“Di dalam ini,” ia menjawab, “karena siapapun
mungkin menggunakan argumen yang sama dengan mempertimbangkan harmoni dan lyre dan senar-senarnya. Seseorang
mungkin mengatakan bahwa harmoni adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat dan
tidak badaniah, sangat indah dan ilahiah, di dalam sebuah lyre yang dimainkan secara baik, tetapi lyre dan senar-senarnya
adalah badan, bentuk yang badaniah, tercampur dan duniawi, dan berkerabat
dengan yang fana. Ketika seseorang mematahkan lyre tersebut, atau memotong atau memutuskan senar-senarnya, bagaimana
jika ia beralasan sepertimu bahwa harmoni tidak mungkin hancur dan harus tetap
ada? karena tidak ada kemungkinan lyre
masih ada ketika senar-senarnya telah diputuskan, dan bahwa senar-senar, yang
adalah dari alamiah yang fana, harus hidup, tetapi harmoni, dari alamiah yang berhubungan
dan berkerabat kepada yang ilahiah dan abadi, harus punah, dan binasa sebelum
hal yang fana. Tetapi ia mungkin berkata bahwa harmoni harus hidup di suatu
tempat, dan kayu dan senar-senar harus pudar sebelum terjadi perubahan apapun
terhadapnya. Menurutku, Socrates, kamu telah sampai di kesimpulan ini, bahwa
kita mempertimbangkan jiwa cukup mirip dengan ini, yaitu bahwa badan kita terpadatkan
dan ditahan bersama oleh panas dan dingin, kekeringan dan kelembaban, dan
mutu-mutu yang lain demikian, dan jiwa adalah gabungan dan harmoni dari hal-hal
ini, ketika mereka dikombinasikan secara baik dan pantas dengan satu sama lain.
Kemudian, jika jiwa adalah semacam harmoni, jelaslah bahwa ketika badan kita
tidak secara pantas melemas atau meregang, melalui penyakit-penyakit atau
kesukaran-kesukaran yang lain, jiwa seharusnya segera punah, walaupun ia paling
ilahiah, sama seperti harmoni-harmoni yang lain yang hidup di dalam suara-suara
atau di dalam berbagai pekerjaan para artisan, dan sisa dari badan setiap orang
akan bertahan lama, sampai mereka dibakar atau memudar. Pertimbangkanlah, apa
yang kita harus katakan kepada cara beralasan ini, jika siapapun mengatakan
bahwa jiwa, gabungan dari beberapa mutu di dalam badan, punah pertama-tama di
dalam hal yang kita sebut sebagai kematian.”
Kemudian Socrates memandang tajam kepada
kami, sebagaimana yang ia biasa lakukan, ia tersenyum, dan berkata, “Simmias
memang berbicara secara adil. Jika ada dari kalian lebih siap daripada aku,
mengapa ia tidak menjawabnya? karena ia tampak menangani argumenku bukan secara
buruk. Bagaimanapun, menurutku, sebelum menjawabnya, kita kita harus pertama-tama
mendengarkan kesalahan yang ditemukan Cebes di dalam argumen kita, supaya kita
memiliki beberapa waktu untuk mempertimbangkan hal yang kita harus katakan, dan
kemudian setelah mendengarkan mereka, kita mungkin menyerah kepada mereka, jika
mereka tampak berbicara secara cukup kepada kebenaran. Atau jika tidak, kita
mungkin kemudian mempertahankan argumen kita sendiri. Datanglah, Cebes,” ia
melanjutkan, “katakan apa yang mengganggumu, sehingga menyebabkan tidak
percayamu.”
“Aku akan
memberitahukanmu,” kata Cebes, “argumen tersebut tampak kepadaku tetap di
tempatnya, dan masih terbuka terhadap keberatan yang dahulu aku telah katakan. Karena
aku tidak menyangkal bahwa telah dibuktikan secara jelas, dan jika saya boleh
mengatakan, telah dibuktikan secara penuh, jiwa kita ada sebelum datang ke
dalam bentuk ini, tetapi belum dibuktikan bahwa jiwa tetap ada setelah kita
mati. Aku tidak setuju dengan keberatan Simmias bahwa jiwa tidak lebih kuat dan
tidak lebih tahan lama daripada badan, karena tampak kepadaku ia jauh melampaui
semua hal yang semacam ini. ‘Kemudian mengapa,’ argumen mungkin mengatakan, ‘kamu
masih tidak percaya, sejak kamu melihat bahwa setelah seseorang mati, bagian
yang lebih lemah tetap ada? tidakkah tampak kepadamu perlu bahwa bagian yang
lebih tahan lama harus tetap bertahan selama masa ini?’ Perhatikanlah jika jawabanku
kepada ini memiliki suatu arti. Menurutku, seperti Simmias, aku bisa paling
baik menjelaskan maksudku di dalam sebuah gambaran. Karena argumen tersebut
tampak kepadaku telah diletakkan seperti jika seseorang berbicara tentang
tukang tenun tua yang telah mati, bahwa orang tersebut belum binasa dan tetap
ada di suatu tempat; dan sebagai sebuah bukti, ia memperlihatkan pakaian yang
ia tenun sendiri dan yang ia biasa kenakan masih utuh dan tidak punah. Kemudian
jika ada yang tidak percaya, ia akan menanyakan, manakah yang lebih tahan lama,
manusia ataukah pakaian yang sering digunakan dan dikenakan? andai dijawab
bahwa manusia jauh lebih tahan lama, ia akan berpikir ia telah membuktikan
melampaui semua pertanyaan, bahwa orang tersebut selamat, sejak yang lebih
kurang tahan lama tidaklah musnah. Tetapi menurutku ia tidak benar, Simmias,
dan kamu lakukanlah pertimbangkan apa yang aku katakan. Siapapun bisa memahami
bahwa ia yang menentang demikian, menentang secara bodoh. Karena tukang tenun
ini, mengenakan dan menenun sangat banyak pakaian dan bertahan lebih lama
daripada mereka, walaupun mereka banyak, tetapi menurutku ia binasa sebelum
yang terakhir. Walaupun demikian, manusia tidaklah lebih rendah atau lebih
lemah daripada sebuah pakaian. Dan Menurutku, penggambaran yangh sama bisa
diberikan kepada jiwa dan badan, dan akan cukup pantas untuk mengatakan tentang
mereka di dalam cara yang sama, bahwa jiwa bertahan lama, dani badan lebih
lemah dan lebih kurang tahan lama. Dan seseorang mungkin mengatakan bahwa jiwa
mengenakan banyak badan, terutama jika ia hidup lama. Karena jika badan senantiasa
berubah dan hancur dan terurai sementara manusia tersebut masih hidup, tetapi
jiwa tersebut secara berlanjutan menenun apa yang dikenakan, ia harus secara
perlu mengikuti bahwa ketika jiwa terurai ia seharusnya sedang mengenakan
pakaian terakhirnya, dan binasa sebelum ini saja, dan ketika jiwa binasa badan
akan menunjukkan kelemahan alamiahnya, hilang membusuk. Sehingga
kita tidaklah benar dengan merasa yakin terhadap kekuatan argumen ini, bahwa
ketika kita mati jiwa kita tetap ada di suatu tempat. Karena, jika seseorang
menerima bahkan lebih daripada kamu, bahwa bukan hanya jiwa kita ada sebelum
kita lahir, tetapi bahkan setelah kita mati tidak ada apapun yang mencegah
jiwa-jiwa dari beberapa kita dari tetap ada, dan melanjutkan ada setelahnya,
dan dari menjadi lahir, dan mati lagi, karena jiwa sangat kuat sehingga
bisa menjalani kelahiran yang berulang-ulang. Bahkan jika menerima ini, seseorang
mungkin akan tidak menerima bahwa jiwa tidak memupuskan dirinya sendiri di
dalam kelahirannya yang banyak, dan akhirnya musnah di dalam salah satu
kematiannya. Tetapi ia akan berkata bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui
kematian yang bagaimana, dan penguraian badan yang bagaimana, yang menjadi
kehancuran jiwa, karena mustahil ada di antara kita yang mengetahuinya. Bagaimanapun,
jika memang begini, maka setiap orang yang berprasangka baik kepada kematian
yang mendatanginya adalah berprasangka baik secara bodoh, kecuali ia mampu
membuktikan bahwa jiwa benar-benar abadi, dan tidak bisa hancur. Selain itu, ia
seharusnya waspada bahwa jiwanya akan hancur di dalam perpisahannya dari badan,
yang sedang datang.”
Kami semua, sebagaimana kami katakan satu
sama lain setelahnya, merasa sangat tidak nyaman mendengarkan perkataan mereka.
Karena kami dahulu teryakinkan oleh argumen sebelumnya, dan sekarang mereka
melemparkan kami kembali ke dalam bingung dan tidak percaya, bukan hanya kepada
argumen-argumen yang telah dikemukakan, tetapi juga kepada yang mungkin
diajukan lebih lanjut. Mereka membuat kami khawatir jika penilaian kami tidak
berharga, atau tidak ada kepastian yang bisa dicapai di dalam
persoalan-persoalan ini.”
Echecrates: Demi para dewa, Phaedo. Aku memaklumimu,
karena setelah mendengarkanmu, aku juga menanyai diriku sendiri. “Argumen apa
lagi yang kita bisa percayai? Sejak argumen Socrates sangat meyakinkan, tetapi
sekarang jatuh ke dalam tidak terpercaya.” Karena argumen ini, bahwa jiwa kita
adalah semacam harmoni, selalu memberikan kesan yang sangat baik kepadaku, dan saat
kamu menyebutkannya, ia mengingatkanku, bahwa aku dahulu meyakininya. Sekarang aku
harus memulai lagi dari awal, untuk menemukan suatu argumen yang mungkin membuatku
percaya bahwa jiwa dari seseorang yang mati tidaklah mati dengan badannya. Demi
langit, katakanlah kepadaku bagaimana Socrates melanjutkan perbincangan
tersebut, dan apakah ia juga, sebagaimana kamu dan yang lainnya mengakui,
tampak gelisah, ataukah secara tenang mempertahankan argumennya? Apakah ia berhasil
membelanya? Ceritakanlah semuanya kepadaku secara paling tepat sebagaimana yang
kamu bisa.
Phaedo: Echecrates, aku sering mengagumi
Socrates, tetapi aku belum pernah lebih kagum kepadanya lebih daripada saat itu.
Kita tentu saja menduga ia memiliki jawaban yang siap, tetapi aku terutama
mengagumi ini di dalam dirinya, pertama-tama, ia mendengarkan argumen dari
orang-orang muda tersebut sangat secara manis, lembut, dan secara menghargai,
ke dua, ia sangat secara cepat mendapati bagaimana kami terpengaruh oleh
argumen-argumen mereka, dan yang akhir, keahliannya yang menyembuhkan kami dan,
sebagaimana adanya, memanggil kami kembali dari pelarian dan takluk, dan
memberanikan kami untuk mengangkat wajah, dan mengikutinya dan bergabung di
dalam pengujiannya terhadap argumen tersebut.
Echecrates: Bagaimana ia melakukannya?
Phædo: Aku akan memberitahukanmu.
Aku duduk di sisi kanannya, di sebuah tempat duduk yang rendah di samping
dipannya, ia duduk cukup lebih tinggi daripada aku. Memukul kepalaku, dan
memegang rambutku yang menggantung di leherku, karena ia biasanya sering
bermain dengan rambutku. Ia berkata, “Mungkinkah, Phaedo, besok kamu akan
memotong rambut ikal yang indah ini?”
“Aku menyangka demikian, Socrates,” kataku.
“Tidak jika kamu mengikuti nasihatku.”
“Apa yang aku harus lakukan?” Aku bertanya.
“Kamu akan memotong rambutmu hari ini, dan
aku akan memotong rambutku, jika argumen kita mati dan kita tidak mampu
membangkitkannya. Jika aku adalah kamu dan argumen tersebut lepas dariku, aku akan
bersumpah, seperti Argives, tidak membiarkan rambutku tumbuh sampai aku
membarui pertandingan, dan menaklukkan argumen
Simmias dan Cebes.”
“Tetapi,” aku berkata, “bahkan Heracles mereka
katakan tidak mampu menandingi dua.”
“Baik,” ia berkata, “panggillah aku untuk
membantumu sebagai Iolaus-mu, selagi masih siang.”
“Aku memanggilmu untuk menolong,” kataku, “bukan
sebagai Heracles memanggil Iolaus, tetapi sebagai Iolaus memanggil Heracles.”
“Sama saja,” ia menjawab. “Tetapi pertama-tama,
biarkan kita berjaga terhadap sebuah bahaya.”
“Apa?” aku bertanya.
“Bahaya bahwa kita menjadi para pembenci argumen,”
katanya, “sebagaimana orang-orang menjadi para pembenci manusia, karena tidak
ada keburukan yang lebih besar bisa terjadi kepada siapapun daripada argumen.
Tetapi kebencian kepada argumen dan kebencian kepada manusia kedua-duanya berasal
dari sumber yang sama. Karena kebencian kepada manusia dihasilkan dari sangat
memercayai seseorang tanpa pengetahuan yang cukup tentangnya. Kamu menganggapnya
sebagai manusia yang benar dan baik dan setia, kemudian kamu menemukannya buruk
dan tidak setia. Kemudian kamu mengalami lagi hal yang sama dengan seorang yang
lain. Dan ketika seseorang sering mengalami ini, dan terutama dari mereka yang
ia anggap sebagai yang terdekat dan teman-teman yang tersayang, ia berujung
menjadi berada di dalam pertengkaran yang terus-menerus dan membenci setiap
orang, dan menganggap bahwa sama-sekali tidak ada kebaikan di dalam siapapun.
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa ini terjadi juga?”
“Tentu saja,” aku menjawab.
“Bukankah memalukan?” ia berkata “Dan bukankah
terbukti bahwa seseorang yang demikian berhubungan dengan manusia tanpa
pengetahuan yang cukup tentang hubungan-hubungan manusia? Karena jika ia
berhubungan dengan mereka dengan pengetahuan yang cukup, ia akan berpikir bahwa
yang baik dan yang buruk masing-masing sangat sedikit jumlahnya, dan yang di
antara keduanyalah yang banyak.”
“Apa maksudmu?” aku bertanya.
“Maksudku sebagaimana hal-hal yang sangat
kecil dan yang sangat besar. Apakah menurutmu ada yang lebih langka daripada
menemukan manusia yang sangat besar atau yang sangat kecil, atau anjing, atau makhluk
apapun, atau lagi, satu yang sangat lincah atau lamban, sangat indah atau
jelek, sangat putih atau hitam? Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa dari
semua hal ini yang keterlaluan adalah langka dan sedikit, tetapi yang berada di
ataranya adalah berlimpah?”
“Tentu saja,” aku menjawab.
“Apakah kamu tidak berpikir,” ia melanjutkan,
“bahwa jika diadakan sebuah perlombaan kekurangajaran, bahkan di sini sangat
sedikit akan ditemukan pemenang?”
“Ia mungkin,” aku berkata.
“Ya, demikianlah,” katanya. “Tetapi bukan di
dalam hal itu argumen menyerupai manusia, aku hanya mengikutimu sebagai
pemimpinku di dalam mempertimbangkan itu. Kesamannya terletak di dalam ini,
ketika seseorang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang
argumen-argumen memercayai kebenaran sebuah argumen dan setelah itu menganggapnya sebagai salah, benar-benar
demikian ataupun tidak, dan ini terjadi berulang-ulang, kemudian kamu
mengetahui, akhirnya orang-orang itu, terutama yang melewati waktu mereka di
dalam perbantahan, menyangka diri mereka paling bijaksana dan mereka saja yang
menemukan bahwa tidak ada yang baik atau pasti di dalam apapun, argumen atau
apapun yang lain, tetapi semua hal naik dan turun seperti gelombang pasang di
dalam Euripus, dan tidak ada yang tetap di waktu yang panjang.”
“Tentu saja,” aku berkata, “itu benar.”
“Kemudian, Phaedo,” ia berkata “jika ada argumen
yang benar dan baik semacam yang seseorang bisa mengerti, akan menyedihkan jika
seseorang, yang bertemu dengan beberapa dari argumen-argumen yang tampak kadang-kadang
benar dan kadang-kadang salah, tidak menyalahkan dirinya karena kekurangan
kemampuan, tetapi berujung di dalam kesedihannya, ia secara senang melemparkan penyalahan
terhadap argumen-argumen, dan membenci dan mencaci mereka di sepanjang
hidupnya, sehingga terhindarkan dari kebenaran dan pengetahuan tentang kenyataan.”
“Demi Zeus,” aku berkata, “memang akan
menyedihkan.”
“Pertama, kemudian,” ia berkata, “biarkan
kita waspada kepada ini, dan biarkan kita tidak menerima di dalam jiwa-jiwa
kita pendapat bahwa sama-sekali tidak ada yang benar di dalam argumen-argumen.
Biarkan kita lebih beranggapan bahwa kita belum di dalam keadaan yang benar,
dan kita harus secara kuat dan secara giat berusaha menjadi demikian, kamu dan
yang lainnya demi keseluruhan masa depan hidup kalian, dan aku untuk kematianku
yang menunggu. Karena aku khawatir jika aku tidak di dalam bingkai filsafat, mempertimbangkan
hal yang sekarang ini, tetapi hanya bertengkar, seperti orang-orang yang tidak
berbudaya. Karena ketika mereka berselisih tentang apapun, mereka sama sekali
tidak peduli kepada hal yang dibincangkan, tetapi hanya bersemangat untuk
membuat pandangan-pandangan mereka tampak benar kepada para pendengar. Dan aku meyakini
diriku berbeda dengan mereka kepada hal ini, aku harus tidak khawatir membuat perkataanku
tampak benar kepada para pendengar, kecuali sebagai persoalan ke dua, tetapi harus
lebih bersemangat untuk membuat percaya diriku sendiri. Karena lihatlah,
teman-temanku, sangat penyendiri kebiasaanku. Jika perkataanku benar, ia baik
untukku, tetapi jika tidak ada apapun yang tinggal kepada seseorang yang mati,
paling tidak, aku tidak mejadi beban untuk teman-temanku dengan
ratapan-ratapanku di saat-saat terkahir ini. Dan kejahilanku ini akan tidak
berlanjut lama, untuk itu akan buruk, tetapi akan segera berakhir juga. Sehingga,
Simmias dan Cebes,” ia melanjutkan, “aku sekarang melanjutkan argumen dengan
pemikiran yang bersiap demikian. Tetapi kalian, jika kalian melakukan
sebagaimana kuminta, berikanlah sedikit perhatian kepada Socrates, tetapi lebih
banyak kepada kebenaran. Jika aku tampak kepada kalian mengatakan kebenaran,
terimalah, tetapi jika tidak, lawanlah aku dengan setiap argumen yang kalian bisa
kumpulkan, supaya di dalam usahaku aku tidak menipu kedua-duanya diriku sendiri
dan kalian, dan seperti seekor lebah, berangkat meninggalkan sengatku yang
melekat kepada kalian.”
“Biarkan kita melanjutkan,” ia berkata,
“pertama-tama, ingatkan aku perkataan kalian, jika aku tampak melupakannya. Karena
Simmias, sebagaimana aku pikir, ragu dan khawatir jika saja jiwa, walaupun
lebih ilahiah dan indah daripada badan, harus musnah sebelumnya, sebagai
sejenis harmoni. Tetapi Cebes tampak kepadaku memberikanku ini, bahwa jiwa
lebih tahan lama daripada badan, tetapi ia membantah bahwa tidak pasti kepada
setiap orang, jika jiwa telah mengenakan banyak badan dan bahwa secara
berulang-ulang, ia tidak, saat meninggalkan badan yang terakhir, dirinya
sendiri juga musnah, sehingga bahwa hal ini sajalah kematian, kehancuran jiwa,
sejak badan tidak pernah berhenti memudar. Bukankah hal-hal ini, Simmias dan
Cebes, yang kita akan pertimbangkan?”
Mereka kedua-duanya setuju.
“Sekarang,” ia melanjutkan, “apakah kalian menolak
semua argumen kita yang sebelumnya, ataukah beberapa dari mereka saja, dan
tidak yang lainya?”
“Beberapa kami melakukan,” mereka menjawab,
“dan yang lainnya tidak.”
“Apa, kemudian,” ia melanjutkan, “yang kalian
katakan tentang argumen yang kita memasukkan bahwa pengetahuan adalah kenangan,
dan bahwa, ini halnya, jiwa kita harus secara perlu ada di suatu tempat sebelum
ia terpenjara di dalam badan?”
“Aku,” Cebes menjawab, “teryakinkan secara mengagumkan
olehnya di saat itu, dan aku masih memercayainya lebih daripada argumen apapun
yang lain.”
“Dan aku, juga,” kata Simmias, “berpikir
sama, dan harus sangat heran jika aku harus berpikir berbeda di titik itu.”
Dan Socrates berkata, “Kemudian, kamu harus
berpikir lain, temanku orang Thebes, jika harmoni adalah sesuatu yang tersusun,
dan bahwa jiwa adalah semacam harmoni yang dihasilkan dari bagian-bagian yang
dipadatkan bersama-sama di dalam badan. Karena kamu tentu saja akan tidak menerima
pernyataanmu sendiri bahwa sebuah harmoni yang tersusun, ada sebelum hal-hal
yang darinya ia tersusun. Apakah kamu akan menerimanya?”
“Tentu saja tidak, Socrates.” Ia menjawab.
“Apakah kamu menyadari,” ia berkata, “bahwa
ini dihasilkan dari hal yang kamu katakan, ketika kamu mengatakan bahwa jiwa
ada sebelum datang ke dalam badan manusia, dan tersusun oleh hal-hal yang belum
ada? Karena harmoni bukanlah semacam yang dimaksud oleh perbandinganmu. Lyre dan senar-senar dan suara-suara ada
pertama-tama di dalam sebuah keadaan yang tidak bernada, dan harmoni yang terakhir
ada, dan yang pertama-tama binasa. Kemudian bagaimana bisa kamu membawa argumen
ini berharmoni dengan yang lain?”
“Sama sekali tidak bisa,” kata Simmias.
“Dan walaupun demikian,” ia berkata, “seharusnya
ada harmoni di antaranya dan argumen tentang harmoni di atas semua yang lain.”
“Harus ada,” kata Simmias.
“Baik,” ia berkata, “tidak ada harmoni di
dalam dua argument tersebut. Kamu memilih yang mana, pengetahuan adalah
kenangan, ataukah jiwa adalah sebuah harmoni?”
“Yang lebih awal sejauh ini, Socrates,” ia
menjawab; “untuk yang akhir tampak kepadaku tanpa penampakan, hanya tampak
mungkin dan menarik, sehingga kebanyakan manusia menerimanya. Tetapi aku cukup
memperhatikan bahwa argumen-argumen yang mengambil penampakan mereka dari
kemungkinan-kemungkinan bersifat menipu; dan jika kita tidak di dalam
pengawalan melawan mereka, mereka sangat menipu kita, di dalam geometri dan
semua hal lain. Tetapi argumen tentang kenangan dan pengetahuan mungkin
dikatakan tertampakkan oleh sebuah alur argumen yang baik. Karena kita setuju
bahwa jiwa kita sebelum datang ke dalam badan, ada sebagai esensi yang disebut
sebagai keberadaan yang mutlak. Aku yakin telah menerima esensi ini secara
memadai dan dengan dasar yang baik. Sehingga aku tidak bisa menerima dari diriku
sendiri ataupun dari orang-orang yang lain, pernyataan bahwa jiwa adalah
harmoni.”
“Ada jalan mempertimbangkan yang lain,
Simmias," katanya. "Apakah menurutmu harmoni atau hal yang tersusun
apapun yang lain, bisa ada di dalam keadaan yang lain daripada keadaan hal-hal
yang menyusunnya?”
“Tentu saja tidak.”
“Dan ia tidak bisa melakukan apapun, juga
tidak menderita apapun yang lain daripada yang mereka lakukan atau derita?”
Ia setuju.
"Kemudian harmoni tidak bisa diharapkan
memimpin hal-hal yang menyusunnya, tetapi mengikuti mereka."
Ia menerima.
“Sebuah harmoni, tidak mampu menggerakkan
atau membuat sebuah suara atau melakukan apapun yang berlawanan dengan
bagian-bagian yang menyusunnya?”
“Tidak mampu,” katanya.
“Apa, kemudian? Bukankah setiap harmoni adalah
harmoni secara alamiah karena berharmoni?”
“Aku tidak mengerti maksudmu,” ia menjawab.
“Bukankah,” kata Socrates, “ia akan menjadi
sebuah harmoni secara lengkap dan sebuah harmoni yang lebih besar, jika ia
diharmonisasikan secara lebih penuh dan lebih jauh, menganggap itu mungkin, dan
sebuah harmoni yang lebih kurang lengkap dan sebuah harmoni yang lebih kecil,
jika lebih kurang diharmonisasikan dan lebih kurang jauh?”
“Tentu saja.”
“Apakah ini benar terhadap jiwa? Apakah jiwa seseorang
adalah jiwa yang lebih penuh dan di dalam derajat yang lebih besar daripada
jiwa yang lain, atau lebih kurang penuh dan derajat yang lebih kecil?”
“Tentu saja tidak,” ia menjawab.
“Baik, kemudian,” ia berkata, “Apakah satu
jiwa dikatakan memiliki kecerdasan dan kebaikan, dan baik, dan yang lainya
jahat, dan buruk? Dan apakah ini benar?”
“Tentu saja benar.”
“Sekarang, apa yang akan dikatakan oleh
mereka yang mengatakan jiwa adalah harmoni, tentang hal-hal ini, kebaikan dan
keburukan, yang di dalam jiwa? Apakah mereka akan mengatakan bahwa ini adalah
jenis harmoni yang lain dan sumbang, dan mengatakan bahwa sebuah jiwa yang
adalah harmoni, memiliki di dalam dirinya sendiri harmoni yang lain, tetapi jiwa
yang lain adalah sumbang, dan tidak memiliki di dalam dirinya sendiri harmoni
yang lain?”
“Aku tidak mampu mengatakan,” Simmias
menjawab, “tetapi tampak bahwa mereka yang mengatakan itu akan mengatakan
sesuatu yang semacam itu.”
“Tetapi kita setuju,” kata Socrates, “bahwa sebuah
jiwa tidaklah lebih atau kurang daripada yang lainnya, dan ini sepadan dengan
persetujuan bahwa sebuah harmoni bukan lebih besar atau lebih penuh, atau lebih
kecil atau lebih kurang penuh daripada yang lainya. Bukankah demikian?”
“Tentu saja.”
“Dan harmoni yang tidak lebih atau kurang,
tidak lebih atau kurang terharmonisasi. Apakah demikian?”
“Ia demikian.”
“Tetapi apakah harmoni yang tidak lebih besar
dan tidak lebih kurang terharmonisasi, memiliki jumlah harmoni yang lebih besar
atau lebih kurang, ataukah sejumlah yang sama?”
“Sejumlah yang sama.”
“Sebuah jiwa, karena itu, sejak ia tidak
lebih banyak atau lebih kurang daripada jiwa yang lain, tidaklah lebih juga
tidak kurang terharmonisasi?”
“Demikianlah.”
“Demikianlah, sehingga tidak bisa memiliki
lebih banyak jumlah kesumbangan atau harmoni?”
“Tidak bisa.”
“Sehingga, satu jiwa tidak bisa memiliki
jumlah yang lebih besar kebaikan atau keburukan daripada yang lainnya, jika
keburukan adalah sumbang dan kebaikan adalah harmoni?”
“Tentu saja tidak.”
“Untuk berbicara secara tepat, Simmias, tidak
ada jiwa yang bisa memiliki keburukan sama-sekali, jika jiwa adalah sebuah
harmoni. Karena jika jiwa adalah harmoni seluruhnya, ia tidak bisa mengambil
bagian di dalam kesumbangan.”
“Tentu saja tidak.”
“Kemudian jiwa, sebagai keseluruhan jiwa,
tidak bisa mengambil bagian di dalam keburukan.”
“Bagaimana bisa, jika yang kita katakan
benar?”
“Berdasarkan argumen ini, jika semua jiwa
secara alamiah setara sebagai jiwa, semua jiwa makhkuk hidup akan setara baik.”
“Tampak demikian, Socrates,” katanya.
“Dan,” kata Socrates, “apakah menurutmu ini
benar, dan argumen akan menuntun kita
kepada ujung ini, jika argumen bahwa jiwa adalah harmoni, adalah benar?”
“Tidak sedikitpun,” ia menjawab.
“Baik,” kata Socrates, “dari semua hal yang
ada di dalam manusia, adakah yang memerintah kecuali jiwa, terutama jika ia
bijaksana?”
“Aku harus berkata tidak.”
“Apakah ia mematuhi gairah-gairah di dalam
badan, ataukah melawan mereka? Maksudku, misalnya, ketika panas dan haus hadir,
bukankah jiwa mendorongnya ke arah yang berlawanan sehingga menghindarkannya
dari minum, dan dari makan ketika ia lapar hadir, bukankah kita melihat jiwa
melawan badan di dalam sepuluh ribu pemisalan yang lain?”
“Tentu saja.”
“Bukankah kita telah menyetujui sebelumnya
bahwa jika jiwa adalah harmoni, ia akan tidak pernah meneriakkan suara yang
berlawanan kepada tegagan, pelenturan, getaran, atau pengaruh apapun yang lain
yang kepadanya bagian-bagiannya mengerjainya, tetapi akan mengikuti, dan tidak
pernah memerintah mereka?”
“Ya, kita melakukannya”
“Apa, kemudian? Bukankah jiwa sekarang tampak
bersikap cukup berbalikan, memerintah semua bagian yang darinya siapapun
mungkin mengatakan ia tersusun, dan melawan mereka hampir di setiap hal di keseluruhan
kehidupan, dan menegakkan kepemimpinan terhadap mereka di dalam semua macam
jalan, menghukum beberapa secara keras bahkan dengan rasa sakit, oleh senam dan
perobatan, dan yang lainnya secara lebih lembut; sebagian menggerogoti, dan
sebagian menghancurkan gairah-gairah, rasa marah dan kekhawatiran, seolah-olah,
ia sendiri dari alamiah yang berbeda, ia berbincang-bincang dengan sesuatu yang
cukup berbeda? Seperti yang Homer tunjukkan di dalam Odyssey, saat ia
membicarakan Odysseus, Setelah memukul
dadanya, ia mencaci jantungnya: ‘Tanggunglah, jantungku, kamu pernah menanggung
labih buruk daripada ini.’ Apakah kamu menyangka ketika ia menyusun ini, ia
percaya bahwa jiwa adalah harmoni yang dipimpin oleh gairah-gairah badaniah,
dan bukan lebih sesuatu yang pantas memimpin dan memerintah mereka, sebagai sesuatu
yang jauh lebih ilahiah daripada sebuah harmoni?”
“Demi Zeus, Socrates, menurutku yang terakhir.”
“Karena itulah, temanku yang baik, tidak
benar untuk kita megatakan bahwa jiwa adalah semacam harmoni. Karena
sebagaimana tampak, kita harus tidak setuju dengan Homer, penyair suci itu,
juga tidak dengan diri kita sendiri.”
“Demikianlah halnya,” katanya.
“Biarlah demikian, kemudian,” kata Socrates,
“Harmonia dewi Thebes, tampak telah cukup memberkati kita. Tetapi bagaimana,
Cebes, dan dengan argumen apa, kita bisa menemukan keberkatan Cadmus?”
“Menurutku,” Cebes menjawab, “kamu akan
menemukan sebuah jalan, di tingkat apapun, kamu telah mengarahkan argumen ini
melawan harmoni secara mengagumkan dan melampaui pengharapanku. Karena saat
Simmias mengatakan keraguannya, aku sangat membayangkan jika ada yang akan
mampu menandingi melawan argumennya, sehingga tampak menakjubkan ia tidak bisa
bertahan terhadap serangan pertama argumenmu. Aku harus tidak terkejut jika
argumen Cadmus bertemu dengan nasib yang sama.”
“Temanku,” kata Socrates, “janganlah
berbicara terlalu besar, kalau tidak suatu kekuatan cemburu harus menggulingkan
argumen yang akan datang. Hal-hal ini, bagaimanapun, dijaga oleh dewa. Tetapi
biarkan kita, bertemu tangan ke tangan, di dalam cara Homer, menyerang musuh
dan menguji nilai perkataanmu. Ini adalah kumpulan dari yang kamu syaratkan
supaya dibuktikan, bahwa jiwa kita tidak bisa musnah dan abadi, jika seorang
filsuf yang sedang akan mati, penuh oleh keyakinan dan harapan bahwa setelah
kematian ia akan jauh lebih berbahagia daripada jika ia mati setelah melalui
macam hidup yang berbeda, tidak merasakan keyakinan ini secara bodoh dan
sia-sia. Dan walau kita memperlihatkan bahwa jiwa adalah sesuatu yang kuat dan
ilahiah, dan bahwa ia ada sebelum manusia lahir, kamu mengatakan tidak member
saksi kepada keabadian, tetapi hanya kepada kenyataan bahwa jiwa adalah tahan
lama, dan ada di suatu tempat di rentang waktu yang sangat panjang sebelum
kelahiran kita, dan mengetahui dan melakukan banyak hal. Walaupun demikian, ia
tidak lebih abadi karena semua ini, tetapi saat masuknya ke dalam badan manusia
adalah permulaan dari kehancurannya, seolah-olah ia adalah penyakit, sehingga
ia melalui kehidupan ini di dalam keterpurukan, dan akhirnya binasa di dalam hal
yang kita sebut sebagai kematian. Kamu mengatakan bahwa tidak membuat perbedaan
ia datang ke dalam badan sekali ataupun sering, sepanjang mempertimbangkan
kekhawatiran yang kita rasakan. Karena siapapun kecuali orang yang bodoh, harus
khawatir, jika tidak mengetahui dan tidak bisa membuktikan bahwa jiwa adalah
abadi. Demikianlah, Cebes, menurutku, perkataanmu, dan aku sengaja
mengulanginya supaya tidak ada yang lepas dari kita, dan jika kamu suka, kamu
mungkin menambahkan atau menguranginya.”
Cebes menjawab, “Aku saat ini tidak berharap mengurangi
ataupun menambahinya. Kamu telah mengungkapkan maksudku.”
Socrates berhenti beberapa lama, dan
mempertimbangkan sesuatu di dalam dirinya sendiri. Kemudian ia berkata, “Kamu
mencari ke dalam hal yang bukan mudah, Cebes, karena pertanyaan tentang
generasi dan korupsi, harus diselidiki secara lengkap. Jika kamu suka,
kemudian, aku akan menceritakan pengalamanku di dalam persoalan tersebut.
Kemudian jika ada perkataanku yang berguna untukmu, gunakanlah untuk
menyelesaikan kesukaranmu.”
“Aku memang mengharapkan mendengarkan
pengalamanmu,” Cebes menjawab.
“Dengarkanlah ceritaku, kemudian. Ketika aku
muda, Cebes, aku secara luar biasa mengingini kebijaksanaan yang mereka sebut
sebagai sejarah alam. Aku menganggap sangat tinggi untuk mengetahui sebab-sebab
dari semua hal, mengapa setiap hal terjadi, mengapa ia musnah, dan mengapa ia
ada. Dan aku sering melambungkan diriku sendiri naik dan turun,
mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, apakah panas dan dingin
melalui sebuah fermentasi membentuk binatang-binatang, seperti dikatakan
orang-orang? Apakah darah, atau udara, atau api, yang kita gunakan untuk
berpikir? ataukah tidak ada dari hal-hal ini, dan apakah otak menghasilkan
penggambaran dari pendengaran, penglihatan, dan penciuman, dan apakah ingatan
dan pendapat datang dari hal-hal ini, dan apakah pengetahuan datang dari ingatan
dan pendapat di dalam sebuah keadaan istirahat? Dan, lagi, aku mencoba
menemukan bagaimana hal-hal ini binasa, dan aku menyelidiki fenomena langit dan
bumi sampai akhirnya aku mengukuhkan pikiranku bahwa aku secara alamiah tidak
sesuai dengan penyelidikan semacam ini dan bahwa tidak ada yang mungkin bisa
demikian. Aku akan memberikan kepadamu sebuah bukti yang memadai. Karena aku
benar-benar terbutakan oleh pembelajaran-pembelajaran ini, sehingga aku
kehilangan pengetahuan yang aku, dan orang-orang yang lain, menyangka
memilikinya sebelumnya, aku melupakan hal yang dahulu aku percaya aku
mengetahui tentang banyak hal, dan bahkan melupakan tentang penyebab manusia
bertumbuh. Karena sebelumnya, aku menyangka jelas kepada setiap orang bahwa manusia
bertumbuh karena makan dan
minum;
karena, ketika, dari makanan yang ia makan, daging ditambahkan kepada daging,
tulang kepada tulang, dan demikian seterusnya di dalam perbandingan yang sama,
apa yang pantas kepada mereka ditambahkan kepada beberapa bagian yang lain,
kemudian badan yang kecil menjadi lebih besar, dan manusia yang kecil menjadi
besar. Demikianlah pendapatku saat itu. Apakah ia tampak benar kepadamu?”
“Kepadaku ia demikian,” kata Cebes.
“Pertimbangkan ini lebih lanjut. Aku
menyangka bahwa aku telah membentuk sebuah pendapat yang benar, ketika melihat
seorang yang tinggi berdiri di samping yang pendek, aku menilai bahwa ia lebih
tinggi oleh kepala, dan sekor kuda lebih tinggi oleh kepala daripada yang
lainnya. Dan, yang secara lebih jelas daripada ini, sepuluh tampak kepadaku
lebih daripada delapan oleh menambahkan dua kepada mereka, dan bahwa dua cubit lebih besar daripada satu cubit oleh melebihinya separuh.”
“Tetapi sekarang,” kata Cebes, “apa pikiranmu
tentang hal-hal ini?”
“Demi Zeus!” kata ia, “aku jauh dari berpikir
bahwa aku mengetahui penyebab hal-hal ini, aku yang bahkan tidak berani
mengatakan, ketika satu ditambahkan kepada satu, apakah satu yang ditambahi
menjadi dua, ataukah satu yang ditambahkan menjadi dua, ataukah satu yang
ditambahkan dan satu yang ditambahi menjadi dua oleh panambahan dari satu
kepada yang lainnya. Untuk aku membayangkan jika, ketika masing-masing ini
terpisah dari yang lainnya, masing-masing adalah satu, dan mereka bahkan tidak
dua, dan ketika mereka didekatkan satu sama lain, pendekatan ini menjadi
penyebab mereka menjadi dua. Aku tidak bisa percaya bahwa jika satu dibagi, pembagian
ini menyebabkannya menjadi dua, karena ini adalah kebalikan dari penyebab yang
menghasilkan dua di kejadian yang sebelumnya. Dahulu, dua terjadi karena karena
mereka didekatkan satu sama lain, dan satu ditambahkan kepada yang lain, tetapi
sekarang karena dipindahkan dan dipisahkan dari yang lain. Bahkan, berdasarkan
cara ini, aku tidak lagi percaya bahwa aku mengetahui mengapa satu adalah satu,
atau di dalam kata lain, mengapa semua hal lain dihasilkan, atau binasa, atau
ada; dan aku tidak lagi memercayai cara ini, tetapi aku memiliki sebuah cara
membingungkan yang lain milikku sendiri.”
“Tetapi,
suatu kali aku mendengar seseorang membaca dari sebuah buku, yang katanya, ditulis
oleh Anaxagoras, bahwa kecerdasanlah yang mengatur dan menyebabkan semua hal. Aku
gembira argumen penyebab ini, dan tampak kepadaku di dalam sebuah cara benar
bahwa kecerdasan harus menjadi penyebab semua hal, dan aku berpikir, ‘Jika ini
demikian, bahwa kecerdasan yang mengatur hal-hal, mengatur segala sesuatu dan
mendirikan setiap hal di dalam jalan yang terbaik untuknya. Sehingga, jika seseorang
hendak menemukan penyebab dari generasi atau kehancuran atau keberadaan suatu
hal tertentu, ia harus semua hal, di dalam jalan apa ia dihasilkan, atau
binasa, atau ada, ia harus mencari di dalam jalan apa paling baik untuknya ada,
atau menderita, atau melakukan apapun. Sehingga dengan mempertimbangkan suatu
hal tertentu tersebut, dan juga hal-hal yang lain, seseorang tidak perlu
menjelaskan apapun kecuali apa yang paling bagus dan paling baik. Karena dengan
demikian ia akan juga mengetahui apa yang lebih rendah, sejak ilmu tentang
keduanya adalah sama.’ Saat mempertimbangkan hal-hal ini, aku gembira
memikirkan bahwa aku telah menemukan seorang guru di dalam Anaxagoras, tentang
penyebab hal-hal yang sesuai dengan pemikiranku, dan aku berpikir bahwa ia akan
memberitahukan-ku jika bumi adalah datar ataukah bundar, dan ketika ia telah
memberitahukan-ku hal itu, akan lebih lanjut, menjelaskan penyebab dan
keperluannya, dan akan memberitahukan kepadaku alamiah terbaik dan mengapa
terbaik untuk bumi sebagaimana adanya. Dan jika ia mengatakan bahwa bumi adalah
di dalam pertengahan, ia akan lebih lanjut menjelaskan mengapa paling baik
untuk bumi di dalam pertengahan. Dan aku membangun pikiranku bahwa jika ia
menjelaskan hal-hal tersebut kepadaku, aku bersedia untuk tidak lagi mencari
penyebab yang lain. Aku memutuskan bahwa aku akan bertanya secara demikian
tentang matahari dan bulan dan bintang-bintang yang lain, kecepatan-kecepatan
mereka di dalam perbandingan antara satu sama lain, dan peredaran-peredaran
mereka dan keadaan-keadaan yang lain, dan mengapa paling baik untuk
masing-masing mereka bersikap dan terpengaruh sebagaimana adanya. Karena aku
tidak pernah membayangkan bahwa setelah ia mengatakan hal-hal ini terpasang
oleh kecerdasan, ia akan memperkenalkan penyebab lain apapun untuk hal-hal ini
daripada bahwa paling baik untuk mereka menjadi sebagaimana adanya. Sehingga
aku berpikir bahwa setelah ia menentukan setiap hal dan semua hal secara umum,
ia akan melanjutkan menjelaskan apa yang paling baik untuk masing-masing, apa
yang baik untuk semuanya secara umum. Aku sangat menghargai tinggi harapanku,
dan aku mengangkat bukunya dengan bersemangat dan membacanya secepat yang aku
bisa, supaya aku sesegera mungkin mengetahui tentang yang paling baik dan yang
paling buruk.”
“Harapanku
yang tinggi ini, temanku, segera terenggut dariku. Saat aku melanjutkan
bacaanku, aku melihat orang tersebut tidak menggunakan kecerdasan, dan tidak
memberikan penyebab apapun untuk pengaturan hal-hal, tetapi menyebutkan penyebab-penyebab
terdiri dari udara, ether, dan air, dan banyak hal lain yang sama absurdnya.
Dan tampak kepadaku sangat seperti jika seseorang mengatakan bahwa apapun yang
Socrates lakukan ia melakukannya oleh kecerdasan, kemudian saat menggambarkan
penyebab dari masing-masing tindakan tertentu yang aku lakukan, ia mengatakan
bahwa aku duduk di sini karena tubuhku terdiri dari tulang-tulang dan urat-urat
dan bahwa tulang-tulang adalah keras dan memiliki sendi-sendi yang memisahkan
mereka, dan urat-urat bisa melentur dan meregang, dan menutupi tulang bersama-sama dengan daging dan kulit
yang mengandung mereka. Sehingga, saat tulang-tulang menggantung lepas di
sendi-sendi, urat-urat yang melentur dan meregang memungkinkanku meliukkan
tungkaiku sebagaimana yang sekarang aku lakukan, dan itulah penyebab aku duduk
di sini dengan kaki meliuk. Atau seperti jika ia meletakkan penyebab-penyebab
yang serupa untuk aku bercakap-cakap denganmu, suara dan udara dan pendengaran
dan sepuluh ribu hal lain yang semacam demikian, dan abai menyebutkan penyebab-penyebab
yang sebenarnya, yaitu, bahwa sejak tampak lebih baik kepada orang-orang Athena
untuk menghukumku, aku karena itu memutuskan bahwa lebih baik untuk aku duduk
di sini, dan menjalani hukuman apapun yang mereka perintahkan.”
“Karena, demi anjing, aku yakin bahwa
otot-otot dan daging-daging ini telah sejak lama di Megara atau Boeotia, dibawa
ke sana oleh pendapat tentang apa yang paling baik, jika aku tidak menganggap
bahwa lebih baik dan lebih terhormat untuk menjalani hukuman apapun yang kota
perintahkan daripada membebaskan diri dan melarikan diri. Tetapi paling absurd
untuk menyebut hal-hal tersebut sebagai penyebab-penyebab. Jika seseorang
mengatakan bahwa aku tidak bisa melakukan hal yang aku anggap baik, tanpa
memiliki hal-hal semacam tulang-tulang dan otot-otot dan apapun yang lain yang
aku miliki, ia akan benar. Tetapi untuk mengatakan bahwa hal-hal tersebut
adalah penyebab aku melakukan sebagaimana yang aku lakukan, dan bahwa aku
bertindak dengan kecerdasan tetapi bukan dari memilih yang terbaik, akan
menjadi cara berbicara yang sangat tidak berhati-hati. Siapapun yang berbicara
demikian, tidaklah mampu untuk membedakan dan melihat bahwa sebenarnya sebuah
penyebab adalah suatu hal, dan hal yang tanpanya penyebab tidak bisa menjadi
penyebab adalah sebuah hal yang lain. Tampak kepadaku bahwa kebanyakan manusia,
meraba-raba di dalam kegelapan, sebagaimana adanya, dan memberikan sebuah nama
yang tidak sesuai. Sehingga satu orang membuat bumi tetap di bawah langit
dengan meletakkan pusaran yang meliputi bumi, dan orang lain menganggap bumi
sebagai dataran yang di sebuah pondasi udara. Tetapi mereka tidak mencari
kekuatan yang menyebabkan hal-hal ini terletak sebagaimana sekarang sebagai
letak yang paling baik untuk mereka, tetapi mereka berpikir mereka akan
menemukan Atlas yang lebih kuat dan lebih abadi dan lebih memeluk daripada ini,
dan kenyataannya mereka tidak memedulikan kebaikan, yang memeluk dan menahan
semua hal bersama-sama. Aku akan senang menjadi murid kepada siapapun yang akan
mengajarkanku alamiah dari penyebab yang semacam demikian. Tetapi sejak mereka
menolakku, dan aku tidak mampu menemukannya sendiri atau mempelajarinya dari
orang lain, apakah kamu berharap, Cebes, bahwa aku mempertunjukkan kepadamu di
dalam jalan apa aku melakukan pelayaran ke duaku di dalam pencarian penyebab?”
“Aku sangat mengharapkannya,” ia menjawab.
“Setelah ini,” kata ia, “sejak aku telah
menyerah dari menyelidiki kenyataan-kenyataan, aku memutuskan untuk waspada untuk
tidak mengalami sebagaimana mereka yang memandang dan memperhatikan gerhana
matahari, karena beberapa mereka kehilangan penglihatan mata mereka, kecuali
mereka memandangnya di dalam wadah air, atau suatu hal yang semacam itu. Aku
memikirkan itu, dan aku khawatir jika jiwaku terbutakan melalui memandang
hal-hal ini dengan mata, dan berusaha mencapai mereka dengan menggunakan
beberapa inderaku. Sehingga aku merasa harus meminta pertolongan kepada
alasan-alasan, dan mempertimbangkan di
dalam mereka kebenaran dari kenyataan-kenyataan. Perumpamaan milikku mungkin tidak
cukup tepat, karena aku tidak serta-merta menerima bahwa ia yang
mempertimbangkan hal-hal di dalam alasan-alasan memandang di dalam
gambar-gambar mereka lebih daripada ia yang memandang mereka di dalam kenyataan
keseharian. Bagaimanapun, itulah jalanku memulai. Aku beranggapan di dalam
alasan yang aku pertimbangkan sebagai yang paling kuat, hal apapun yang tampak
kepadaku bersesuaian dengan ini, di dalam mempertimbangkan penyebab dan setiap
hal yang lain, aku anggap sebagai benar, tetapi yang tidak bersesuaian aku
anggap sebagai tidak benar. Tetapi aku berharap menjelaskan maksudku di dalam
sebuah cara yang lebih jelas, karena aku berpikir bahwa kamu belum memahamiku.”
“Tidak terlalu baik,” kata Cebes.
“Baik,” ia melanjutkan, “maksudku ini. Bukan
hal yang baru, tetapi hal sama yang aku selalu katakan, di awal pembicaraan ini
dan di lainnya. Aku berusaha menjelaskan kepadamu alamiah dari penyebab yang
aku telah menyibukkan diriku sendiri tentangnya, dan aku akan kembali kepada pokok-pokok
bahasan kita tersebut, dan berangkat dari mereka dan beranggapan bahwa ada hal-hal
semacam keindahan mutlak dan kebaikan dan kebesaran dan sebagainya. Jika kamu mengakui
ini dan menyetujui bahwa hal-hal ini ada, aku percaya bahwa aku harus mampu
menjelaskan penyebab kepadamu, dan membuktikan bahwa jiwa adalah abadi.”
“Kamu mungkin menganggap,” kata Cebes, “bahwa
aku mengakui ini, dan lanjutkanlah.”
“Kemudian,” ia berkata, “lihatlah jika kamu
setuju denganku di langkah yang selanjutnya. Menurutku, jika ada yang indah
selain keindahan mutlak, ia tidaklah indah untuk alasan apapun kecuali karena
ia mengambil bagian dari keindahan mutlak, dan ini sama tentang semua hal.
Apakah kamu menerima penyebab yang semacam demikian?”
“Aku menerimanya,” ia menjawab.
“Aku belum mengerti,” ia melanjutkan, “juga
tidak aku mampu menyusun, peyebab-penyebab yang bijaksana yang lain itu. Tetapi
jika siapapun memberitahukanku bahwa suatu hal adalah indah karena warnanya
yang indah, atau bentuknya atau atau apapun yang lain yang semacam demikian,
aku membuyarkan semua itu, karena semua itu membuatku bingung, dan aku secara
sederhana, secara keseluruhan, dan mungkin secara bodoh, mengikatkan diriku
kepada ini, bahwa tidak ada yang lain yang menyebabkan indah kecuali kehadiran
atau hubungan dengan keindahan mutlak, dicapai dengan cara apapun dan di dalam
jalan apapun. Tentang caranya terjadi, aku belum bisa mengukuhkan ini dengan
kepastian, tetapi aku bersiteguh bahwa hal-hal yang indah menjadi indah karena keindahan.
Karena menurutku inilah jawaban yang paling aman untuk diberikan kepada
kedua-duanya diriku sediri dan yang lainya, dan jika aku melekatkan diriku
kepada ini, aku berpikir bahwa aku akan tidak pernah jatuh. Aku percaya bahwa
aman untuk aku atau siapapun yang lain memberikan jawaban ini, bahwa hal-hal
yang indah menjadi indah karena keindahan. Apakah kamu setuju?”
“Aku setuju.”
“Dan hal-hal adalah besar dan hal-hal adalah
lebih besar, lebih besar oleh kebesaran. Dan hal-hal yang lebih kecil, lebih
kecil oleh kekecilan?”
“Ya.”
“Kamu akan tidak menerima, jika kamu
diberitahukan bahwa seseorang lebih besar atau lebih kecil daripada yang
lainnya oleh kepala, tetapi kamu akan bersiteguh bahwa kamu mengatakan bahwa
setiap hal yang lebih besar adalah lebih besar daripada yang lain oleh bukan
apapun selain kebesaran, dan bahwa ia lebih besar karena kebesaran; dan bahwa
hal yang lebih kurang adalah lebih kurang oleh bukan apapun selain kekecilan,
dan lebih kecil karena kekecilan. Kamu akan khawatir, menurutku, menjumpai suatu
argumen keras yang melawanmu, jika kamu mengatakan bahwa seseorang lebih besar atau
lebih kecil oleh kepala. Sehingga, pertama-tama, yang lebih besar adalah lebih
besar, dan yang lebih kecil adalah lebih kecil, oleh hal yang serupa; dan ke
dua, bahwa orang yang lebih besar adalah lebih besar oleh kepala, yang kecil, dan
bahwa mengerikan untuk menganggap siapapun lebih besar oleh sesuatu yang kecil.
Apakah kamu akan tidak khawatir terhadap ini?”
Cebes tertawa, dan berkata, “Memang, aku
harus.”
“Kemudian,” ia melanjutkan, “kamu akan
khawatir mengatakan bahwa sepuluh lebih daripada delapan oleh dua, dan inilah
alasan ia melebihinya. Kamu akan mengatakan ia lebih oleh bilangan dan oleh
alasan bilangan, dan bahwa dua cubit
adalah lebih besar daripada satu cubit
bukan oleh separuh, tetapi oleh kebesaran, bukankah kamu akan demikian? Karena
sama kekhawatirannya.”
“Tentu saja,” ia menjawab.
“Kemudian, jika satu ditambahkan kepada satu,
atau jika satu dibagi, kamu akan menghindar dari mengatakan bahwa penambahan
atau pembagian tersebut adalah penyebab keduanya? Kamu secara lantang
mengatakan bahwa kamu tidak ada mengetahui jalan lain yang di dalamnya setiap
hal mendatangi keberadaan, daripada mengambil bagian di dalam esensi yang pantas
untuk masing-masing yang di dalamnya ia mengambil bagian, sehingga kamu tidak bisa
memberikan penyebab yang lain dari keberadaan dua daripada mengambil bagian di
dalam dualitas, dan hal-hal yang akan menjadi dua harus mengambil bagian di
dalam dualitas, dan apapun yang akan menjadi satu harus mengambil bagian di
dalam persatuan, dan kamu akan tidak memperhatikan pembagian-pembagian dan
penambahan-penambahan dan kepelikan-kepelikan yag lain yang semacam ini, kamu
akan meninggalkan mereka untuk dijelaskan oleh yang lebih bijaksana. Kamu akan
tidak memercayai pengalamanmu, dan kamu akan khawatir, seperti kata peribahasa,
terhadap bayanganmu sendiri, sehingga kamu akan melekatkan diri kepada
hipotesis kita tersebut dan akan menjawab sebagaimana aku lakukan. Jika seseorang
membantah hipotesis milikmu ini, kamu akan membubarkannya, dan menahan diri
dari menjawabnya sampai kamu mempertimbangkan akibat-akibatnya, apakah
bersetuju ataukah berbeda dari satu sama lain? Tetapi ketika kamu harus
menjelaskannya, kamu akan memberikannya di dalam jalan yang serupa, oleh
kembali meletakkan hipotesis yang lain, yang harus tampak paling baik dari
ajaran-ajaran yang lebih tinggi, dan demikianlah sampai kamu mencapai satu yang
memuaskan. Kamu akan menghindar dari membuat kebingungan, seperti para pembuat
perselisihan, di dalam membicarakan permulaan dan akibat-akibatnya, jika kamu
berharap menemukan apapun dari kenyataan-kenyataan, karena mungkin tidak ada
walau seorangpun dari mereka yang memedulikan atau memikirkan hal-hal ini.
Mereka sangat cerdas sehingga mengaduk semua hal bersama-sama, dan di saat yang
sama memuaskan diri mereka sendiri. Tetapi jika kamu adalah filsuf, kupikir, kamu
akan bersikap sebagaimana yang sekarang aku gambarkan.”
“Kamu berbicara benar,” kata Simmias dan Cebes
bersama-sama.
Echecrates: Demi Zeus, Phaedo, mereka berkata
demikian dengan alasan yang baik. Karena ia tampak kepadaku telah menjelaskan
hal-hal ini dengan kejelasan yang sangat baik, bahkan kepada seorang yang
dianugerahi dengan derajat kecil kecerdasan.
Phaedo: Tetu saja, Echecrates, dan tampak demikian
juga kepada semua yang hadir.
Echecrates: Dan demikian juga ia tampak
kepadaku, yang tidak hadir, dan sekarang mendengarnya diceritakan. Tetapi apa
yang dikatakan setelah ini?
Phaedo: Seingatku, setelah semua ini
diterima, dan mereka setuju bahwa ada setiap mutu mutlak, dan bahwa hal-hal
yang mengambil bagian di dalam hal-hal ini mendapatkan nama-nama mereka dari
sana, Socrates kemudian bertanya, “Jika kamu menerima ini, ketika kamu mengatakan
bahwa Simmias lebih besar daripada Socrates dan lebih kecil daripada Phaedo, bukankah
kamu mengatakan bahwa kebesaran dan kekecilan ada di dalam Simmias?”
“Ya.”
“Tetapi,” ia berkata, “kamu setuju bahwa
pernyataan yang mengatakan bahwa Simmias lebih besar daripada Socrates bukanlah
benar-benar sebagaimana dikatakan oleh pernyataan tersebut. Karena Simmias
bukan lebih besar daripada Socrates karena ia adalah Simmias, tetapi oleh
alasan kebesaran yang kebetulan ia miliki, juga tidak ia lebih besar daripada
Socrates karena Socrates adalah Socrates, tetapi karena Socrates memiliki
kekecilan relatif kepada kebesarannya?”
“Benar.”
“Juga, Simmias bukanlah lebih kecil daripada
Phaedo, karea Phaedo adalah Phaedo, tetapi karena Phaedo memiliki kebesaran dibandingkan dengan kekecilan yang dimiliki Simmias?”
“Benar.”
“Kemudian, Simmias disebut sebagai kecil dan
besar, saat ia di antara dua, melebihi kekecilan dari yang satu oleh
melampauinya di dalam ketinggian, dan kepada yang lain memiliki kebesaran yang melebihi kekecilan-nya.” Dan di saat yang sama, ia tersenyum,
dan berkata, “Aku berbicara seperti penulis hukum, tetapi ia adalah sebagaimana
aku katakan.”
Simmias setuju.
“Aku berbicara begitu karena mengharapkanmu
berpendapat sama denganku. Karena tampak kepadaku, bukan hanya bahwa kebesaran itu sendiri tidak pernah cenderung menjadi besar dan
kecil di saat yang sama, tetapi bahwa kebesaran di
dalam kita tidak pernah menerima yang kecil juga tidak membiarkan dirinya
terlampaui. Satu dari dua hal harus terjadi, ia pergi dan diambil ketika kebalikannya,
kekecilan, mendekatinya, atau ia musnah saat kekecilan mendatanginya. Tetapi ia
akan tidak menyambut dan menerima kekecilan, sehingga menjadi berbeda daripada
dulunya. Sehingga aku menyambut dan menerima kekecilan dan tetap orang kecil
sebagaimana diriku, tetapi kebesaran di dalam diriku, sebagai besar, tidak
pernah mengalami menjadi kecil. Di dalam jalan yang sama, kekecilan di dalam
kita akan tidak pernah cenderung atau menjadi besar, juga tidak apapun
kebalikan-kebalikan yang lain, saat ia melanjutkan sebagai dirinya, di saat
yang sama cenderung dan menjadi kebalikannya. Ia pergi atau hilang keberadaannya,
di dalam perubahan tersebut.”
“Ia tampak demikian kepadaku,” kata Cebes,
“di dalam setiap pertimbangan.”
Tetapi seseorang dari yang hadir, saat
mendengar ini, aku tidak secara jelas mengingat siapa ia, berkata, “Demi para
dewa! Bukankah kebalikan dari yang sekarang ditambahkan ini, telah diterima di
awal perbincangan kita, bahwa yang lebih
besar dihasilkan dari yang lebih kecil, dan yang lebih kecil dari yang lebih
besar, dan di dalam kata lain, bahwa setiap perhasilan kebalikan-kebalikan
adalah dari kebalikan-kebalikan? Tetapi sekarang kita tampak mengatakan bahwa
ini tidak bisa terjadi.”
Socrates mencondongkan kepalanya ke satu sisi
untuk mendengarkan. Kemudian Ia berkata, “Kamu berbicara secara laki-laki.
Bagaimanapun, kamu tidak melihat perbedaan di atara perkataan yang sekarang
dengan yang dahulu. Karena dahulu dikatakan bahwa hal-hal yang padat dihasilkan
dari kebalikan; tetapi sekarang kita mengatakan, bahwa sebuah kebalikan tidak
pernah bisa menjadi kebalikannya sendiri. Dahulu, temanku, kita membicarakan
hal-hal yang memiliki mutu-mutu kebalikan yang dinamai mengikuti mereka, tetapi
sekarang kita membicarakan kebalikan-kebalikan yang memberikan nama kepada hal-hal,
kita mengatakan bahwa hal-hal yang akhir ini tidak pernah bisa dihasilkan dari
satu sama lain.” Di saat yang sama, ia memandang Cebes, dan berkata, “Adakah yang
mengganggumu, dari apapun keberatan teman-teman kita?”
“Tidak,” kata Cebes, “tidak di saat ini, walaupun,
aku mengakui bahwa keberatan-keberatan sering menggangguku.”
“Kemudian,” ia melanjutkan, “kita telah cukup
bersetuju kepada ini, bahwa sebuah kebalikan tidak pernah bisa menjadi
kebalikan dirinya sendiri.”
“Setuju secara keseluruhan,” ia menjawab.
“Sekarang,” ia berkata, “pertimbangkan jika
kamu akan setuju denganku di dalam ini juga. Apakah kamu menyebut panas dan
dingin sebagai sesuatu?”
“Aku melakukan.”
“Sama dengan salju dan api?”
“Demi Zeus, aku tidak melakukan demikian.”
“Tetapi panas adalah sesuatu yang berbeda
dari api, dan dingin sesuatu yang berbeda dari salju?”
“Ya.”
“Tetapi ini, aku pikir, jelas kepadamu. Bahwa
salju, sebagaimana kita katakan sebelumnya, jika ia menerima panas, akan tidak melanjutkan
sebagai dirinya, yaitu salju dan panas, tetapi saat terdekati oleh panas, ia
harus pergi atau binasa?”
“Tentu saja.”
“Seperti api, ketika dingin mendekatinya,
harus pergi atau binasa. Ia akan tidak pernah mengalami, ketika ia menerima
dingin, tetap sebagai api sebagaimana sebelumnya, dan juga dingin?”
“Kamu berbicara benar,” katanya.
“Kenyataannya,” ia melanjutkan, “di dalam
beberapa kejadian yang semacam demikian, bukan hanya ide abstrak yang berhak
menyandang nama yang sama di sepanjang waktu, tetapi demikian juga sesuatu yang
lain, yang bukanlah ide, tetapi senantiasa memiliki bentuk ide selama ia ada. Maksudku
mungkin menjadi lebih jelas di dalam contoh-contoh berikut ini: Di dalam
bilangan, yang ganjil harus selalu memiliki nama ganjil, bukankah harus?”
“Tentu saja.”
“Haruskah ia saja, atau dari semua hal, untuk
inilah aku bertanya, atau adakah hal apapun yang lain yang tidak sama dengan
keganjilan, tetapi yang kita harus sebut ganjil, bersama-sama dengan namanya
sendiri, karena ia demikian tersusun oleh alam bahwa ia tidak pernah bisa tanpa
keganjilan? Tetapi ini, aku katakan, adalah kejadian dengan bilangan tiga, dan
banyak yang lainnya. untuk anggap dengan mempertimbangkan bilangan tiga:
bukankah tampak kepadamu bahwa ia harus selalu disebutkan dengan namanya
sendiri, sebagaimana juga dengan keganjilan, yang tidaklah sama dengan bilangan
tiga? Walaupun demikian, alamiah bilangan tiga, lima, dan seluruh separuh dari
bilangan, bahwa walaupun mereka tidak sama dengan keganjilan, tetap saja
masing-masing mereka selalu ganjil. Dan, lagi, dua dan empat, dan keseluruhan
bilangan yang lain, walaupun tidak sama dengan kegenapan,
adalah walaupun demikian masing-masing mereka selalu genap. Apakah kamu
menerima ini, ataukah tidak?”
“Bagaimana aku tidak harus?” ia menjawab.
“Amatilah kemudian,” katanya, “apa yag aku
berharap buktikan. Ia adalah ini, bahwa tampak bukan hanya bahwa
kebalikan-kebalikan ini tidak menerima satu sama lain, tetapi bahkan hal-hal
demikian tidak berkebalikan kepada satu sama lain, dan walau selalu memiliki
kebalikan-kebalikan, tidak tampak menerima ide yang berkebalikan kepada ide
yang ada di dalam dirinya sendiri, tetapi, ketika ide tersebut mendekat, ia binasa
atau pergi. Bukankah kita harus membiarkan bahwa bilangan tiga akan binasa, dan
menderita apapun bagaimanapun, lebih daripada bertahan, sementara ia masih
tiga, untuk menjadi genap?”
“Paling secara pasti,” kata Cebes.
“Dan bahkan,” kata ia, “bilangan dua bukanlah
kebalikan tiga.”
“Secara yakin bukan.”
“Bukan hanya, kemudian, ide bahwa kebalikan
tidak pernah mendekati satu sama lain, tetapi beberapa hal lain juga tidak
membiarkan pendekatan dari kebalikan-kebalikan.”
“Kamu mengatakan sangat secara benar,” ia
menjawab.
“Apakah kamu berharap, kemudian,” ia berkata,
“bahwa, jika kita mampu, kita harus menjelaskan apa hal-hal ini?”
“Tentu saja.”
“Tidakkah mereka akan kemudian, Cebes,” ia
berkata, “suatu hal semacam, apapun yang mereka tempati, memaksa hal tersebut
bukan hanya menerima idenya sendiri, tetapi juga sesuatu yang selalu sebuah
kebalikan?”
“Bagaimana maksudmu?”
“Sebagaimana kita baru saja katakan. Karena
kamu tentu saja mengetahui, bahwa hal apapun yang ditempati oleh ide dari tiga
harus secara perlu bukan hanya tiga, tetapi juga ganjil?”
“Tentu saja.”
“Kepada hal semacam demikian, kemudian, kita
memberikan, bahwa ide yang berkebalikan kepada bentuk yang menyusun ini tidak
pernah bisa datang.”
“Ia tidak bisa.”
“Tetapi apakah keganjilan membuatnya
demikian?”
“Ya.”
“Kebalikan ide ini adalah kegenapan?”
“Ya.”
“Ide dari kegenapan, kemudian, tidak pernah
datang kepada tiga?”
“Tidak, secara yakin.”
“Tiga, kemudian, tidak memiliki bagian di
dalam genap?”
“Tidak ada apapun.”
“Bilangan tiga adalah tidak genap?”
“Ya.”
“Apa, karena itu, aku katakan harus
dijelaskan—yaitu, hal-hal apa mereka yang, walaupun tidak berkebalikan kepada
suatu hal yang khusus, juga tidak menerima kebalikan itu sendiri. Sebagaimana
di dalam contoh yang sekarang, bilangan tiga, walaupun tidak berkebalikan
kepada genap, lebih tidak menerimanya, karena ia selalu membawa kebalikan
degannya, seperti yang bilangan dua lakukan kepada keganjilan, api kepada
dingin, dan banyak hal-hal khusus lain. Pertimbangkan kemudian jika kamu akan
menjelaskan begini, bukan hanya bahwa kebalikan tidak menerima kebalikan,
tetapi juga bahwa hal yang membawa bersamanya sebuah kebalikan kepada hal yang
kepadanya ia mendekati akan tidak pernah menerima kebalikan dari hal yang ia
bawa bersamanya. Tetapi ingatlah kembali, karena bukanlah tidak berguna
mendengarkannya sering diulangi. Lima akan tidak menerima ide dari kegenapan,
juga tidak sepuluh, kegandaannya, dari keganjilan. Kegandaan ini, kemudian,
walaupun ia sendiri berkebalikan kepada sesuatu yang lain, juga akan tidak
menerima ide dari keganjilan, juga tidak separuh, juga tidak hal lain dari
macam yang demikian, misalnya separuh dan bagian ke tiga, menerima ide dari
keseluruhan, jika kamu mengikutiku, dan setuju denganku bahwa ia demikian.”
“Aku secara keseluruhan setuju denganmu,” ia
berkata, “dan mengikutimu.”
“Beri tahukan aku lagi, kemudian,” ia
berkata, “dari permulaan; dan jangan menjawabku di dalam cara yag di dalamnya
aku meletakkan pertanyaan, tetapi di dalam satu yag berbeda, meniru contohku. Aku
mengatakan ini karena, di sampig cara menjawab aman yang aku sebutkan pertama
dari apa yang sekarang kita katakan, aku melihat tidak ada yang lain lebih
aman. Karena jika kamu menanyaiku apa yang, jika ia di dalam badan, akan
menyebabkannya menjadi panas, aku harus tidak memberimu jawaban yang aman
tetapi tidak bisa dipelajari itu, yaitu panas, tetapi satu yang lebih anggun,
dari apa yang baru saja sekarang kita katakan, yaitu api. Juga tidak, jika kamu
menanyaiku apa yang, jika ia di dalam badan, akan menyebabkannya sakit, aku
harus mengatakan bahwa ia adalah penyakit, tetapi demam. Juga tidak jika kamu
menanyakan apa yang, jika di dalam angka, akan menyebabkannya menjadi ganjil,
aku harus mengatakan bahwa ia adalah ke-tidak-genap-an, tetapi kesatuan. Dan
demikian juga dengan hal-hal yang lain. Tetapi pertimbangkan jika kamu secara
cukup mengerti apa yang aku maksudkan.”
“Secara sempurna demikian,” ia menjawab.
“Jawablah aku, kemudian,” ia berkata, “apakah
yang, ketika ia di dalam badan, badan akan menjadi hidup?”
“Jiwa,” ia menjawab.
“Bukankah ini, kemudian, selalu halnya?”
“Bagaimana ia harus tidak?” kata ia.
“Apakah jiwa, kemudian, selalu membawa
kehidupan kepada apapun yang ia tempati?”
“Ia melakukan memang,” ia menjawab.
“Adakah sesuatu yang berkebalikan kepada
kehidupan ataukah tidak?”
“Ada,” ia menjawab.
“Apa?”
“Kematian.”
“Jiwa, kemudian, akan tidak pernah menerima
kebalikan dari apa yang ia bawa bersamanya, sebagaimana telah dibiarkan?”
“Paling secara yakin,” Cebes menjawab.
“Apa, kemudian? Bagaimana kita menyebut hal
yang tidak menerima ide dari kegenapan?”
“Tidak-genap,” ia menjawab.
“Dan yang tidak menerima yang adil, juga
tidak yang musikal?”
“Tidak musikal,” ia menjawab, “dan tidak
adil.”
“Jadilah ia demikian. Tetapi kita sebut apa
hal yang tidak menerima mati?”
“Abadi.”
“Karena itu, tidakkah jiwa menerima mati?”
“Tidak.”
“Apakah jiwa, kemudian, abadi?”
“Abadi,” ia menjawab.
“Jadilah ia demikian,” ia berkata. “Haruskah
kita mengatakan, kemudian, bahwa ini sekarang telah ditampakkan? atau bagaimana
menurutmu?”
“Secara lengkap, Socrates.”
“Apa, kemudian,” katanya, “Cebes, jika perlu
untuk tidak-genap menjadi tidak bisa binasa, akankah bilangan tiga menjadi
selain daripada tidak bisa binasa?”
“Bagaimana ia harus tidak?”
“Jika, karena itu, ia juga perlu bahwa apa
yang tanpa panas harus menjadi tidak bisa binasa, ketika siapapun mendekatkan
panas kepada salju, bukankah salju akan pergi dengan sendirinya, aman dan tidak
meleleh? Karena ia akan tidak binasa; juga tidak ia tinggal dan menerima panas
tersebut.”
“Kamu mengatakan secara benar,” ia menjawab.
“Di dalam cara yang serupa, aku pikir, jika
apa yang adalah tidak terpengaruh dingin adalah tidak bisa binasa, bahwa ketika
apapun yang dingin mendekati api, ia akan tidak hilang ataupun binasa, tetapi
akan berangkat cukup aman.”
“Seharusnya,” ia berkata.
“Tidakkah kita harus, secara perlu,” ia
melanjutkan, “berbicara demikian tentang apa yang adalah abadi? jika apa yang
abadi adalah tidak bisa binasa, tidak mungkin untuk jiwa binasa, ketika
kematian mendekatinya. Karena, dari apa yang telah dikatakan, ia akan tidak
menerima kematian, juga tidak akan pernah mati. Seperti kita mengatakan bahwa
tiga tidak pernah menjadi genap, juga tidak, lagi, keganjilan akan, juga tidak
api menjadi dingin, juga tidak panas yang ada di dalam api. Tetapi seseorang
akan mengatakan, apa yang menghalau, walau keganjilan tidak pernah bisa menjadi
genap oleh pendekatan dari genap tersebut, sebagaimana telah kita biarkan,
bahkan, ketika keganjilan dihancurkan, bahwa genap tersebut harus menggantikan
di dalam tempatnya? Kita tidak bisa menghadapi ia yang membuat keberatan ini
bahwa ia tidak hancur, untuk tidak-genap tersebut adalah bukan tidak bisa
binasa; sejak, jika ini diberikan kepada kita, kita mungkin secara mudah
berkeberatan bahwa, di pendekatan dari genap, keganjilan dan tiga berangkat; dan
kita kita mungkin berkeberatan di dalam jalan yang sama dengan mempertimbangkan
kepada api, panas, dan sisanya, bukankah kita mungkin?”
“Tentu saja.”
“Demikian juga, dengan mempertimbangkan
kepada yang abadi, jika kita membiarkan bahwa ia tidak bisa binasa, jiwa, di
samping ia menjadi abadi, harus juga menjadi tidak bisa binasa; jika tidak,
akan ada diperlukan argumen-argumen yang lain.”
“Tetapi tidak ada keperluan,” ia berkata,
“sepanjang itu diperhatikan. Karena sukar apapun tidak menerima korupsi, jika
yang abadi dan selamanya bisa dikenakan kepadanya.”
“Dewa, memang, aku pikir,” kata Socrates,
“dan ide kehidupan itu sendiri, dan jika apapun yang lain adalah abadi, harus
dibiarkan demi semua hal untuk menjadi tidak bisa terurai.”
“Demi Jupiter!” ia menjawab, “demi semua
manusia, dan terlebih, sebagaimana aku pikir, demi para dewa.”
“Sejak, kemudian, apa yang adalah abadi
adalah juga tidak bisa terkorupsi, bisakah jiwa, sejak ia adalah abadi, menjadi
apapun selain daripada tidak bisa binasa?”
“Ia harus, secara perlu, menjadi demikian.”
“Ketika, karena itu, kematian mendekati
seorang manusia, bagian yang fana darinya, sebagaimana tampak, mati, tetapi
bagian yang abadi berangkat aman dan tidak terkorupsi, setelah melepaskan
dirinya sendiri dari kematian?”
“Ia tampak demikian.”
“Jiwa, karena itu,” ia berkata, “Cebes,
paling secara pasti abadi dan tidak bisa binasa, dan jiwa-jiwa kita akan secara
nyata ada di dalam Hades.”
“Karena itu, Socrates,” ia berkata, “aku
tidak memiliki apapun yang lebih lanjut untuk dikatakan melawan ini, juga tidak
alasan apapun untuk meragukan argumen-argumenmu. Tetapi jika Simmias di sini,
atau siapapun yang lain, memiliki apapun untuk dikatakan, akan baik untuk ia
tidak diam, karena aku tidak mengetahui kepada kesempatan lain melampui siapapun
yang hadir bisa menangguhkannya, yang berharap berbicara ataupun mendengar
tentang hal-hal ini.”
“Tetapi, memang,” kata Simmias, ”juga tidak
aku memiliki alasan apapun untuk meragukan apa yang telah dikemukakan; bahkan,
dari besar hal yang didiskusikan, dan dari pendapat rendahku dari kelemahan
manusia, aku terpaksa masih menyimpan sebuah ragu di dalam diriku sendiri
dengan mempertimbangkan apa yang telah dikatakan.”
“Bukan hanya demikian, Simmias,” kata
Socrates, “tetapi kamu mengatakan ini secara baik. Terlebih, hipotesis pertama,
walaupun mereka bisa dipercaya kepadamu, harus tidak bisa dijelaskan lebih
secara berhati-hati; dan jika kamu harus menyelidiki mereka secara cukup, aku
pikir kamu akan mengikuti alasanku sejauh yang mungkin untuk manusia melakukan.
Jika titik ini menjadi jelas, kamu akan tidak mencari lebih jauh.”
“Kamu berbicara secara benar,” katanya.
“Tetapi benar, teman-temanku,” ia berkata,
“kita harus mempertimbangkan ini. Bahwa jika jiwa abadi, ia memerlukan
perhatian kita bukan hanya untuk saat ini, yang kita sebut kehidupan, tetapi
untuk seluruh waktu; dan bahaya yang sekarang tampak mengerikan jika seseorang
harus mengabaikannya. Karena jika kematian adalah ke-terhantar-an dari setiap
hal, ia akan menjadi keuntungan yang besar untuk yang jahat, ketika mereka
mati, kepada dihantarkan di saat yang sama dari badan, dan dari
keburukan-keburukan mereka bersama-sama dengan jiwa. Tetapi sekarang, sejak ia
tampak abadi, ia tidak bisa memiliki pelarian dari keburukan-keburukan, juga
tidak keamanan, kecuali dengan menjadi sebaik dan sebijaksana yang mungkin. Karena
jiwa pergi kepada Hades memiliki bukan apa-apa selain ajaran dan pendidikan,
yang dikatakan menjadi keberuntungan atau kerugian yang paling besar kepada
yang mati, di saat permulaan dari perjalanannya ke sana. Karena, dengan
demikian, dikatakan bahwa daimon masing-masing orang yang ditugaskan kepadanya
sementara ia hidup, ketika ia mati mengantarnya kepada suatu tempat, tempat
mereka yang dikumpulkan bersama-sama harus menerima keputusan, dan kemudian
melanjutkan ke Hades dengan penuntun yang telah diperintahkan menuntun mereka
dari sana ke sana. Tetapi setelah menerima ganjaran-ganjaran mereka di sana,
dan setelah tinggal selama yang ditentukan, penuntun lain akan membawa mereka
kembali ke sini, setelah peredaran waktu yang banyak dan panjang. Perjalanan
tersebut, kemudian, bukanlah sebagaimana yang Telephus dari Æschylus
menggambarkannya, karena ia mengatakan bahwa sebuah jalur yang sederhana
menuntun kepada Hades; tetapi ia tampak kepadaku tidak sederhana juga tidak
satu, karena akan tidak diperlukan penuntun-penuntun, juga tidak siapapun akan
tersesat, jika hanya ada satu. Tetapi sekarang ia tampak kepadaku memiliki
banyak bagian dan cabang; dan ini aku perkirakan dari acara-acara pemakaman
kita. Jiwa yang tertuntun-baik dan bijaksana, kemudian, kedua-duanya mengikuti,
dan tidak jahil kepada keadaannya yang kini; tetapi yang melalui gairah-gairah
melekat kepada badan, sebagaimana aku katakan sebelumnya, setelah terbingungkan
secara suka tentangnya untuk waktu yang panjang, dan tentang tempatnya yang
bisa dilihat, setelah ketahanan besar dan penderitaan yang besar, secara
dipaksa dan dengan kesukaran yang besar dituntun oleh daimon yang ditugaskan.
Dan ketika ia tiba di tempat yang lainnya berada, tidak murni dan telah
melakukan apapun hal semacam penguburan para pembunuh yang tidak benar atau
pekerjaan-pekerjaan lain yang serupa; yang adalah memperhatikan sama kepada
hal-hal ini, dan adalah sikap-sikap dari jiwa-jiwa yang memiliki perhatian yang
sama, setiap orang menghindarinya dan menjauh darinya, dan akan tidak menjadi
teman-seperjalanan-nya juga tidak penuntunnya; tetapi ia bergentayangan,
tertekan oleh setiap macam keadaan tanpa pertolongan, sampai berlalu beberapa
waktu; dan ketika ini telah terlengkapi, ia dibawa, dari keperluan, kepada
sebuah tempat tinggal yang sesuai kepadanya. Tetapi jiwa yang melewati
kehidupan dengan kemurnian dan ke-bersahaja-an, setelah memeroleh para dewa
sebagai teman-seperjalanan-nya, masing-masing tinggal di dalam tempat yang
pantas kepadanya. Ada, memang, banyak tempat dan tempat yang indah di bumi, dan
kebesaran bumi an pertimbangan-pertimbangan yang lain, bukanlah sebagaimana
dianggap oleh mereka yang biasa membicarakan bumi, sebagaimana aku telah teryakinkan
oleh orang tertentu.”
Kepada ini Simmias berkata, “Bagaimana
maksudmu, Socrates? Karena aku, juga, telah mendengar banyak hal tentang bumi, bukan,
bagaimanapun, hal-hal yang telah mendapatkan percayamu itu. Aku akan, karena
itu, secara senang mendengarkan mereka.”
“Memang, Simmias, seni dari Glaucus tidak
tampak kepadaku tersediakan untuk menceritakan hal-hal ini. Bahwa mereka adalah
benar, bagaimanapun, tampak kepadaku lebih daripada yang seni dari Glaucus bisa
buktikan, dan, di samping itu, aku munngkin tidak mampu melakukannya; dan walaupun
aku memiliki keahlian tersebut, menurutku hidupku, Simmias, akan berakhir
sebelum pembicaraan tersebut selesai. Bagaimanapun, tidak ada apapun yang
mencegahku dari menceritakan keyakinanku tentang bentuk bumi dan daerah-daerah
di dalamnya.”
“Tetapi itu akan cukup,” kata Simmias.
“Aku teryakinkan, kemudian,” kata ia, “di
dalam tempat pertama, bahwa bumi adalah di tengah-tengah langit, dan bulat, ia
tidak memerlukan udara, juga tidak kekuatan lain yang serupa, untuk mencegahnya
dari terjatuh, tetapi bahwa keserupaan langit kepada diri mereka sendiri di
setiap sisi, dan keseimbangan dari bumi sendiri; cukup untuk mendukungnya;
untuk suatu hal di dalam keadaan seimbang ketika diletakkan di tengah sesuatu
yang menekannya di semua sisi tidak bisa cenderung lebih atau kurang di sisi
manapun, tetapi, terpengaruh secara sama di semua sisi, bertetapan tidak
bergerak. Di dalam tempat pertama, kemudian,” ia berkata, “aku teryakinkan kepada
ini.”
“Dan sangat secara baik demikian,” kata
Simmias.
“Lebih lanjut,” katanya, “ia sangat besar,
dan kita yang menghuni suatu bagian kecil darinya, dari sungai Phasis samapai
tiang-tiang Hercules, tinggal di laut, seperti semut atau katak di rawa; dan
bahwa banyak yang lain di suatu tempat tinggal di banyak tempat yang serupa, karena
ada di setiap tempat di seputar bumi banyak lubang dari bentuk dan ukuran yang
beragam yang ke dalamnya ada sebuah pertemuan dari air, kabut dan udara. Tetapi
bahwa bumi itu sendiri, murni, terletak di langit yang murni, yang
bintang-bintang ada di dalamnya, dan yang palig banyak orang terbiasa berbicara
tentang hal-hal semacam demikian sebut sebagai ether; yang darinya hal-hal ini adalah endapan, dan secara tetap
mengalir ke dalam bagian-bagian lubang dari bumi. Kita
jahil, kemudian, bahwa kita tinggal di dalam lubang-lubangnya, dan membayangkan
apa yang kita huni sebagai bagian atas dari bumi, seperti jika siapapun tinggal
di dasar laut harus berpikir bahwa laut adalah langit; tetapi melalui
kelambanan dan kelemahan, tidak pernah bisa mencapai permukaan laut; juga
tidak, timbul dan terangkat dari laut kepada daerah ini, melihat betapa lebih
murni dan lebih indah daripada tempatnya berada, juga tidak mendengarnya dari
siapapun yang lain yang telah melihatnya. Ini, kemudian, adalah keadaan kita;
untuk, tinggal di suatu lubang dari bumi, kita berpikir bahwa kita tinggal di
permukaannya, dan menyebut udara langit, seolah-olah bintang-bintang bergerak
melalui ini, menjadi langit itu sendiri. Tetapi ini karena, oleh alasan
kelambanan dan kelemahan kita, kita tidak mampu mencapai puncak udara. Sejak,
jika siapapun bisa tiba di puncaknya, atau menjadi bersayap, bisa terbang ke
sana, memandang apa yang di sini, sehingga siapapun akan memandang hal-hal di
sana, dan jika alamiahnya mampu menahan perenungan tersebut, ia akan mengetahui
bahwa itu adalah langit yang sejati, dan cahaya yang sejati, dan bumi yang
sejati. Karena bumi dan batu-batu ini, dan semua daerah di sini, adalah memudar
dan terkikis, seperti hal-hal di dalam laut oleh kegaraman; karena tidak ada
hal yang bernilai tumbuh di dalam laut, juga tidak, di dalam sebuah kata, ia
mengandung apapun yang sempurna; tetapi ada gua-gua dan pasir, dan lumpur yang
berlimpah, dan daki, di dalam bagian apapun dari laut ada tanah, juga tidak
mereka sama sekali berharga untuk dibandingkan dengan hal-hal indah yang
bersama kita. Tetapi, di lain pihak, hal-hal di bagian atas dari bumi akan
tampak jauh melebihi hal-hal yang bersama kita. Karena, jika kita mungkin
mengungkapkan dongeng yang indah, ia adalah berharga baik untuk didengarkan,
Simmias, hal-hal macam apa yang ada di bumi di bawah langit.”
“Memang, Socrates,” kata Simmias, “kita harus
sangat senang untuk mendengarkan dongeng itu.”
“Pertama-tama dari semuanya, kemudian, temanku,”
ia melanjutkan, “bumi ini, jika siapapun melihatnya dari atas, dikatakan
memiliki penampakan dari bola-bola yang tertutupi dengan dua belas lembaran
kulit yang berbeda-beda, beraneka ragam dan terbedakan dengan warna-warna, dari
warna-warna yang ditemukan di sini, dan jauh para pelukis pergunakan, adalah,
sebagaimana ia, salinan-salinan. Tetapi keseluruhan bumi adalah tersusun dari
yang demikian, dan jauh lebih baik dan murni daripada ini; satu bagian adalah
ungu, dan luar biasa indah, sebagian berwarna emas, dan sebagian berwarna
putih, lebih putih daripada kapur atau salju, dan, di dalam cara yang serupa,
tersusun dari warna-warna lain, dan lebih banyak dan lebih indah daripada yang
siapapun pernah pandang. Dan bagian-bagian lubang dari bumi tersebut, walaupun
terisi dengan air dan udara, memperlihatkan sebuah warna yang pasti, bersinar
di antara ragam dari warna-warna yang lain, sehingga satu bagian secara
berlanjutan beragam menghadirkan dirinya sendiri kepada pemandangan. Di dalam
bumi ini, sedemikian, semua hal yang tumbuh, tumbuh di dalam sebuah takaran
yang sesuai kepada alamiahnya—pohon-pohon, bunga-bunga dan buah-buah; dan,
lagi, di dalam cara yang serupa, gunung-gunung dan batu-batu yang dimilikinya,
di dalam takaran yang sama, kelembutan dan ke-tembus-pandang-an, dan
warna-warna yang indah. Kenyataannya, batu-batu yang dikenal di sini sangat
berharga tinggi, seperti sardine-stones,
jaspers, zamrud, dan sebagainya,
hanyalah serpihan-serpihan dari sana. Tetapi di sana, tidak ada hal yang ada
yang bukan dari bersifat ini, dan bahkan lebih indah daripada ini. Tetapi
alasan dari ini adalah, karena batu-batu di sana adalah murni, dan tidak
termakan dan pudar, seperti yang di sini, oleh karat dan kegaraman, yang
mengalir turun ke sini bersama-sama, dan yang menghasilkan perubahan bentuk dan
penyakit di dalam batu-batu dan bumi, dan di dalam hal-hal yang lain, bahkan
binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan. Tetapi bumi itu dihiasi dengan semua
ini, dan, terlebih lagi, dengan emas dan perak, dan semua hal yang dari macam
tersebut: untuk mereka adalah secara alamiah menyolok, banyak dan besar, dan di
dalam semua bagian dari bumi; sehingga untuk memandangnya adalah sebuah
pemandangan untuk yang terberkati. Ada juga banyak binatang dan manusia di
sana, beberapa tinggal di bumi-tengah, yang lainnya di udara, sebagaimana kita
lakukan tentang laut, dan yang lainnya di pulau-pulau yang udara mengalir
mengelilinginya, dan yang lebih mendekati benua; dan di dalam sebuah kata, apa
yang air dan laut kepada kita, untuk keperluan kita, adalah udara kepada
mereka, dan udara kita, adalah ether
mereka. Tetapi musim-musim mereka adalah dari suatu macam sifat bahwa mereka
adalah bebas dari peyakit, dan hidup untuk waktu yang lebih panjang daripada
mereka yang di sini, dan melampaui kita di dalam penglihatan, pendengaran, dan
penciuman, dan semua hal semacam ini, sebanyak udara melampaui air, dan ether
udara, di dalam kemurinan. Terlebih lagi, mereka memiliki tempat tinggal dan
kuil-kuil para dewa, yang di dalamnya para dewa benar-benar tinggal, dan
suara-suara dan oracles, dan penglihatan-penglihatan
yang bisa dirasakan dari para dewa, dan hubungan-hubungan yang serupa demikian
dengan mereka; matahari, juga, dan bulan, dan bintang-bintang, terlihat oleh
mereka sebagai sebenar-benarnya mereka, dan kebahagiaan mereka di dalam
pertimbangan-pertimbangan lain adalah berhubungan dengan hal-hal ini.”
“Semacam demikianlah alamiah bumi, dan
bagian-bagian yang mengitarinya; tetapi di seputar bumi, di dalam gua-guanya, ada
banyak tempat, beberapa lebih dalam dan lebih terbuka daripada yang kita
tempati; tetapi yang lainnya yang lebih dalam memiliki jurang yang lebih kurang
daripada daerah kita, dan yang lainnya lebih dangkal di dalam kedalamannya
daripada di sini, dan lebih lapang. Tetapi semua ini di dalam banyak tempat
berlubang-lubang satu ke dalam yang lain di bawah bumi, beberapa dengan
kanal-kanal yang lebih sempit dan beberapa lebih lebar, dan memiliki jalan
tembus, yang dengannya sejumlah besar air mengalir dari satu ke dalam yang lain,
seolah-olah ke dalam lembah-lembah, dan ada sekat-sekat yang sangat banyak dari
sungai-sungai yang selalu mengalir di bawah bumi, kedua-duanya air panas dan
dingin, dan sejumlah besar api, dan sungai-sungai api yang perkasa, dan banyak
lumpur cair, beberapa lebih murni, dan beberapa lebih berlumpur, seperti di
Sicily ada sungai-sungai lumpur yang mengalir sebelum lava, dan lava itu
sendiri, dan dari beberapa tempat ini adalah terisi, berdasarkan luapan dari
waktu ke waktu datang ke masing-masing mereka. Tetapi semua ini bergerak naik
dan turun, sebagaimana ia, oleh suatu goyangan yang ada di dalam bumi. Dan
goyangan ini terjadi dari suatu penyebab alamiah semacam ini; satu dari
lubang-lubang bumi adalah sangat besar, dan berlubang-lubang melalui keseluruhan
bumi, dan adalah yang Homer bicarakan, sangat jauh, tempat jurang terdalam di
bawah bumi, yang di mana-mana kedua-duanya ia dan banyak penyair yang lain
sebut sebagai Tartarus. Ke dalam lubang ini semua sungai mengalir bersama-sama,
dan darinya mengalir keluar kembali, tetapi secara mereka mendapatkan sifat
mereka dari bumi yang mereka lalui. Dan alasan mengapa semua arus mengalir
keluar dari sana, dan mengalir ke dalamnya, adalah karena cairan ini tidak
memiliki dasar juga tidak pusat. Karena itu, ia bergoyang dan bergerak naik dan
turun, dan udara dan angin di sekitarnya melakukan sama; karena mereka
menemaninya kedua-duanya ketika ia memaksa masuk kepada bagian-bagian bumi itu,
dan ketika kepada hal-hal ini. Dan sebagaimana di dalam pernapasan aliran nafas
secara berlanjutan dihembuskan keluar dan ditarik masuk, demikianlah angin
bergoyang bersama cairan menyebabkan suatu gemuruh dan angin yang tidak bisa
dilawan ketika ia masuk dan keluar. Ketika, karena itu, air mendesak turun ke
tempat yang kita sebut sebagai bagian yang lebih rendah, ia mengalir melalui
bumi ke dalam aliran-aliran di sana, dan mengisi mereka, sama seperti
orang-orang memompa naik air. Tetapi ketika lagi ia meninggalkan daerah-daerah
itu dan mendesak ke sini, ia kembali mengisi sungai-sungai di sini; dan ini
ketika terisi, mengalir melalui kanal-kanal dan melalui bumi, dan, setelah
beberapa kali mencapai beberapa tempat yang kepadanya mereka melakukan
perjalanan, mereka membuat lautan-lautan, danau-danau, sungai-sungai, dan air
mancur-air mancur. Kemudian, surut kembali dari sana ke bawah bumi, beberapa
dari mereka telah mengelilingi lebih panjang dan lebih banyak tempat, dan yang
lainnya lebih sedikit dan lebih pendek, mereka kembali menyalurkan diri mereka
sendiri ke dalam Tartarus—beberapa sangat lebih rendah daripada saat mereka
naik, yang lainnya hanya sedikit demikian; tetapi semua mereka mengalir ke
dalam lagi di bawah titik yang mereka keluar mengalir darinya. Dan beberapa
keluar secara langsung berlawanan dengan tempat mereka mengalir masuk, yang
lainnya di sisi yang sama. Ada juga beberapa yang, setelah bersama-sama
melintas di dalam sebuah lingkaran, melipat diri mereka sendiri sekali atau
beberapa kali memutari bumi, seperti ular-ular, ketika mereka turun serendah
mungkin, menyalurkan diri mereka kembali; dan mungkin untuk mereka turun di
sisi yang jauh sebagaimana yang di tengah, tetapi tidak melampui; untuk di
dalam setiap arah ada sebuah acclivity kepada aliran-aliran di kedua jalan.”
“Sekarang, ada banyak aliran besar dan beragam
yang lainnya; tetapi di antara sejumlah besar ini ada empat jenis aliran; yang
darinya yang paling besar, dan yang mengalir paling luar memutari bumi,
dinamakan lautan; tetapi secara langsung berlawanan ini, dan mengalir di dalam
arah yang berkebalikan, adalah Acheron, yang mengalir melalui tempat-tempat
penghukuman, dan, terlebih lagi, melintas di bawah bumi, mencapai danau
Acherusian, tempat tiba jiwa-jiwa dari paling banyak orang mati; dan, setelah
tinggal beberapa lama di sana untuk rentang waktu yang ditentukan, beberapa
lebih lama dan beberapa lebih singkat, kembali dikirim ke dalam peranakan
binatang-binatang. Sungai ke tiga mengalir di jalan tengah di antara ini, dan,
dekat sumbernya, jatuh ke dalam daerah yang sangat luas, terbakar dengan banyak
api, dan membentuk sebuah danau yang lebih besar daripada lautan kita, mendidih
dengan air dan lumpur. Dari sana ia melanjutkan di dalam sebuah lingkaran,
bergelora dan berlumpur, dan, melipat dirinya sendiri mengitarinya, mencapai
kedua-duanya tempat-tempat lain dan danau Acherusian yang jauh, tetapi tidak
bercampur dengan airnya; tetapi meliukkan dirinya sendiri seringkali di bawah
bumi, ia mengalirkan dirinya sendiri ke dalam bagian yang lebih rendah dari
Tartarus. Dan ini adalah sungai yang mereka sebut sebagai Pyriphlegethon, yang
aliran-alirannya yang terbakar memancarkan serpihan-serpihan yang tidak
terputus di bagian apapun dari bumi yang mereka lalui. Berlawanan kepada ini,
lagi, sungai ke empat pertama-tama jatuh ke dalam sebuah tempat yang mengerikan
dan liar, sebagaimana ia dikatakan, memiliki seluruh warnanya seperti cyanus;
ini mereka sebut sebagai Stygian, dan danau yang sungai tersebut bentuk dari
alirannya, Styx. Sungai ini, setelah jatuh di sini, dan menerima kekuatan besar
di dalam air, surut ke bawah bumi, melanjutkan, melipat dirinya sendiri
memutar, di dalam aliran yang berlawanan kepada Pyriphlegethon, dan bertemu
dengannya di dalam danau Acherusian dari, sebuah arah yang berkebalikan. Juga
tidak air dari sungai ini bercampur dengan manapun yang lain; tetapi ia, juga,
setelah memutar di dalam sebuah lingkaran, mengalirkan dirinya sendiri ke dalam
Tartarus, berlawanan kepada Pyriphlegethon. Namanya, sebagaimana para penyair
katakan, adalah Cocytus.”
“Hal-hal ini tersusun demikian, ketika yang
mati tiba di tempat daimon mereka menuntun kepadanya, pertama-tama dari
semuanya mereka dihakimi, mereka yang hidup baik dan saleh, juga mereka yang
tidak. Dan mereka yang tampak melewati macam pertengahan dari kehidupan,
melanjutkan ke Acheron, dan berangkat di dalam kapal-kapal yang mereka miliki,
di atas ini mereka tiba di danau, dan di sana tinggal; dan ketika mereka telah
termurnikan, dan telah menderita hukuman-hukuman untuk kekeliruan-kekeliruan
yang mereka mungkin telah lakukan, mereka dibebaskan, dan masing-masing
menerima hadiah dari perbuatan baik-perbuatan baik mereka, berdasarkan
penghakiman mereka. Tetapi mereka yang tampak tidak bisa disembuhkan, melalui
magnitude dari pelanggaran-pelanggaran mereka, dari telah melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang besar dan banyak, atau banyak pembunuhan yang
tidak adil dan tidak sesuai hukum, atau kejahatan-kejahatan serupa yang lain,
ini nasib yang pantas dilemparkan ke dalam Tartarus, dari sana mereka tidak
pernah kembali. Tetapi mereka yang tampak bersalah dari pelanggaran-pelanggaran
yang tidak terlalu besar dan bisa disembuhkan—semacam mereka yang, melalui
marah, melakukan kekerasan melawan ayah atau ibu, dan telah melalui sisa
kehidupan mereka di dalam sebuah keadaan penyesalan, atau mereka yang melakukan
pembunuhan-pembunuhan di dalam cara yang serupa—ini harus, secara perlu, jatuh
ke dalam Tartarus. Tetapi setelah mereka jatuh, dan di sana untuk satu tahun,
ombak membawa pergi mereka dari sana, pembunuh-pembunuh ke dalam Cocytus,
tetapi yang membunuh ayah dan yang membunuh ibu ke dalam Pyriphlegethon. Tetapi
ketika, dibawa, mereka tiba di danau Acherusian, di sana mereka berteriak dan
memohon, beberapa yang mereka dahulu bantai, yang lainnya yang mereka dahulu
lukai, dan meminta kepada mereka, mereka meminta dan mohon kepada mereka supaya
keluar ke dalam danau, dan untuk menerima mereka, dan jika mereka membuat
mereka yakin, mereka keluar, dan dibebaskan dari penderitaan mereka, tetapi
jika tidak, mereka dibawa kembali ke dalam Tartarus, dan dari sana lagi kepada
sungai-sungai. Dan mereka tidak berhenti dari menderita ini sampai mereka
membuat yakin mereka yang telah mereka lukai, untuk keputusan ini dijatuhkan
kepada mereka oleh para hakim. Tetapi mereka yang didapati
menjalani sebuah kehidupan yang secara nyata suci, ini adalah mereka yang,
dibebaskan dan pergi banyak dari daerah-daerah bumi di dalam bumi ini seperti
dari sebuah penjara, tiba di tempat tinggal yang murni di atas, dan tinggal di
bagian-bagian atas dari bumi. Dan di antara ini, mereka yang secara cukup
memurnikan diri mereka sendiri oleh filsafat harus hidup tanpa badan-badan,
melalui keseluruhan waktu masa depan, dan harus tiba di tempat tinggal-tempat
tingal yang bahkan lebih indah daripada ini yang tidak mudah digambarkan, juga
saat ini tidak ada waktu yang cukup untuk tujuan ini.”
“Tetapi, demi hal-hal yang kita telah
uraikan, kita harus menggunakan setiap usaha, Simmias, sebagai memeroleh kebaikan
dan kebijaksanaan di dalam kehidupan ini, karena hadiah tersebut terhormat, dan
harapan yang besar.”
“Untuk menegaskan secara baik, memang, bahwa
hal-hal ini adalah benar-benar sebagaimana aku menggambarkan mereka tidak
menjadi seorang yang waras. Itu, bagaimanapun, juga ini, atau sesuatu yang lain
dari macam demikian, menempati dengan pertimbangan kepada jiwa-jiwa kita dan
tempat tinggal-tempat tinggal mereka, sejak jiwa kita tentu saja abadi, ini
tampak kepadaku paling sesuai untuk dipercayai, dan percobaan berbahaya yang
berharga untuk seseorang yang percaya di dalam kenyataannya; untuk percobaan berbahaya tersebut adalah
terhormat, dan benar untuk memikat diri kita dengan hal-hal demikian,
sebagaimana dengan mantera-mantera pemikat, alasan yang untuknya aku
memanjangkan ceritaku kepada suatu rentang yang demikian. Menyangkut hal-hal ini,
kemudian, seseorang harus yakin tentang jiwanya yang, sepanjang kehidupan ini,
telah tidak menghargai semua kenikmatan dan perhiasan badan seolah-olah sebagai
bagian asing dari alamiahnya, dan yang, setelah berpikir bahwa mereka melakukan
lebih banyak keburukan daripada kebaikan, harus secara bersungguh-sungguh
mengerjakan dirinya sendiri kepada perolehan pengetahuan, dan yang, telah
menghiasi jiwanya bukan dengan sebuah yang asing, tetapi perhiasan yang pantas
untuknya—kesahajaan, keadilan, ketabahan, kemerdekaan, dan
kebenaran—demikian menunggu perjalanannya kepada Hades, sebagai seseorang yang
siap beragkat kapanpun nasib harus memanggilnya.”
“Kalian, kemudian,” ia melanjutkan, “Simmias
dan Cebes, dan keseluruhan, akan masing-masing berangkat di masa depan, tetapi
sekarang nasib memanggilku, sebagaimana seorang penulis tragedi akan katakan,
dan telah dekat waktuku untuk membawa diriku mandi, untuk ia tampak kepadaku
lebih baik meminum racun setelah aku memandikan diriku sendiri, dan tidak
merepotkan para perempuan dengan mencuci mayatku.”
Ketika ia telah berbicara demikian, Crito
berkata, “Biarkanlah ia demikian, Socrates, tetapi perintah-perintah apa yang
kamu miliki untuk diberikan kepada orang-orang ini atau kepadaku,
mempertimbangkan anak-anakmu, atau persoalan apapun yang lain, di dalam
memenuhi urusan yang kami paling bisa membantumu?”
“Apa yang aku selalu katakan, Crito,” ia
menjawab, “tidak ada hal apapun yang baru, bahwa dengan memperhatikan dirimu
sendiri kamu akan membantu kedua-duanya aku dan milikku, dan dirimu sendiri,
apapun yang kamu lakukan, walau sekarang kamu tidak menjanjikannya, dan jika
kamu mengabaikan dirimu sendiri, dan akan tidak hidup, sebagaimana ia, di dalam
jejak langkah dari apa yang secara terdahulu terkatakan, walau kamu banyak
berjanji di saat ini, dan secara bersungguh-sungguh, kamu akan tidak melakukan
kebaikan sama sekali.”
“Kami akan berusaha melakukan demikian,” ia
berkata. “Tetapi bagaimana kami harus menguburmu?”
“Se-suka-mu saja,” ia berkata, “jika kamu
bisa menangkapku, dan aku tidak membebaskan diri darimu.” Dan di saat yang sama
tersenyum secara lembut, dan memandang mengitari kami, ia berkata, “Aku tidak
bisa membuat yakin Crito, teman-temanku, bahwa aku adalah Socrates yang
sekarang berbincang-bincang dengan kalian, dan yang mengatur masing-masing
bagian dari perbincangan; tetapi ia berpikir bahwa aku adalah ia yang ia akan
segera lihat mati, dan menanyakan bagaimana ia harus menguburku. Tetapi yang
aku kemukakan sejak beberapa waktu yang panjang, bahwa ketika aku telah meminum
racun aku harus tidak lagi tinggal bersama kalian, tetapi harus berangkat
kepada suatu keadaan yang berbahagia yang terberkati, ini aku lihat telah aku
kemukakan kepadanya di dalam kesia-siaan, walau aku bermaksud di saat yang sama
menghibur kedua-duanya kalian dan diriku sendiri. Jadilah kalian, kemudian,
jaminan-jaminanku kepada Crito,” ia berkata, “di dalam kewajiban yang
berkebalikan kepada yang ia buat kepada para juri (karena ia memilih bahwa aku
harus tinggal); tetapi kamu lakukanlah menjamin bahwa, ketika aku mati, aku
harus tidak tinggal, tetapi harus berangkat, supaya Crito mungkin secara mudah
menanggungnya; dan, ketika ia melihat mayatku dibakar ataupun dikuburkan,
mungkin tidak bersedih untukku, seolah-olah jika aku menderita dari suatu hal
yang mengerikan; juga tidak berkata di pemakamanku bahwa Socrates dibaringkan,
atau dibawa pergi, atau dikuburkan. Karena yakinlah,” ia berkata, “Crito yang
sangat baik, bahwa berbicara secara tidak pantas adalah bukan hanya bisa dicela
sebagai hal tersebut sendiri, tetapi juga menyebabkan suatu luka kepada
jiwa-jiwa kita. Kamu harus memiliki keberanian yang baik, kemudian, dan
mengatakan bahwa kamu akan menguburkan mayatku, dan menguburkannya di dalam
semacam cara sebagaimana yang menyenangkanmu, dan sebagaimana kamu pikir paling
pantas kepada hukum-hukum kita.”
Ketika ia telah berkata demikian, ia bangkit,
dan pergi ke dalam sebuah kamar untuk mandi, dan Crito mengikutinya, tetapi ia
mengarahkan kami untuk menunggunya. Kami menunggu, karena itu,
berbincang-bincang di antara kami sendiri tentang apa yang telah terkatakan,
dan mempertimbangkannya lagi, dan kadang-kadang berbicara tentang kemalangan
kami, betapa dahsyat ia kepada kami,
secara tulus berpikir bahwa, seperti mereka yang terhalau dari seorang ayah,
kami harus melewati sisa kehidupan kami sebagai anak-anak yatim. Ketika ia
telah mandi, dan anak-anaknya dibawa kepadanya (untuk ia memiliki dua anak yang
masih kecil dan satu yang dewasa), dan para perempuan dari keluarganya telah
datang, kami berbincang-bincang dengan mereka di dalam kehadiran Crito, dan
memberikan mereka semacam perintah-perintah yang ia harapkan, ia mengarahkan
para perempuan dan anak-anak untuk pergi, dan kemudian kembali kepada kami. Dan
telah dekat matahari terbenam; karena ia menghabiskan beberapa waktu di dalam.
Ketika ia telah datang dari mandi ia duduk,
dan tidak banyak berbicara sejak itu; kemudian petugas dari Sebelas masuk, dan, berdiri di dekatnya,
berkata, “Socrates, aku harus tidak menemukan pelanggaran denganmu yang aku
dapati di orang-orang yang lain. Mereka marah kepadaku, dan mengutukku, ketika,
oleh perintah para archon, aku meminta mereka meminum racun. Tetapi kamu, di
semua kesempatan di sepanjang waktumu di sini, aku temukan paling terhormat,
penurut, dan orang yang baik dari semua yang pernah datang ke dalam tempat ini;
dan, karena itu, aku sekarang yakin bahwa kamu akan tidak marah denganku (karena
kamu mengetahui siapa yang harus disalahkan), tetapi dengan mereka. Sekarang, kemudian,
karena kamu mengetahui bahwa aku datang untuk memberitahukanmu, selamat
tinggal, dan berusahalah menanggung hal yang tidak bisa dihindari semudah yang
mungkin.” Dan di saat yang sama, berurai air mata, ia berbalik dan pergi.
Socrates, memandanginya, dan berkata, “Dan
engkau, juga, selamat tinggal. Kami akan melakukan sebagaimana engkau
mengarahkan.” Di saat yang sama berbalik kepada kami, ia berkata, “Betapa
terhormat orang tersebut! Di sepanjang keseluruhan waktuku di sini ia telah
mengunjungiku, dan berbincang-bincang denganku beberapa kali, dan terbukti
sebagai orang yang paling bisa dihargai; dan sekarang betapa murah-hati ia
menangis untukku! Tetapi mari, Crito, biarkan kita mematuhinya, dan biarkan
seseorang membawakan racun tersebut; jika ia telah dihaluskan; tetapi jika
tidak, biarkan orang tersebut menghaluskannya.”
Kemudian Crito berkata, “Tetapi aku pikir,
Socrates, matahari masih di pegunungan, dan belum terbenam. Di samping itu, aku
mengetahui bahwa orang-orang yang lain meminum racun sangat terlambat, setelah
diberitahukan kepada mereka, dan makan-malam dan minum secara bebas, dan
beberapa bahkan menikmati hal-hal yang mereka cintai. Janganlah terburu-buru, karena
masih ada waktu.”
Kepada ini Socrates menjawab, “Orang-orang
yang kamu sebutkan ini, Crito, melakukan hal-hal ini dengan alasan yang baik, karena
mereka berpikir mereka mendapatkan sesuatu dengan melakukan demikian. Dan aku,
juga, dengan alasan yang baik, harus tidak melakukan demikian, karena aku
berpikir bahwa aku tidak mendapatkan apa-apa dengan minum sedikit lebih lambat,
kecuali menjadi konyol kepada diriku sendiri, di dalam menjadi sangat menyukai
kehidupan, dan menghemat darinya, ketika tidak ada apa-apa yang tersisa.
Pergilah kemudian,” ia berkata, “patuhi, dan jangan bertahan.”
Crito, setelah mendengar ini, mengangguk
kepada anak laki-laki yang berdiri dekat. Dan anak laki-laki tersebut, setelah
pergi dan tinggal beberapa lama, datang, membawa bersamanya orang yang akan
memberikan racun, yang membawa racun yang telah halus di dalam sebuah piala.
Dan Socrates, saat melihat orang tersebut,
berkata, “Baiklah, temanku yang baik, sejak kamu memiliki keahlian di dalam
persoalan-persoalan ini, apa yang aku harus lakukan?”
“Tidak ada apapun yang lain,” ia menjawab,
“kecuali, ketika kamu telah meminumnya, berjalanlah sampai ada berat di
kaki-kakimu; kemudian berbaringlah: dengan demikian ia akan melakukan
tujuannya.” Dan di saat yang sama ia memberikan piala tersebut kepada Socrates.
Dan setelah menerimanya secara bergembira, Echecrates, ia tidak gemetar, juga
tidak berubah sama sekali di dalam warna ataupun rona wajahnya, tetapi, seperti
ia mengingini, melihat secara cepat ke orang tersebut, berkata, “Apa yang kamu
katakan dari racun ini, jika seseorang mempertimbangkannya sebagai minuman
persembahan, apakah sesuai hukum atau tidak?”
“Kami hanya mencampurkan sebanyak demikian,
Socrates,” ia berkata, “yang kami pikir cukup untuk diminum.”
“Aku memahamimu,” ia berkata, “tetapi ia
tentu saja kedua-duanya sesuai hukum dan benar untuk berdoa kepada para dewa,
bahwa keberangkatanku dari sini ke sana mungkin berbahagia; yang, karena itu,
aku berdoa, dan sehingga mungkin ia terjadi.” Dan setelah mengatakan ini, ia
meminumnya habis secara bersedia dan tenang.
Sejauh demikian, paling banyak dari kami
dengan kesukaran mampu menahan diri kami sendiri dari menangis; tetapi ketika
kami melihatnya minum, dan menyelesaikan tegukan tersebut, kami tidak bisa
lebih lama melakukan demikian; tetapi, termasuk diriku sendiri, air mata datang
di dalam arus yang penuh, sehingga, menutupi wajahku, aku menangis untuk diriku
sendiri; karena aku bukan menangis untuknya, tetapi untuk nasibku sendiri, di
dalam dihalau dari semacam teman yang demikian. Tetapi Crito, bahkan sebelum
aku, ketika ia tidak bisa menahan air matanya, ia berdiri. Tetapi Apollodorus,
bahkan sebelum ini, tidak berhenti menangis; dan kemudian, jatuh ke dalam
kesedihan yang mendalam, menangis dan meratap, ia mencabik-cabik jantung setiap
orang yang hadir, kecuali Socrates sendiri. Tetapi ia berkata, “Apa yang kamu
lakukan, teman-temanku yang terpuji? Aku, terutama untuk alasan ini, menyuruh
pergi para perempuan, supaya mereka mungkin tidak melakukan kekonyolan semacam
ini. Karena aku mendengar bahwa baik untuk mati dengan pertanda-pertanda yang
baik. Tenanglah, karena itu, tahanlah.”
Ketika kami telah mendengar ini, kami menjadi
malu, dan menahan air mata kami. Tetapi ia, setelah berjalan, ketika ia berkata
bahwa kaki-kakinya menjadi berat, berbaring di punggungnya; untuk orang
tersebut telah mengarahkannya demikian. Dan, di saat yang sama, ia yang
memberikan racun memegangnya, setelah rentang waktu yang singkat, memeriksa
kaki dan betisnya; dan kemudian, setelah menekan keras kakinya, ia menanyakan
jika ia merasakannya; ia berkata bahwa tidak. Dan setelah ini menekan pahanya;
dan, demikian lebih tinggi, ia menunjukkan kepada kami bahwa ia menjadi dingin
dan kaku. Kemudian Socrates menyentuh dirinya sendiri dan berkata bahwa ketika
racun tersebut mencapai jantungnya ia harus kemudian berangkat.
Bagian bawah perutnya telah hampir dingin;
ketika, membuka selubung dirinya, karena ia telah diselubungi, ia berkata, dan
mereka adalah kata-katanya yang terakhir, “Crito, kita berhutang seekor ayam
jantan kepada Æsculapius, bayarlah ia, karena itu, dan jangan melalaikannya.”
“Ia akan dilakukan,” kata Crito, “tetapi
pertimbangkan jika kamu memiliki hal apapun yang lain untuk dikatakan.”
Kepada pertanyaan ini ia tidak membuat
jawaban; tetapi, tidak lama setelahnya, ia memberikan sebuah gerakan kejang,
dan orang tersebut menyelubunginya, dan matanya terbuka; dan Crito, melihatnya,
menutup mulut dan matanya.
Ini, Echecrates, adalah akhir dari teman kita.
Seorang laki-laki, sebagaimana mungkin kita katakan, yang paling baik dari
semuanya dari masanya yang kita kenal, dan terlebih lagi, yang paling bijaksana
dan adil.
Akhir Phaedo.
No comments:
Post a Comment