Tuesday, 27 March 2012

Phaedo

Oleh Plato



Echecrates: Apakah kamu hadir secara pribadi, Phædo, bersama Socrates di hari ketika ia meminum racun di dalam penjara, atau apakah kamu mendengar sebuah cerita tentang itu dari seseorang yang lain?

Phædo: Aku hadir di sana, Echecrates.

Echecrates: Apa, kemudian, yang ia katakan sebelum ia mati, dan bagaimana ia mati? aku harus suka mendengarnya: karena sukar ada warga-kota Phlius yang pernah mengunjungi Athena sekarang, juga tidak ada orang asing datang dari sana, yang mampu memberikan kepada kami kisah yang jelas tentang kejadian tersebut, kecuali bahwa ia mati meminum racun, tetapi tidak memberitahukan lebih banyak.

Phædo: Dan apakah kamu bahkan tidak mendengar pengadilan tersebut, dan bagaimana ia berlangsung?


Echecrates: Ya, seseorang memberitahukan kepada kami tentang ini, dan kami menyangka bahwa walaupun telah beberapa lama terjadi, ia tampak mati lama kemudian. Mengapa demikian, Phædo?

Phædo: Sebuah keadaan kebetulan, Echecrates. Ia adalah karena buritan kapal yang orang-orang Athena kirim ke Delos dimahkotai di hari sebelum persidangan tersebut.

Echecrates: Kapal apakah ini?

Phædo: Ia adalah kapal, sebagaimana orang-orang Athena katakan, yang di dalamnya sebelumnya Theseus mengantarkan empat belas pemuda laki-laki dan perempuan ke Crete, dan menyelamatkan kedua-duanya mereka dan juga ia sendiri. Mereka, dengan demikian, membuat sebuah sumpah kepada Apollo karena kejadian itu, sebagaimana diriwayatkan, bahwa jika mereka terselamatkan mereka setiap tahun akan mengirimkan sebuah utusan ke Delos. Dan, sejak saat itu sehingga kini, mereka mengutusnya setiap tahun untuk menghormati sang dewa. Ketika mereka memulai persiapan-persiapan untuk duta ini, mereka memiliki sebuah hukum bahwa kota akan disucikan selama masa ini, dan bahwa akan tidak ada pelaksanaan hukuman di hadapan khalayak sampai kapal tersebut mencapai Delos dan kembali ke Athena. Dan terkadang, ketika angin menghalangi perjalanan mereka, ini memerlukan waktu yang panjang. Permulaan duta ini adalah ketika pendeta Apollo telah memahkotai buritan kapal tersebut, dan ini telah dilakukan, sebagaimana aku telah katakan, di hari sebelum hari persidangannya. Demikianlah sehingga Socrates melewati sebuah rentang waktu yang panjang di dalam penjara di antara persidangan dan kematiannya.

Echecrates: Dan apa, Phædo, keadaan-keadaan di kematiannya? Apa yang dikatakan dan dilakukan? dan siapa dari teman-temannya yang ada bersamanya? ataukah pihak yang berwenang tidak membiarkan mereka hadir, sehingga ia mati tanpa teman-temannya?

Phædo: Sama sekali tidak, tetapi beberapa, bahkan cukup banyak yang hadir.

Echecrates: Berbaiklah untuk menceritakan kepadaku semua kejadian ini sejelas yang kamu bisa, kecuali kamu memiliki urusan yang mendesak.

Phædo: Aku tidak sedang sibuk, dan aku akan berusaha untuk memberimu sebuah kisah penuh. Karena untuk mengenang Socrates, dibicarakan olehku ataupun mendengar kepada seseorang yang lain, selalu paling mencerahkan untukku.

Echecrates: Dan benar-benar, Phædo, kamu memiliki beberapa pendengar yang berpikiran sama. Bagaimanapun, berusahalah untuk menceritakan setiap hal serinci yang kamu bisa.

Phædo: Untukku, perasaanku sangat aneh, saat dahulu aku di sana. Karena aku bukan terisi oleh perasaan iba, seperti seseorang yang hadir di kematian seorang teman, karena orang itu tampak kepadaku sebagai berbahagia, Echecrates, kedua-duanya dari sikap dan perkataannya, sangat secara terhormat dan tanpa takut ia berjumpa dengan kematiannya. Sehingga, tampak kepadaku bahwa di dalam ia pergi ke Hades ia bukan pergi tanpa takdir suci, tetapi bahwa ketika ia tiba di sana ia akan berbahagia, jika siapapun pernah. Untuk alasan inilah aku benar-benar tidak terisi oleh perasaan iba, sebagaimana akan terlihat sebagai kejadian dengan seseorang yang hadir di keadaan duka. Juga tidak aku terpengaruh oleh kenikmatan dari terlibat di dalam percakapan filsafat, sebagaimana kebiasaan kita, karena percakapan kita dari macam itu. Tetapi sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan, menguasai diriku, semacam campuran yang tidak biasa antara kenikmatan dan rasa sakit bersama-sama, ketika aku mempertimbangkan bahwa Socrates akan segera mati. Dan semua kami yang hadir terpengaruh di dalam cara yang sama, di suatu waktu tertawa, di lain waktu menangis. Satu dari kami terutama, Apollodorus, karena kamu mengenal ia dan wataknya.

Echecrates: Memang aku mengenalnya.

Phædo: Ia sangat dikuasai oleh perasaan-perasaan ini, dan aku juga, sebagaimana yang lainnya.

Echecrates: Tetapi siapa mereka ini, Phædo?

Phædo: Dari penduduk Athena, Apollodorus ini hadir, dan Critobulus, dan ayahnya Crito, dan Hermogenes, Epigenes, Æschines dan Antisthenes. Ctesippus orang Pæania, Menexenus, dan beberapa yang lain dari Athena. Plato juga hadir, aku pikir, dulu ia sedang sakit.

Echecrates: Apakah ada orang asing yang hadir?

Phædo: Ya, Simmias, orang Thebes, Cebes dan Phædondes. Dari Megara, Euclides dan Terpsion.

Echecrates: Apakah Aristippus dan Cleombrotus hadir?

Phædo: Tidak, karena mereka dikatakan ada di Ægina.

Echecrates: Masih adakah orang lain di sana?

Phædo: Menurutku ini telah hampir semuanya yang hadir.

Echecrates: Baik, sekarang, apa yang kamu katakan sebagai pokok percakapan?

Phædo: Aku akan mencoba menceritakan keseluruhan kepadamu dari permulaan. Di hari-hari sebelumnya, aku dan yang lainnya secara tetap di dalam mengunjungi Socrates. Kami biasanya bertemu di awal pagi di rumah pengadilan tempat persidangan tersebut dahulu berlangsung, karena berdekatan dengan penjara. Setiap hari, kami biasanya menunggu sampai penjara dibuka, bercakap-cakap satu sama lain, karena ia tidak dibuka terlalu awal. Segera setelah terbuka, kami masuk menemui Socrates, dan biasa melewatkan hari bersamanya. Di hari itu, kami berkumpul lebih awal, karena di hari sebelumnya, ketika kami meninggalkan penjara saat malam, kami mendengar bahwa kapal telah tiba dari Delos. Sehingga kami saling berpendapat untuk datang seawal mungkin. Kemudian kami datang, dan sipir yang biasa menerima kami, keluar memberitahukan kami untuk menunggu, dan tidak masuk sampai ia memanggil kami. “Karena,” katanya, “Sebelas sekarang sedang melepaskan Socrates dari belenggunya, dan menyatakan kepadanya bahwa ia harus mati hari ini.” tetapi tidak lama kemudian, ia kembali, dan mempersilakan kami masuk.

Ketika kami masuk, kami mendapati Socrates baru saja dibebaskan dari belenggunya, dan Xanthippe, kamu mengenalnya, memegang anak laki-lakinya yang kecil, dan duduk di samping Socrates. Segera setelah Xanthippe melihat kami ia menangis keras, dan mengucapkan perkataan-perkataan yang perempuan biasa lakukan di keadaan demikian, “Socrates, teman-temanmu sekarang akan bercakap-cakap denganmu untuk terakhir kali, dan kamu dengan mereka.” Tetapi Socrates, memandang kepada Crito, berkata, “Crito, biarkan seseorang membawanya pulang.” Beberapa pembantu Crito segera menuntunnya pergi, meratap dan memukuli dadanya.

Socrates duduk di atas dipan dan menarik kakinya dan menggosoknya dengan tangannya, dan sementara ia menggosoknya, ia berkata, “Sebuah hal yang aneh, teman-temanku, hal yang orang-orang biasanya sebut sebagai kenikmatan, dan sangat menakjubkan ia berhubungan dengan kebalikannya, rasa sakit, bahwa mereka akan tidak kedua-duanya hadir kepada seseorang di saat yang sama. Walaupun demikian, jika seorang mengejar dan mendapatkan yang satu, ia hampir selalu terpaksa menerima yang lainnya, seolah-olah mereka kedua-duanya tersatukan bersama-sama dari satu kepala." "Dan tampak kepadaku," katanya, "bahwa jika Æsop pernah mengamati ini ia akan membuat sebuah kisah darinya, bagaimana dua ini berperang, dan dewa hendak mendamaikan mereka, ketika ia tidak bisa melakukan demikian, ia melekatkan kepala mereka bersama-sama, dan sejak itu siapapun yang dikunjungi oleh yang satu yang lainnya akan tiba segera setelahnya. Seperti itulah yang terjadi denganku, aku menderita sakit di kakiku sebelumnya dari belenggu, tetapi sekarang kenikmatan tampak menggantikan.”

Kepada ini Cebes, menyela ia, berkata: “Demi Zeus, Socrates, aku suka kamu mengingatkanku. Beberapa orang yang lain telah bertanya tentang puisi-puisi yang kamu buat, secara memasukkan ke dalam matra kisah-kisah dari Æsop dan himne untuk Apollo. Evenus, dua hari yang lalu menanyaiku, mengapa kamu membuat mereka setelah kamu datang ke sini, sementara sebelumnya kamu tidak pernah membuat satupun. Jika saja, kamu peduli sama sekali bahwa aku harus mampu menjawab kepada Evenus, jika ia bertanya lagi, karena menurutku ia akan melakukan demikian, katakanlah kepadaku apa yang aku harus katakan kepadanya?”

“Beritahukan ia kebenaran, Cebes,” ia menjawab, “bahwa aku bukan membuat mereka untuk bertanding dengannya atau puisi-puisinya, karena aku mengetahui bahwa ini akan bukan menjadi persoalan yang mudah, tetapi supaya aku mungkin mengungkapkan arti dari beberapa mimpi, dan melaksanakan kata hatiku, jika ini bisa menjadi musik yang sering mereka perintahkan kepadaku untuk aku kerjakan. Mereka adalah sesuatu semacam ini. Sering di masa laluku mimpi yang sama mengunjungiku, tampak di saat-saat berbeda dengan bentuk-bentuk yang berbeda, tetapi selalu mengatakan hal yang sama, ‘Socrates,’ ia berkata, ‘serahkan dirimu kepada dan kerjakanlah musik.’ Dan aku dahulu menyangka bahwa ia mendorong dan menyemangatiku untuk melanjutkan pengejaran yang aku sedang lakukan, seperti orang-orang yang berteriak di perlombaan, sehingga mimpi tersebut menyemangatiku untuk melanjutkan pengejaran yang aku lakukan, yakni, untuk menyerahkan diriku sendiri kepada pekerjaan musik, karena filsafat adalah musik yang paling tinggi, dan aku sedang mengerjakannya. Tetapi sekarang sejak persidanganku terjadi, dan hari raya sang dewa menunda kematianku, tampak kepadaku bahwa jika saja mimpi yang sering mendatangiku tersebut memintaku untuk melakukan pekerjaan musik yang paling dikenal, aku harus melakukannya, dan tidak mengabaikannya. Karena menurutku akan lebih aman untukku tidak berangkat dari sini sebelum aku melaksanakan kata hatiku dengan membuat beberapa puisi di dalam mematuhi mimpi tersebut. Sehingga, pertama-tama aku menyusun sebuah himne kepada sang dewa yang hari rayanya saat ini, dan setelah sang dewa, mempertimbangkan bahwa seorang penyair, jika ia bermaksud menjadi penyair, haruslah membuat kisah-kisah, dan bukan ceramah-ceramah, dan aku bukanlah pembuat kisah-kisah, sehingga aku mengambil kisah-kisah dari Æsop itu, yang sudah ada, dan diketahui olehku, dan yang pertama tampak kepadaku. Katakanlah ini kepada Evenus, Cebes, dan ucapkan selamat jalan kepadanya, dan jika ia bijaksana, untuk mengikutiku sesegera yang ia bisa. Aku, tampaknya, berangkat hari ini, karena demikianlah perintah orang-orang Athena.”

Kepada ini Simmias berkata, “Apa ini, Socrates, yang kamu dorong Evenus lakukan? karena aku sering bertemu dengannya, dan dari yang aku ketahui tentangnya, aku cukup yakin bahwa ia akan tidak mengikuti nasihatmu itu.”

“Apa, kemudian,” kata ia, “bukankah Evenus seorang filsuf?”

“Kepadaku ia tampak demikian,” kata Simmias.

“Kemudian ia akan bersedia,” Socrates menjawab, “dan demikian semua orang yang secara pantas menekuni pembelajaran ini. Mungkin, bagaimanapun, ia akan tidak mengambil hidupnya sendiri, karena hal itu mereka katakan tidak bisa dibiarkan.” Ketika ia mengatakan ini ia menurunkan kakinya di lantai, dan ia tetap di dalam sikap ini di sepanjang sisa percakapan.

Cebes kemudian menanyainya, “Apa maksudkmu, Socrates, dengan mengatakan bahwa tidak sesuai hukum untuk seseorang mengambil hidupnya sendiri, tetapi seorang filsuf harus bersedia mengikuti seorang yang sedang akan mati?”

“Apa, Cebes! Apakah kamu dan Simmias, yang telah secara akrab bercakap-cakap dengan Philolaus, belum pernah mendengar tentang hal ini?”

“Tidak ada yang terlalu jelas, Socrates.”

“Aku sendiri, hanya berbicara perkataan yang kudengar, tetapi aku tidak keberatan untuk mengatakan hal yang aku telah dengar. Mungkin pantas, sejak aku sedang akan melakukan perjalanan ke sana, untuk mencari dan memperkirakan tentang perjalanan ke sana, macam apa yang kita sangka. Apa yang lain yang bisa seseorang lakukan di rentang waktu dari sekarang sampai matahari terbenam?”

“Kemudian mengapa, Socrates, mereka mengatakan bahwa tidak bisa dibiarkan untuk membunuh diri sendiri? karena aku, sebagaimana kamu tanyakan sekarang, telah mendengar kedua-duanya Philolaus, dan beberapa yang lain, mengatakan bahwa bukan hal yang benar untuk melakukan ini, tetapi aku belum pernah mendengar siapapun mengatakan sesuatu yang jelas tentang hal ini.”

“Kemudian, kamu memberanikan diri,” kata Socrates, “dan kamu mungkin bisa mendengarkan sesuatu. Mungkin ia akan tampak menakjubkan untukmu, bahwa ini saja dari semua hukum tanpa pengecualian, dan tidak pernah terjadi kepada seorang manusia, sebagaimana di dalam semua persoalan yang lain, bahwa hanya di beberapa waktu dan hanya di beberapa orang, lebih baik untuk mati daripada untuk hidup. Mungkin tampak aneh kepadamu bahwa orang-orang yang lebih baik untuk mati ini, tidak bisa tanpa ketidaksalehan melakukan kebaikan ini kepada diri mereka sendiri, tetapi harus menunggu berkah lain.”

Kemudian Cebes, tersenyum lembut, berkata, berbicara di dalam dialeknya sendiri, “Jove mengetahui!”

“Ia akan tampak tidak beralasan jika diletakkan di dalam cara ini,” kata Socrates, “tetapi boleh jadi ada suatu alasan di dalamnya. Ajaran yang diajarkan secara rahasia tentang persoalan ini, bahwa kita manusia di dalam semacam penjara, dan kita harus tidak melepaskan diri kita darinya dan bebas, tampak kepadaku sulit dimengerti dan tidak mudah diresapi. Bagaimanapun, Cebes, aku percaya bahwa para dewa menjaga kita, dan bahwa kita adalah milik mereka. Apakah kamu memercayai ini?”

“Ya,” kata Cebes, “aku percaya.”

“Kemudian,” kata ia, “jika satu dari para budakmu hendak membunuh dirinya sendiri, tanpa kamu memberitahukan bahwa kamu menginginkan ia mati, apakah kamu akan marah, dan apakah kamu akan menghukumnya jika kamu bisa?”

“Tentu saja,” ia menjawab.

“Kemudian, di dalam titik pandang ini, bukan tidak beralasan untuk mengatakan bahwa seseorang harus tidak membunuh dirinya sendiri sebelum para dewa meletakkannya di bawah sebuah keperluan untuk melakukan demikian, sebagaimana sekarang diletakkan kepadaku.”

“Ini,” kata Cebes, “tampak bisa dimengerti. Tetapi hal yang baru saja kamu katakan, Socrates, bahwa para filsuf harus bersedia dan berkeinginan untuk mati, tampak aneh, jika hal yang kita baru saja katakan adalah benar, bahwa dewa memelihara kita, dan kita adalah miliknya. Karena tidak beralasan, jika orang-orang yang paling bijaksana harus tidak bersedih meninggalkan pelayanan yang di dalamnya mereka diperintah oleh yang paling baik dari semua tuan, yaitu, para dewa. Seorang yang bijaksana tentu saja tidak akan beranggapan bahwa ia akan lebih baik mengurus dirinya sendiri ketika ia bebas. Tetapi manusia yang bodoh mungkin berpikir demikian, bahwa ia harus pergi dari tuannya, dan akan tidak menyadari bahwa ia harus tidak lari dari satu yang baik, tetapi harus merapat kepadanya sebanyak mungkin, sehingga ia pergi melawan semua alasan. Tetapi seorang yang berpikiran baik akan menginginkan tetap dengan satu yang lebih baik daripada dirinya sendiri. Demikianlah, Socrates, pertentangan dari hal yang baru saja kamu katakana, karena menjadi yang bijaksana bersedih terhadap mati, tetapi yang bodoh untuk bergembira.”

Ketika Socrates mendengarkan ini, tampak kepadaku bahwa senang dengan kekerasan hati dari Cebes, dan memandangi kami, berkata, “Cebes, kalian lihat, selalu memeriksa argumen-argumen, dan tidak akan secara mudah teryakinkan oleh apapun yang orang katakan.”

Kepada itu Simmias menjawab, “Tetapi, Socrates, Cebes tampak kepadaku sebagai benar. Karena mengapa orang-orang yang benar-benar bijaksana pergi dari tuan-tuan yang lebih baik daripada diri mereka sendiri, dan sangat bersedia meninggalkan mereka? Cebes tampak kepadaku mengarahkan argumen tersebut melawanmu, karena kamu sangat bersedia meninggalkan kami dan para dewa, yang adalah, sebagaimana kamu sendiri mengakuinya, para pemimpin yang baik.”

“Kamu berhak mengatakan demikian,” kata Socrates, “karena aku berpikir bahwa maksudmu aku harus membuat pembelaan diri terhadap tuduhan ini, seolah-olah jika aku sedang di dalam sebuah sidang pengadilan.”

“Tentu saja,” Simmias menjawab.

“Baik, kemudian,” kata ia, “aku akan berusaha mempertahankan diriku sendiri secara lebih berhasil di hadapan kalian daripada di hadapan para juri. Karena,” ia melanjutkan, “Simmias dan Cebes, jika aku tidak berpikir bahwa aku akan pergi, pertama dari semua, di antara para dewa yang kedua-duanya bijaksana dan baik, dan, lebih lanjut, di antara orang-orang yang telah meninggalkan kehidupan ini, aku haruslah salah di dalam tidak bersedih kepada kematian. Tetapi sekarang, kalian semua yakinlah, bahwa aku berharap pergi ke orang-orang baik, walaupun aku bukan secara pasti menerima demikian. Tetapi, bagaimanapun, bahwa aku akan pergi kepada para dewa yang secara sempurna tuan-tuan yang baik, aku bisa secara pasti menerima ini. Sehingga, di kejadian ini, aku tidak sangat susah, tetapi aku menerima sebuah harapan baik bahwa sesuatu menunggu mereka yang mati, dan bahwa, sebagaimana sejak dahulu dikatakan, sesuatu yang akan jauh lebih baik untuk orang-orang yang baik daripada untuk orang-orang yang buruk.”

“Apa, kemudian, Socrates,” kata Simmias, “apakah kamu akan pergi dan menyimpan pendapat ini untuk dirimu sendiri, ataukah kamu akan membaginya kepada kami? Karena kebaikan ini tampak kepadaku berlaku secara umum untuk kita, dan di saat yang sama, jika kamu bisa membuat kami yakin dengan hal yang kamu katakan, ia akan menjadi pembelaan diri untukmu.”

“Aku akan berusaha melakukan demikian, ia berkata. “Tetapi pertama-tama biarkan kita membawa Crito ke sini, dan melihat apa diingininya. Ia tampak telah beberapa lema mencoba mengatakan sesuatu.”

“Apa yang lain, Socrates” kata Crito, “kecuali apa yang orang yang akan memberikan racun kepadamu katakan kepadaku beberapa saat yang lalu, bahwa aku harus memberitahukan kamu untuk berbicara se-sedikit mungkin? Karena ia mengatakan bahwa orang-orang menjadi terlalu terpanasi oleh berbicara, dan hal semacam ini berpengaruh buruk kepada racun tersebut, sehingga kadang-kadang, mereka yang melakukan demikian, harus meminumnya dua atau bahkan tiga kali.”

Kepadanya Socrates menjawab, “Biarkan ia memperhatikan urusannya sendiri, dan bersiap-siap memberikan aku dua kali, atau, jika keadaan mensyaratkan, bahkan tiga kali.”

“Aku hampir yakin mengetahui apa yang kamu akan katakan,” Crito menjawab, “tetapi ia telah beberapa lama terus manggangguku.”

“Jangan menghiraukannya,” ia menjawab. “Aku sekarang aku berharap untuk mengantarkan sebuah kisah kepada kalian, para juriku, alasan mengapa seorang yang benar-benar menyerahkan hidupnya kepada filsafat, secara alamiah memiliki keberanian yang baik, ketika ia sedang akan mati, dan untuk menikmati sebuah harapan yang kuat bahwa kebaikan yang paling besar akan ia peroleh di dalam dunia lain ketika ia berangkat dari kehidupan ini. Bagaimana, kemudian, ini bisa demikian, Simmias dan Cebes, aku akan berusaha jelaskan.”

“Orang-orang yang lain seperti tidak menyadari bahwa mereka yang secara benar mengejar filsafat, tidak menjadikan apapun sebagai tujuan kecuali kematian dan menjadi mati. Jika ini benar, kemudian, akan sangat absurd untuk mereka mengingini hal apapun kecuali ini di sepanjang hidup mereka, tetapi, ketika hal tersebut tiba, mereka bersedih kepada apa yang telah sejak lama mereka sangat ingini dan jadikan tujuan."

Kepada ini Simmias tetawa, dan berkata, “Demi Zeus, Socrates, walau aku sama sekali tidak bermaksud untuk tertawa, kamu membuatku melakukan demikian. Karena menurutku, orang-orang, jika mereka mendengar perkataanmu tentang para filsuf, akan mengatakan bahwa kamu benar, dan terutama orang-orang negeri kita akan setuju denganmu, bahwa para filsuf mengingini kematian, dan mereka akan menambahkan bahwa mereka sangat mengetahui bahwa para filsuf pantas menderita demikian.”

“Dan, mereka berbicara benar, Simmias, kecuali di dalam menambahkan bahwa mereka sangat mengetahui. Karena mereka jahil kepada rasa yang di dalamnya para filsuf sejati ingin untuk mati, dan di dalam rasa apa mereka pantas mati, dan mati semacam apa.” “Tetapi,” ia berkata, “biarkan kita meninggalkan mereka, dan berbicara satu sama lain. Apakah kita berpikir bahwa kematian adalah sesuatu?”

“Tentu saja,” Simmias menjawab.

“Apakah ia sesuatu selain daripada pemisahan jiwa dari badan? Dan bukankah ini mati, karena badan menjadi bagian tersendiri terpisah dari jiwa, dan jiwa menjadi tersendiri terpisah dari badan? Apakah mati adalah sesuatu selain ini?”

“Tidak, Socrates,” ia menjawab.
“Pertimbangkan, kemudian, temanku yang baik, jika kamu sependapat denganku. Karena jika kamu demikian, menurutku, kita akan mengerti lebih baik persoalan yang kita sedang pertimbangkan. Apakah tampak kepadamu ada di dalam seorang filsuf untuk mengingini kenikmatan-kenikmatan, sebagaimana mereka dikatakan, seperti daging-daging dan minuman-minuman?”

“Sama sekali tidak, Socrates,” kata Simmias.

“Bagaimana tentang kenikmatan-kenikmatan dari cinta?”

“Sama sekali tidak.”

“Apa, kemudian? Apakah orang semacam itu tampak kepadamu akan memikirkan perhatian-perhatian badaniah, maksudku, pakaian-pakaian dan sandal-sandal, dan perhiasan-perhiasan badan yang lain? Apakah menurutmu ia memedulikan mereka ataukah mengabaikan mereka, kecuali keperluan mengharuskan ia menggunakan mereka?”

“Filsuf sejati,” ia menjawab, “tampak kepadaku memandang rendah mereka.”

“Menurutmu, seluruh pekerjaan orang semacam itu, bukanlah tentang badan, tetapi memisahkan dirinya sendiri dari itu sebanyak yang mungkin, dan memperhatikan jiwanya?”

“Ya.”

“Pertama dari semua, kemudian, di dalam persoalan-persoalan demikian, lebih daripada siapapun, filsuf terbukti memisahkan jiwanya dari penyatuan dengan badan?”

“Ia tampak demikian.”

“Orang kebanyakan beranggapan bahwa ia yang tidak menggunakan kenikmatan dan tidak mengambil bagian di dalam hal-hal demikian tidaklah pantas untuk hidup, tetapi bahwa ia yang tidak memedulikan kenikmatan-kenikmatan badaniah, lebih baik mati.”

“Kamu berbicara secara sangat benar.”

“Tetapi Bagaimana dengan pencapaian kebijaksanaan? Apakah badan adalah sebuah penghalang, ataukah tidak, jika siapapun mengambilnya sebagai mitra di dalam pencarian? Maksudku begini: apakah penglihatan dan pendengaran membawakan kebenaran apapun kepada manusia, atau apakah mereka seperti yang para penyair selalu lantunkan, bahwa kita tidak melihat juga tidak mendengar apapun secara tepat? Jika, bagaimanapun, pendengaran dan penglihatan ini tidak tepat juga tidak jelas, sangat sedikit yang lainnya mungkin bisa, karena mereka semuanya indera yang jauh lebih rendah daripada ini. Tidakkah tampak demikian kepadamu?”

“Tentu saja demikian,” ia menjawab.

“Kapankah, kemudian,” kata ia, “jiwa memeroleh kebenaran? Karena ketika ia berusaha untuk mempertimbangkan apapun dengan ditemani oleh badan, jelas bahwa ia akan tertipu olehnya.”

“Benar.”

“Dengan menggunakan alasan, jika sama sekali, suatu kenyataan menjadi jelas kepadanya?”

“Ya.”

“Dan jiwa beralasan paling baik ketika tidak ada dari hal-hal ini yang mengganggunya, tidak pendengaran, tidak penglihatan, tidak rasa sakit juga tidak kenikmatan apapun, tetapi sendiri dengan dirinya sendiri, meninggalkan badan, dan menghindari, sejauh mungkin, berhubungan atau bersentuhan dengannya, untuk mencapai kenyataan yang ia tuju.”

“Benar.”
“Di dalam persoalan ini juga, kemudian, jiwa filsuf secara besar mengabaikan badan, dan pergi darinya, dan berusaha untuk sendirian dengan dirinya sendiri?”

“Tampak demikian.”

“Tetapi apa kepada hal-hal semacam ini, Simmias? Apakah kita mengatakan bahwa keadilan adalah sesuatu ataukah bukan apa-apa?”

“Tentu saja kita mengatakan demikian.”

“Dan bahwa keindahan dan kebaikan adalah sesuatu?”

“Bagaimana tidak?”

“Sekarang, kemudian, pernahkah kamu melihat apapun dari macam ini dengan matamu?”

“Sama sekali tidak,” ia menjawab.

“Pernahkah kamu menjelaskan mereka dengan apapun indera badaniah yang lain? Maksudku, seperti besaran, kesehatan, kekuatan, dan, di dalam satu kata, esensi atau mutu dasar dari semua hal. Apakah, kemudian, kebenaran yang tepat dari hal-hal ini dikenali menggunakan badan? Bukankah seperti ini, yakni siapapun yang menempatkan dirinya sendiri untuk memikirkan secara mendalam dan tepat untuk memahami esensi dari setiap hal, akan membuat pencapaian yang paling dekat kepada pengetahuan tentang itu?”

“Tentu saja.”

“Bukankah seorang yang akan melakukan ini secara sempurna, adalah yang mencapai setiap hal sejauh mungkin, semata-mata dengan alasan, tidak menghubungkan penglihatan dengan alasannya, juga tidak mengajukan indera lain manapun untuk bersama-sama dengan alasannya. Tetapi ia pemikiran yang murni, untuk mencari setiap esensi yang murni, terbebas sebanyak mungkin dari mata dan telinganya, dan, di dalam satu kalimat, dari keseluruhan badannya, karena mereka mengganggu jiwa dari menerima kebenaran dan kebijaksanaan? Bukankah ia orang tersebut, Simmias, jika ada siapapun yang bisa, yang akan tiba di pengetahuan yang nyata?”

“Kamu berbicara dengan kebenaran yang menakjubkan, Socrates,” Simmias menjawab.

“Dengan demikian,” ia berkata, “secara perlu mengikuti dari semua ini bahwa para filsuf sejati harus berpikir dan berkata dengan satu sama lain sebagai berikut: ‘Tampak sebuah jalan pintas menuntun kita dan argumen kita di dalam pencarian-pencarian kita bahwa selagi kita memiliki badan, dan jiwa kita terkontaminasi dengan keburukan demikian, kita akan tidak pernah secara penuh mencapai hal yang kita harapkan, yaitu, kebenaran. Karena badan membuat kita sibuk dengan dukungan yang ia perlukan, terlebih lagi, jika ia sakit, ia menghalangi kita dari pengejaran kita kepada kebenaran. Badan mengisi kita dengan kerinduan-kerinduan, keinginan-keinginan, rasa takut, semua macam keraguan, dan sangat banyak absurditas, sehingga, sebagaimana dikatakan dengan benar, ia secara nyata membuat kita tidak bisa berpikir sama sekali. Karena tidak ada hal selain badan dan keinginan-keinginannya yang menyebabkan peperangan, penghasutan-penghasutan, dan perlombaan-perlombaan; karena semua perang di antara kita terbangun demi keinginan kita untuk memeroleh harta: dan kita terpaksa mencari kekayaan demi kebaikan badan, kita terbudakkan untuk melayaninya. Akibat dari semua hal ini, kita terhindarkan dari pengejaran filsafat. Tetapi yang paling buruk dari semuanya adalah, bahwa jika kita mengisi waktu dengan pengejaran filsafat, ia secara tetap akan menyela pembelajaran-pembelajaran kita, dan mengganggu kita dengan keributan dan kegalauan, sehingga mencegah kita untuk mengenali kebenaran. Kita mengetahui kemudian bahwa, jika kita ingin mengetahui apapun secara murni, kita harus terpisahkan dari badan, dan kita harus memandang kenyataan-kenyataan dengan menggunakan mata jiwa. Dan kemudian, sebagaimana tampak oleh argumen-argumen kita, kita akan memeroleh hal yang kita ingini, dan hal yang kita mengakui diri kita sendiri mencintainya, kebijaksanaan, ketika kita telah mati, tetapi bukan di saat kita masih hidup. Karena jika pengetahuan yang murni mustahil diperoleh saat kita bersama badan, satu dari dua hal ini harus mengikuti, bahwa kita akan tidak pernah mencapai pengetahuan, atau hanya setelah kita mati, karena kemudian jiwa akan tersendiri terpisah dari badan, tetapi bukan sebelumnya. Dan selagi kita hidup, sebagaimana tampak, kita akan sampai paling dekat kepada pengetahuan, jika kita sama sekali tidak mengadakan sentuhan atau penyatuan dengan badan, kecuali apa yang nyata diperlukan, tidak membiarkan diri kita tercemari oleh alamiahnya, tetapi memurnikan diri kita sendiri darinya, sampai dewa membebaskan kita. Dan dengan demikian, membebaskan diri kita dari kebodohan badan, dan karena murni, menurutku, kita akan bersama yang murni dan mengetahui semua hal yang murni, dan itu adalah, mungkin, kebenaran. Karena mustahil hal yang tidak murni mencapai hal yang murni.’ Hal-hal demikian, menurutku, Simmias, yang semua pecinta sejati kepada kebijaksanaan harus kedua-duanya pikirkan dan katakan satu sama lain. Apakah kamu setuju?”

“Paling secara yakin, Socrates.”

“Kemudian,” kata Socrates, “jika ini benar, temanku, ada harapan besar bahwa ketika aku tiba di tempat yang aku akan kunjungi, di sana, jika di manapun, aku akan secara penuh memeroleh hal yang menjadi tujuan utamaku di kehidupan yang sebelumnya, sehingga perjalanan yang sekarang dihadapkan kepadaku akan dimulai dengan harapan yang baik, dan demikian juga untuk siapapun yang lain yang beranggapan bahwa pikirannya telah, sebagaimana demikian, termurnikan dan tersiapkan.”

“Tentu saja,” kata Simmias.

“Tetapi bukankah pemurnian terdiri di dalam ini, sebagaimana telah dikatakan di bagian yang lebih awal dari perbincangan kita, di dalam memisahkan sebanyak yang mungkin jiwa dari badan, dan di dalam membiasakannya untuk menghimpun dan mengumpulkan dirinya sendiri dengan dirinya sendiri di segala sisi terpisah dari badan, dan untuk tinggal sejauh mungkin, kedua-duanya sekarang dan setelah sekarang, sendirian, terhantarkan, terbebas dari badan seperti dari belenggu?”

“Tentu saja,” ia menjawab.

“Inikah, kemudian yang disebut kematian, penghantaran dan pemisahan jiwa dari badan ini?”

“Secara yakin,” ia menjawab.

“Tetapi, sebagaimana kita telah maklumi, para filsuf sejati dan hanya mereka saja yang paling berkeinginan melepaskan jiwa. Benar-benar ini pembelajaran para filsuf, penghantaran dan pemisahan jiwa dari badan ini. Bukankah demikian?”

“Tampak jelas.”

“Kemudian, sebagaimana aku katakan saat pertama, bukankah akan konyol untuk seorang yang di sepanjang kehidupannya hidup sedekat mungkin kepada kematian, kemudian, ketika kematian tiba, untuk bersedih? Bukankah ini akan konyol?”

“Tentu saja.”

“Di dalam kenyataan, kemudian, Simmias,” ia melanjutkan, “mereka yang mengejar filsafat secara benar, belajar untuk mati. Untuk mereka, dari antara semua manusia, kematian paling tidak mengerikan. Pertimbangkan di dalam jalan ini. Mereka semuanya membenci badan dan ingin menjaga jiwa tetap tersendiri. Bukankah akan tidak masuk akal jika, ketika ini akan terjadi, mereka takut dan bersedih, dan tidak merasa senang untuk pergi ke tempat yang di sana, ada harapan untuk memeroleh hal yang lama mereka cari di sepanjang hidup mereka? Tetapi mereka mengejar kebijaksanaan, dan untuk terbebas dari berhubungan dengan hal yang mereka benci. Bukankah banyak orang yang berharap untuk turun ke Hades, demi tujuan-tujuan dari harapan manusia, isteri-isteri dan anak-anak mereka, berharap melihat dan bersama dengan yang mereka cintai? dan bisakah seorang yang mencintai kebijaksanaan, dan teguh memercayai harapan ini, bahwa bukan di tempat manapun yang lain daripada di dalam dunia lain tersebut, bersedih kepada mati, dan tidak merasa senang akan pergi ke sana? Kita harus menganggap ia akan pergi  secara senang, temanku, jika ia benar-benar adalah filsuf. Karena ia akan meyakini ini secara kokoh, bahwa tidaklah di manapun yang lain daripada di sana untuk memeroleh kebijaksanaan yang murni. Dan jika ini demikian, bukankah akan sangat tidak masuk akal, sebagaimana aku sekarang katakan, jika orang semacam demikian takut kepada kematian?”

“Tentu saja, sangat konyol,” ia menjawab.

“Bukankah ini, kemudian,” ia melanjutkan, “adalah sebuah bukti yang memadai untuk kalian, ketika kalian melihat seseorang yang bersedih ketika akan mati, bahwa ia bukan pecinta kebijaksanaan, tetapi pecinta badannya? Dan orang yang sama ini mungkin seorang pecinta harta dan kehormatan, satu ataupun kedua-duanya dari ini.”

“Tentu saja demikian,” ia menjawab.

“Kemudian,” ia berkata, “Simmias, keberanian adalah watak yang khas untuk para filsuf?”

“Tentu saja,” ia menjawab.

“Dan kesahajaan, juga, yang secara umum disebut sebagai kesahajaan, di dalam keterpisahan dari gairah-gairah, tetapi menganggap hina mereka, dan bertetapan menolak mereka, bukankah ini untuk ia saja yang mengabaikan badan, dan melewati hidup di dalam filsafat?”

“Secara perlu demikian,” ia menjawab.

“Karena,” ia melanjutkan, “jika kamu mempertimbangkan keberanian dan kesahajaan orang-orang yang lain, kamu akan melihatnya sebagai absurd.”

“Mengapa demikian, Socrates?”

“Apakah kamu tahu,” ia berkata, “bahwa semua orang yang lain memasukkan kematian di antara keburukan-keburukan yang besar?”

“Mereka benar-benar melakukannya,” ia menjawab.

“Kemudian, apakah yang berani di antara mereka menghadapi kematian ketika mereka menghadapinya, karena takut kepada keburukan yang lebih besar?”

“Ia demikian.”
“Semua manusia, karena itu, kecuali para filsuf, berani karena khawatir dan takut. Walaupun absurd bahwa siapapun harus berani karena rasa takut dan kekhawatiran.”

“Tentu saja.”

“Tetapi bagaimana dengan mereka yang menekan gairah mereka di dalam jalan yang sama? bukankah mereka bersahaja karena tidak bersahaja? Dan walaupun kita mungkin mengatakan bahwa ini musathil, walaupun demikian, cara yang di dalamnya mereka terpengaruh kepada kesahajaan yang konyol ini menampakkan ini, mereka takut terhalau dari kenikmatan-kenikmatan tertentu yang mereka ingini, sehingga mereka meninggalkan beberapa yang lain karena mereka terbuai oleh yang lain. Dan walaupun demikian, tunduk kepada kenikmatan-kenikmatan disebut sebagai menuruti hawa nafsu. Walaupun demikian, mereka menaklukkan kenikmatan-kenikmatan, karena mereka takluk oleh kenikmatan-kenikmatan yang lain. Inilah yang aku baru saja katakan, bahwa kesahajaan mereka terjadi karena menuruti hawa nafsu.”

“Tampak demikian.”

“Simmias-ku yang baik, aku menduga bahwa ini bukanlah jalan yang benar untuk membeli kebaikan, menukarkan kenikmatan-kenikmatan dengan kenikmatan-kenikmatan, rasa sakit untuk rasa sakit, dan yang lebih besar untuk yang lebih kecil, seperti keping-keping koin. Tetapi koin yang benar, yang untuknya semua semua hal itu ditukarkan, dan dengannya semua hal dijual atau dibeli, adalah kebijaksanaan, dan keberanian dan kesahajaan dan keadilan, dan di dalam sebuah kalimat, kebaikan yang benar hanya ada di dalam kebijaksanaan, kenikmatan-kenikmatan ataupun kekhawatiran-kekhawatiran ditambahkan ataupun diambil. Dan kebaikan yang terdiri di dalam pertukaran hal-hal yang semacam demikian satu untuk yang lain tanpa kebijaksanaan, hanyalah gambar tiruan dan rendah, tidak ada memiliki kekuatan ataupun kebenaran. Tetapi kebenaran adalah pemurnian dari semua hal semacam demikian, dan kesahajaan dan keadilan dan keberanian dan kebijaksanaan adalah semacam pemurnian. Dan menurutku, orang-orang yang mengadakan misteri-misteri untuk kita tampak sama sekali bukan tidak tercerahkan, tetapi memiliki sebuah maksud yang tersirat ketika mereka mengatakan bahwa siapapun yang tiba di dalam Hades tidak-tersucikan dan tidak-tertuntun harus berbaring di dalam lumpur, tetapi ia yang tiba di sana tersucikan dan tertuntun akan tinggal bersama para dewa. Karena sebagaimana mereka katakan di dalam misteri-misteri, ‘Ada banyak penanggung thyrsus, tetapi sedikit para mistik’. Para mistik ini, menurutku, adalah mereka yang mengejar filsafat secara benar. Dan aku di dalam hidupku, sebisa diriku, tidak meninggalkan ada tersisa belum dicoba, dan berjuang di setiap jalan untuk menjadikan diriku salah satu dari mereka. Tetapi jika aku telah berusaha secara benar, dan pernah sampai kepada apapun, di ketibaan di sana aku akan mengetahui secara jelas, jika ia menyenangkan dewa—sangat tidak lama lagi, sebagai tampak kepadaku. Demikianlah, kemudian, Simmias dan Cebes,” ia menambahkan, “pembelaan yang aku buat, untuk itu aku, di pijakan yang baik, untuk tidak terganggu atau bersedih meninggalkan kalian dan para pemimpinku di sini, karena aku percaya bahwa di sana, tidak lebih kurang daripada di sini, aku akan bertemu dengan pemimpin-pemimpin dan teman-teman yang baik. tetapi untuk orang banyak ini tidak bisa dipercaya. Jika aku lebih berhasil dengan kalian di dalam pembelaanku daripada dahulu dengan para juri Athena, ia adalah baik.”


Ketika Socrates selesai berbicara demikian, Cebes memasuki perbincangan, dan berkata, “Socrates, aku setuju dengan semua hal yang lain yang kamu katakan, tetapi tentang jiwa, orang-orang sangat cenderung tidak percaya. Menurut mereka, ketika jiwa terpisah dari badan, jiwa tidak lagi ada di manapun, tetapi hancur dan binasa di hari yang sama saat seseorang mati, dan bahwa segera ia terpisah dan keluar dari badan ia menyebar, dan menghilang seperti angin atau asap, dan tidak lagi di manapun. Jika ia ada di manapun menyatu di dalam dirinya sendiri, dan terbebas dari keburukan-keburukan yang kamu baru saja sebutkan, akan ada kelimpahan dan harapan baik, Socrates, bahwa hal yang kamu katakan adalah benar. Tetapi ini mungkin memerlukan sedikit persuasi dan bukti, untuk mempertunjukkan, bahwa jiwa seorang yang mati ada, dan memiliki kekuatan dan kecerdasan.”

“Kamu mengatakan secara benar, Cebes,” Socrates berkata, “tetapi apa yang harus kita lakukan? Apakah kamu mengharapkan kita berbincang-bincang tentang titik-titik ini, untuk mengetahui jika demikian halnya ataukah bukan?”

“Benar demikian,” Cebes menjawab, “aku akan senang mendengarkan pendapatmu terhadap hal-hal ini.”

"Aku tidak berpikir," kata Socrates, "bahwa siapapun yang mendengarkan kita sekarang, bahkan jika ia penyair komik, akan mengatakan bahwa aku berbicara bergurau, atau membicarakan hal-hal yang tidak berhubungan denganku. Jika kamu suka, kemudian, kita akan menjelaskan persoalan tersebut sampai di ujungnya. Biarkan kita mempertimbangkannya di dalam titik pandang ini, jika jiwa-jiwa manusia yang mati ada di dalam Hades, ataukah tidak. Ada sebuah ucapan kuno, yang sekarang kita akan ingat kembali, bahwa jiwa-jiwa berangkat dari sini ada di sana, dan kembali ke sini lagi, dan dilahirkan dari yang mati. Jika ini benar, bahwa yang hidup dilahirkan kembali dari yang mati, jiwa-jiwa kita ada di sana, bukankah mereka akan demikian? Karena mereka akan tidak bisa dihasilkan kembali jika mereka tidak ada, dan ini akan menjadi bukti yang cukup bahwa yang hidup dihasilkan bukan dari sumber manapun selain dari yang mati. Tetapi jika ini tidak demikian, akan dibutuhkan suatu argumen lain."

"Tentu saja," kata Cebes.

"Kamu harus tidak, kemudian," ia melanjutkan, "mempertimbangkan hal ini hanya kepada manusia, jika kamu berharap mendapatkan ketepatan yang lebih besar, tetapi juga kepada semua binatang dan tumbuh-tumbuhan, dan dengan kata lain, kepada segala sesuatu yang beranak. Biarkan kita melihat dengan mempertimbangkan semua ini, benarkah bahwa mereka semua dilahirkan atau dibangkitkan hanya dari kebalikan-kebalikan mereka, jika mereka memiliki kebalikan, misalnya, terhormat kebalikan dari rendahan, dan adil kepada tidak adil, dan juga sepuluh ribu hal lain? Biarkan kita mempertimbangkan ini,benarkah bahwa segala hal yang memiliki kebalikan harus dihasilkan tidak lain daripada kebalikan mereka? Misalnya, ketika apapun menjadi lebih besar, bukankah perlu bahwa, dari sebelumnya lebih kecil, ia kemudian menjadi lebih besar?"

"Ya."

"Dan jika ia menjadi lebih kecil, ia sebelumnya lebih besar, kemudian menjadi lebih kecil?"

"Ia demikian," ia menjawab.

"Dan dari lebih kuat, yang lebih lemah? Dan dari lebih lambat, yang lebih lincah?"

"Secara jelas."

“Dan yang lebih buruk, bukankah ia harus menjadi demikian dari sebelumnya lebih baik? Dan jika lebih adil, dari lebih tidak adil?”

“Tentu saja.”

“Kemudian,” ia berkata, “kita telah mengukuhkan ini secara cukup, bahwa segala hal dihasilkan demikian, kebalikan dari kebalikan?

“Tentu saja.”

“Adakah juga sesuatu dari macam ini di antara pasangan-pasangan kebalikan-kebalikan ini, hal yang mungkin disebut sebagai dua macam peranakan, dari satu kepada yang lain, dan dari yang lain itu kembali lagi? Di antara hal yang lebih besar dan yang lebih kecil, ada peningkatan dan penurunan, dan bukankah kita dengan demikian menyebut yang satu meningkat, yang lainnya menurun?”

“Ya,” katanya.

“Dan analisis dan kombinasi, dan pendinginan dan pemanasan, dan semua kebalikan-kebalikan di dalam cara yang sama. Walaupun kadang-kadang kita tidak memiliki nama untuk mereka, di dalam kenyataan mereka demikian, dihasilkan dari satu-sama-lain, dan dikerjakan oleh peranakan timbal-balik?”

“Tentu saja,” ia menjawab.

“Apa, kemudian?” kata Socrates, “apakah hidup memiliki kebalikan, sebagaimana bangun memiliki kebalikan, tidur?”

“Tentu saja,” ia menjawab.

“Apa?”

“Mati,” ia menjawab.

“Tidakkah hal-hal ini, kemudian, dihasilkan dari satu sama lain, sejak mereka berlawanan? dan karena mereka ada dua, kejadian di antara mereka adalah dua, bukankah demikian?”

“Tentu saja.”

“Kemudian,” Socrates melanjutkan, “aku akan menggambarkan kepadamu satu bagian kebalikan yang aku baru saja sebutkan, kedua-duanya ia dan cara perhasilannya. Dan kamu lakukanlah menggambarkan kepadaku yang lainnya. Aku katakan bahwa yang satu adalah tidur dan kebalikannya adalah bangun, dan tidur dihasilkan dari bangun, dan bangun dihasilkan dari tidur, dan cara perhasilannya adalah, yang satu tertidur dan yang lainnya terbangun. Apakah aku telah menjelaskan ini secara cukup kepadamu ataukah tidak?”

“Tentu saja.”

“Kamu lakukanlah, kemudian,” ia berkata, “gambarkan kepadaku di dalam cara yang sama mempertimbangkan hidup dan mati. Bukankah kamu melakukan mengatakan bahwa hidup berlawanan dengan mati?”

“Aku melakukannya.”

“Dan bahwa mereka dihasilkan dari satu sama lain?”

“Ya.”

“Apa, kemudian, yang dihasilkan dari hidup?”

“Mati,” ia menjawab.

“Apa, kemudian,” kata ia “yang dihasilkan dari mati?”

“Aku harus mengakui,” ia menjawab, “bahwa hidup.”

“Dari yang mati, kemudian, Cebes, hal-hal dan manusia yang hidup, dihasilkan?”

“Seharusnya demikian,” ia menjawab.

“Jiwa-jiwa kita, karena itu,” kata Socrates, “ada di dalam Hades.”

“Demikian kelihatannya.”

“Dengan mempertimbangkan, kemudian, cara perhasilan mereka, bukankah satu dari mereka sangat jelas? karena mati tentu saja jelas, bukankah demikian?”

“Tentu saja,” ia menjawab.

“Apa, kemudian, yang kita harus lakukan?” ia melanjutkan, “haruskah kita menyangkal proses kebalikan, dan alam hanya satu sisi di dalam kejadian ini? atau haruskah kita mencari sebuah proses kebalikan dari kematian?”

“Dengan senang hati,” ia berkata.

“Apakah ini?”

“Kebangkitan.”

“Karena itu,” ia melanjutkan, “jika ada suatu hal semacam kebangkitan, bukankah kebangkitan ini menjadi cara perhasilan dari yang mati kepada yang hidup?”

“Tentu saja.”

“Demikianlah, kemudian, kita telah setuju bahwa yang hidup dihasilkan dari yang mati, demikian juga yang mati dari yang hidup; tetapi ini halnya, tampak kepadaku bukti yang cukup bahwa jiwa-jiwa dari yang mati perlu ada di suatu tempat, dari sana mereka dihasilkan.”

“Menuutku, Socrates,” ia berkata, “ini harus mengikuti dari hal-hal yang telah diterima sebelumnya.”

“Sekarang, Cebes,” ia berkata, “ada sebuah cara lain, sebagaimana ia tampak kepadaku, untuk membuktikan bahwa kita benar di dalam hal-hal yang kita telah terima tersebut. Karena jika hal-hal tidak secara tetap dikembalikan menggantikan yang lainnya, berputar, sebagaimana di dalam sebuah lingkaran, tetapi generasi hanya maju di dalam sebuah garis lurus, tanpa kembali atau melingkar, apakah kamu tahu bahwa di ujungnya, semua hal akan memiliki bentuk yang sama, di dalam keadaan yang sama, dan berhenti dihasilkan?”

“Apa maksudmu?” ia bertanya.

“Tidak sulit,” ia menjawab, “untuk memahami maksudku. Jika, misalnya, ada sebuah hal semacam tertidur, tetapi tidak ada pembalikan bangun kembali yang dihasilkan dari keadaan tidur, kamu mengetahui bahwa akhirnya, semua yang lainnya akan menunjukkan kisah Endymion sebagai omong-kosong, dan ia akan dianggap sama sekali bukan apa-apa, karena segala yang lainnya akan ada di kedaan yang seperti ia, yaitu, tidur. Dan jika semua hal bercampur bersama-sama dan tidak pernah terpisah, perkataan Anaxagoras, segala sesuatu di dalam kekacauan, akan segera menjadi kenyataan. Demikianlah Cebes, jika segala hal yang hidup akan mati, dan setelah mati tetap di dalam keadaan mati ini, bukankah jelas bahwa akhirnya semua hal akan mati, dan tidak ada yang hidup? Karena jika hal-hal yang hidup dihasilkan dari apapun hal lain daripada yang mati, dan yang hidup akan mati, apa yang akan mencegah mereka semua terserap di dalam kematian?”

“Tidak ada apapun, menurutku, Socrates.” Cebes menjawab, “Kamu tampak kepadaku mengatakan kebenaran yang nyata.”

“Menurutku, Cebes,” ia melanjutkan, “memang benar-benar demikianlah, dan kita bukan menerima hal-hal ini di bawah delusi, kebangkitan adalah kenyataan yang pasti, yang hidup dihasilkan dari yang mati, dan jiwa-jiwa dari yang mati masih ada.”

“Dan, memang,” kata Cebes, menambahkan, “jika benar, hal yang kamu seringkali katakan, bahwa belajar kita tidak lain daripada mengenang, berdasarkan ini tentu saja perlu bahwa kita harus di suatu waktu dahulu telah mempelajari apa yang sekarang kita ingat. Tetapi ini tidak mungkin jika jiwa kita tidak ada di suatu tempat sebelum lahir di dalam benruk manusia ini. Sehingga, dengan argument ini juga, jiwa tampak sebagai sesuatu yang abadi.”

“Tetapi, Cebes,” kata Simmias, menyelanya, “bukti apa yang ada untuk hal-hal ini? ingatkan aku, karena aku tidak terlalu mengingat mereka saat ini.”

“Secara singkat,” kata Cebes, “sebuah bukti yang sangat baik adalah ini. Saat orang-orang ditanyai, jika kamu meletakkan pertanyaan-pertanyaan tersebut secara baik, mereka sendiri, menjelaskan semua hal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, jika mereka tidak memiliki pengetahuan bawaan-lahir dan alasan yang benar, mereka akan tidak pernah mampu melakukan ini. Terlebih, ini ditunjukkan secara jelas, jika kamu membawa mereka kepada diagram-diagram, atau apapun yang lain dari macam ini.”

“Tetapi jika kamu tidak teryakinkan di dalam jalan itu, Simmias,” kata Socrates, “lihat jika kamu akan setuju dengan kami di dalam jalan ini. Apakah kamu ragu bahwa hal yang disebut sebagai belajar adalah mengenang?”

“Aku tidak ragu,” kata Simmias; “tetapi aku memerlukan hal yang kita bicarakan ini, mengenang. Dari hal yang Cebes katakan, aku mulai ingat dan teryakinkan. Tetapi, bagaimanapun, aku harus suka untuk mendengarkan sekarang bagaimana kamu akan berusaha membuktikannya.”

“Aku melakukannya demikian,” ia menjawab. “Kita menerima, tentu saja, bahwa jika siapapun teringatkan oleh apapun, ia seharusnya mengetahui hal itu di suatu waktu sebelumnya?”

“Tentu saja,” ia berkata.

“Apakah kita, kemudian, menerima ini juga, bahwa ketika pengetahuan datang di dalam suatu cara ia adalah mengenang? Cara yang aku maksud adalah ini: Jika seseorang melihat atau mendengar, atau menerima di dalam sebuah cara lain, suatu hal yang akrab, harus tidak hanya mengetahui hal itu saja, tetapi juga menerima suatu hal yng lain, yang pengetahuannya tidak sama, tetapi berbeda, bukankah kita benar di dalam mengatakan bahwa ia mengingat itu dari hal yang ia terima?”

“Bagaimana maksudmu?”

“Misalnya, pengetahuan tentang seseorang adalah berbeda dari pengetahuan tentang sebuah lyre.”

“Tentu saja.”

“Bukankah kamu mengetahui bahwa para pecinta ketika melihat sebuah lyre, atau sebuah kain, atau apapun yang lain yang kesayangannya biasa gunakan, terpengaruh demikian? Ini adalah mengenang, seperti ketika siapapun melihat Simmias, seringkali teringatkan kepada Cebes, dan aku bisa menyebutkan sejumlah yang sangat banyak pemisalan yang serupa.”

“Memang kamu bisa saja,” kata Simmias.
“Sekarang,” ia berkata, “apakah sesuatu semacam itu adalah mengenang? Terutama ketika terjadi dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah dilupakan, karena waktu dan tidak memperhatikan?”

“Tentu saja,” ia menjawab.

“Kemudian,” ia melanjutkan, “bissakah seseorang melihat lukisan kuda atau gambar lyre, teringatkan kepada seseorang, atau melihat gambar Simmias seseorang teringat kepada Cebes?”

“Tentu saja.”

“Dan melihat gambar Simmias, ia bisa teringatkan kepada Simmias?”

“Ya,” ia berkata.

“Kemudian, berdasarkan kepada semua contoh ini, kenangan bangkit dari hal-hal yang serupa, dan sebagian dari hal-hal yang tidak sama, bukankah demikian?”

“Ia demikian.”

“Ketika seseorang teringatkan oleh hal-hal yang serupa, perlu bahwa seseorang tersebut akan mempertimbangkan jika mengenang ini memberikan kesrupaan yang sempurna kepada hal yang ia kenang, ataukah tidak?”

“Ia perlu demikian,” ia menjawab.

“Pertimbangkan, kemudian,” kata Socrates, “jika ini benar. Apakah kita membiarkan bahwa ada hal semacam kesetaraan? Aku tidak memaksudkan sebatang kayu dengan yang lainnya, juga tidak sebongkah batu dengan yang lainnya, juga tidak apapun dari macam ini, tetapi sesuatu yang benar-benar berbeda dari semua ini—kesetaraan abstrak. Apakah kita menerima bahwa ada hal yang semacam demikian, ataukah tidak?”

“Kita harus mengatakan bahwa ada,” Simmias menjawab.

“Dan apakah kita mengetahuinya?”

“Tentu saja,” ia menjawab.

“Dari mana kita memeroleh pengetahuan tentangnya? Bukankah dari hal-hal yang kita baru saja sebutkan? dari melihat batang-batang kayu yang setara, atau batu-batu, atau hal-hal lain dari macam tersebut,  kita memeroleh dari mereka pengetahuan tentang kesetaraan abstrak, yang adalah sebuah hal yang berbeda? tidakkah ia tampak kepadamu sebagai berbeda? Pertimbangkan persoalan tersebut begini. Bukankah batu-batu yang setara, dan batang-batang kayu kadang-kadang bahwa adalah sama, walaupun masih benda yang sama, tampak setara di suatu waktu, dan tidak di lain waktu?”

“Tentu saja.”

“Kemudian, apakah kesetaraan-mutlak pernah tampak kepadamu tidak setara? Atau kesetaraan ke-tidak-setara-an?”

“Tidak, Socrates, tidak pernah.”

“Hal-hal yang setara ini, kemudian,” ia berkata, “tidak sama dengan kesetaraan di dalam abstrak?”

“Sama sekali tidak, Socrates.”

“Bagaimanapun, dari hal-hal yang setara ini,” ia berkata, “yang adalah berbeda dari kesetaraan abstrak itu, bukankah kamu membentuk pemikiranmu dan mendapatkan pengetahuanmu darinya?”

“Benar,” ia menjawab.

“Ia seperti mereka ataupun tidak seperti mereka?”

“Tentu saja.”

“Tidaklah membuat perbedaan,” ia berkata. “Kapanpun penglihatan kepada suatu hal membawakanmu penglihatan yang lain, mereka serupa ataupun tidak serupa, ini haruslah secara perlu adalah mengenang?”

“Tentu saja.”

“Kemudian,” ia melanjutkan, “apakah batang-batang kayu dan hal-hal yang setara, yang kita baru saja bicarakan, memengaruhi kita di dalam jalan ini, apakah mereka tampak kepada kita setara di dalam cara yang sama sebagaimana kesetaraan abstrak, atau apakah tidak mencukupi di dalam beberapa derajat, ataukah sama sekali tidak?”

“Mereka sangat tidak mencukupi,” ia menjawab.

“Apakah kita menerima, kemudian, bahwa ketika seseorang melihat suatu hal tertentu, akan berkata, hal yang sekarang aku lihat ini, seperti sesuatu yang lain yang ada, tetapi tidak mencukupi, dan tidak mampu menjadi sebagaimana ia, tetapi lebih rendah darinya, ia yang berpikir demikian, harulsah secara perlu memiliki suatu pengetahuan sebelumnya yang kepadanya ia mengatakannya sebagai mengingat, walaupun secara tidak sempurna?”

“Ia perlu.”

“Baik, apakah ini yang terjadi kepada kita, dengan mempertimbangkan hal-hal setara dan kesetaraan abstrak itu sendiri?”

“Secara yakin demikian.”

“Kemudian, kita haruslah memiliki pengetahuan kesetaraan sebelum saat pertama melihat hal-hal yang setara, dan kita berpikir, hal-hal ini berupaya mewakili kesetaraan, tetapi tidak mencukupi.”

“Benar.”

“Terlebih lagi, kita mengakui ini juga, bahwa kita tidak meraih ini, dan tidak mungkin bisa meraihnya dengan cara selain memandang, atau menyentuh, atau penginderaan lain? Menurutku semua indera adalah sama.”

“Ya, Socrates, mereka semuanya sama, sejauh argumen kita perhatikan.”

“Kemudian dengan melalui indera-inderal-ah, kita harus mempelajari, bahwa semua hal yang bisa dirasai, berusaha mencapai kesetaraan abstrak dan tidak mencukupinya. Bukankah kita seharusnya beranggapan demikian?”

“Ya.”


“Kemudian, sebelum kita mulai melihat dan mendengar dan menggunakan indera kita yang lain, kita seharusnya telah meraih pengetahuan kepada kesetaraan abstrak atau mutlak itu sendiri, jika kita hendak membandingkan kepadanya hal-hal setara yang dirasai oleh indera-indera, dan mengamati bahwa semua hal demikian berusaha mewakili itu, tetapi tidak mencukupi.”

“Ini perlu mengikuti, Socrates, dari hal yang telah terkatakan.”

“Kita melihat dan mendengar dan memiliki indera-indera yang lain, segera setelah kita lahir?”

“Tentu saja.”

“Tetapi, kita telah mengatakan bahwa sebelum kita memiliki ini, kita seharusnya telah memeroleh pengetahuan kepada kesetaraan abstrak?”

“Ya.”

“Kemudian, sebagaimana tampak, kita seharusnya memilikinya sebelum kita lahir.”

“Tampak demikian.”

“Jika kita memiliki ini sebelum kita lahir, dan kita lahir dengan memilikinya, kita mengetahui, kedua-duanya sebelum kita lahir dan segera setelah kita lahir, bukan hanya kesetaraan dan yang lebih besar dan lebih kecil, tetapi semua hal yang semacam demikian? Karena argumen kita kini tidaklah lebih memperhatikan kesetaraan daripada keindahan, kebaikan, keadilan, kesucian, dan, dengan kata lain, memperhatikan semua hal yang kita tandai dengan segel keberadaan, kedua-duanya di dalam pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan dan jawaban-jawaban yang kita berikan. Sehingga kita harus secara perlu memiliki pengetahuan kepada semua ini sebelum kita lahir.”

“Benar.”

“Dan jika setelah memilikinya, kita tidak melupakannya, kita seharusnya selalu terlahir dengan pengetahuan ini, dan harus mengetahui mereka di sepanjang kehidupan. Karena mengetahui adalah memiliki pengetahuan tentang apapun, menyimpan dan tidak kehilangannya, dan kehilangan pengetahuan kita sebut sebagai kelupan. Bukankah demikian, Simmias?”

“Secara yakin, Socrates,” ia menjawab.

“Tetapi jika kita memeroleh pengetahuan sebelum kita lahir dan kehilangannya di saat kelahiran kita, kemudian dengan menggunakan indera-indera kita tentang hal-hal ini, kita menemukan pengetahuan yang dahulu pernah kita miliki, bukankah hal yang kita sebut sebagai belajar, adalah penemuan kembali pengetahuan kita? Dan kita seharusnya benar di dalam menyebutnya sebagai mengenang?”

“Tentu saja.”

“Karena tampak mungkin, saat mendapati sebuah hal dengan melihat ataupun mendengar, atau menggunakan indera apapun yang lain, untuk mengingat kembali dari penginderaan tersebut, suatu hal lain yang pernah lupakan, yang dihubungkan dengan hal yang diiderai, serupa ataupun tidak serupa. Sehingga, sebagaimana aku telah katakan, satu dari dua hal ini harus mengikuti: kita lahir dengan pengetahuan ini, dan mengetahuinya di sepanjang kehidupan kita, atau mereka yang kita katakan sebagai belajar hanyalah mengingat, dan belajar kemudian akan menjadi mengenang.”

“Demikianlah, secara pasti, halnya, Socrates.”

“Kamu memilih yang mana, Simmias? kita lahir dengan pengetahuan ataukah bahwa kita selanjutnya mengenang hal-hal yang kita terima pengetahuan tentangnya sebelum kita lahir?”

“Saat ini, Socrates, aku tidak mampu memilih.”

“Bagaimana dengan pertanyaan ini? kamu bisa memilih dan berpendapat terhadapnya. Ketika seseorang mengetahui, bisakah ia memberikan alasan terhadap hal yang ia ketahui, ataukah tidak?”

“Ia harus mampu melakukan demikian, Socrates,” ia menjawab.

“Dan apakah semua orang tampak kepadamu mampu memberikan sebuah alasan untuk hal-hal yang kita baru saja bicarakan?”

“Aku berharap mereka bisa,” kata Simmias, “tetapi aku lebih khawatir bahwa besok, di waktu seperti ini, akan tidak ada lagi siapapun yang mampu melakukan ini secara baik.”

“Tidakkah semua orang, kemudian, Simmias,” ia berkata, “tampak kepadamu mengetahui hal-hal ini?”

“Tentu saja.”

“Apakah mereka mengingat, kemudian, hal yang mereka pernah pelajari?”

“Secara perlu demikian.”

“Kapankah jiwa-jiwa kita menerima pengetahuan ini? tentu saja bukan, sejak kita lahir ke dunia.”

“Tentu saja tidak.”

“Sebelumnya?”

“Ya.”

“Jiwa-jiwa kita, karena itu, Simmias, ada sebelum mereka di dalam bentuk manusia, terpisah dari badan, dan memiliki kecerdasan.”

“Kecuali, Socrates, kita menerima pengetahuan ini di kelahiran kita, karena waktu ini masih tertinggal.”

“Anggaplah demikian, temanku. Tetapi di saat kapankah kita kehilangannya? Karena kita lahir tidak bersamanya, sebagaimana sekarang kita terima. Apakah kita kehilangannya, kemudian, di saat yang sama ketika kita menerimanya? Atau bisakah kamu menyebutkan waktu yang lain?”

“Tidak ada, Socrates. Aku tidak menyadari bahwa aku berbicara tidak masuk akal.”

“Kemudian, Simmias,” ia melanjutkan, “apakah ini kejadian tersebut? Jika hal-hal yang senantiasa kita bicarakan itu benar-benar ada, keindahan, kebaikan, dan setiap esensi, dan jika kita mengarahkan penginderaan-penginderaan kita kepada hal-hal ini, yang kita setujui sebagai ada sebelumnya dan sekarang kita miliki, dan membandingkan penginderaan-penginderaan kita dengan hal-hal ini, bukankah perlu mengikuti, bahwa jika hal-hal ini ada, demikian juga jiwa kita ada sebelum kita lahir? dan jika hal-hal ini tidak ada, perbincangan ini akan sia-sia, bukankah demikian? Inikah kejadiannya, dan bukankah sama-sama perlu bahwa hal-hal ini harus ada, dan juga jiwa-jiwa kita, sebelum kita lahir, dan jika hal-hal ini tidak ada, juga tidak ada jiwa-jiwa kita?”

“Paling secara yakin, Socrates,” kata Simmias, “ada tampak kepadaku keperluan yang sama, dan argumen itu secara mengagumkan membuktikan bahwa jiwa-jiwa kita ada sebelum kita lahir, sama seperti esensi yang kamu bicarakan. Karena aku tidak melihat ada apapun yang lebih jelas daripada ini, bahwa semua hal yang demikian secara pasti ada, keindahan, kebaikan, dan semua yang lainnya yang kamu baru saja kamu bicarakan;. Menurutku, hal tersebut telah secara cukup dibuktikan.”

“Tetapi bagaimanakah dengan Cebes?” kata Socrates; “karena Cebes seharusnya teryakinkan juga.”

“Ia secara cukup teryakinkan, aku berpikir,” kata Simmias, “walaupun ia adalah yang paling teguh di antara semua orang di dalam ragu kepada argumen-argumen. Walaupun demikian, menurutku ia cukup teryakinkan kepada ini, bahwa jiwa kita ada sebelum kita lahir. Tetapi jika ketika kita mati jiwa akan tetap ada, bahkan kepadaku tampak belum terbuktikan, Socrates.” Ia melanjutkan, “Tetapi keraguan yang umum, yang Cebes baru saja sebutkan, masih ada di jalan kita, bahwa ketika seseorang mati, jiwa tidak memendar, dan inilah akhir keberadaannya. Karena jika ia terlahirkan, dan terbentuk dari sumber lain, dan ada sebelum memasuki tubuh manusia, apa yang mencegahnya, setelah datang dan meninggalkan tubuh, dari dirinya sendiri mati, dan terurai?”

“Kamu benar, Simmias,” kata Cebes, “Karena ia tampak bahwa hanya separuh dari yang perlu telah dibuktikan, yaitu, bahwa jiwa kita ada sebelum kita lahir. Tetapi kita harus membuktikan lebih jauh, bahwa ketika kita mati, ia akan ada tidak kurang daripada sebelum kita lahir, jika pembuktian tersebut hendak dibuat lengkap.”

“Ini telah dibuktikan, Simmias dan Cebes,” kata Socrates, “jika saja kalian hendak menghubungkan argumen terakhir dengan yang kita sebutkan sebelumnya, bahwa segala makhluk hidup dihasilkan dari yang mati. Karena jika jiwa ada sebelum kelahiran, dan ketika memasuki kehidupan dan dilahirkan, tidak bisa dilahirkan dari apapun selain daripada yang mati, dan dari keadaan mati, bukankah ia seharusnya juga ada setelah kematian, sejak ia harus dihasilkan kembali? Sehingga, bukti yang kalian minta, telah diberikan. Bagaimanapun, menurutku, kamu dan Simmas hendak membawa perbincangan lebih jauh lagi. Kalian memiliki perasaan takut yang kekanak-kanakan, bahwa ketika jiwa pergi dari badan, angin akan meniup dan menguraikannya, terutama jika seseorang mati saat angin kencang, dan bukan di cuaca yang tenang.”

Cebes tersenyum, dan berkata, “Anggaplah bahwa kami memiliki perasaan takut tersebut, Socrates, dan cobalah untuk membuat kami yakin, atau anggaplah kami tidak takut, walau mungkin ada seorang anak di dalam kita, yang memiliki kekhawatiran semacam demikian. Biarkan kita, kemudian, berusaha untuk membuatnya yakin untuk takut kepada kematian, seperti kepada para hobgoblin.”

“Kamu harus memanterainya setiap hari,” kata Socrates, “sampai kamu menghilangkan kekhawatiran-kekhawatirannya.”

“Tetapi di mana, Socrates,” ia berkata, “kami bisa mendapatkan pelantun mantera yang mahir untuk hal semacam demikian, saat sekarang kamu akan meninggalkan kami?”

“Yunani, Cebes,” ia menjawab, “adalah negeri yang luas, dan di dalamnya tentu saja ada orang-orang yang mahir. Ada juga banyak negeri barbar, tiap-tiapnya harus kamu datangi, mencari pemantera, tanpa memikirkan uang ataupun kerja keras, sejak tidak ada hal yang lebih baik untuk kalian menghabiskan uang. Kalian harus juga mencarinya di antara kalian sendiri, karena mungkin kalian akan sukar menemukan lagi yang lebih sanggup daripada kalian sendiri untuk melakukan ini.”

“Ini harus dilakukan,” kata Cebes; “Tetapi, biarkan kita kembali kepada titik yang darinya kita menyimpang dari pembicaraan, jika kamu setuju.”

“Tentu saja aku setuju.”

“Perkataanmu baik,” kata Cebes.

“Bukankah kita harus,” kata Socrates, “mengajukan kepada diri kita sendiri pertanyaan semacam ini? Hal apa yang bisa terpengaruh menjadi demikian, yaitu, menjadi terurai, dan untuk apa kita harus takut, kecuali ia akan terpengaruh demikian, dan hal apa yang tidak bisa terpengaruh demikian? Dan setelah ini kita harus mempertimbangkan yang mana dari dua tersebut yang jiwa alami, dan menyandarkan rasa takut kita untuk jiwa kita kepada jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini?”

“Kamu berbicara secara benar,” katanya.

“Kemudian, bukankah jelas bahwa hal yang terbentuk oleh penyusunan, dan yang tersusun, secara almiah bisa terurai, di dalam cara yang sama sebagaimana ia tersusun? Dan jika sesuatu tidak tersusun, maka secara alamiah tidak akan terurai?”

“Menurutku itu benar,” kata Cebes.

“Bukankah mungkin, kemudian, bahwa hal-hal yang selalu sama dan tidak berubah, adalah hal-hal yang tidak terurai, tetapi hal-hal yang senantiasa berubah, dan tidak pernah di keadaan yang sama, adalah terurai?”

“Menurutku juga demikian.”

“Biarkan kita kembali, kemudian,” ia berkata, “kepada hal-hal yang kita perbincangkan sebelumnya. Apakah esensi, yang di dalam dialektika bertanya dan menjawab kita mengakuinya sebagai ada, selalu sama, atau apakah ia bisa berubah? Apakah kesetaraan, keindahan, dan setiap hal yang demikian, pernah mengalami perubahan apapun? Atau apakah tiap-tiap setiap esensi, sejak ia berbentuk tunggal dan ada dengan dirinya sendiri, senantiasa sama dan tidak pernah mengalami perubahan di bawah keadaan apapun?”

“Mereka seharusnya,” kata Cebes, “senantiasa tetap sama, Socrates.”

“Tetapi bagaimana dengan banyak hal, misalnya manusia, kuda, pakaian, atau hal-hal lain semacam ini, yang menggunakan nama seperti esensi-esensi, dan disebut sebagai indah atau setara dan sebagainya? Apakah mereka selalu sama? Atau apakah mereka, berkebalikan dengan esensi-esensi, senantiasa berubah di dalam diri mereka sendiri, tidak menyerupai satu sama lain, dan, untuk dikatakan, tidak pernah sama?”

“Hal-hal ini, di lain pihak,” Cebes menjawab, “tidak pernah tetap sama.”

“Hal-hal ini, kemudian, kamu bisa sentuh, atau lihat, atau terima dengan indera-indera yang lain; tetapi hal-hal yang tetap sama itu, kamu tidak bisa pahami selain daripada menggunakan pikiran, karena tidak tampak dan tidak terlihat?”

“Kamu mengatakan hal yang benar,” Cebes menjawab.

“Sekarang, haruskah kita beranggapan bahwa ada dua macam keberadaan, satu yang bisa dilihat yang lainnya yang tidak bisa dilihat?”

“Biarkan kita beranggapan demikian,” katanya.

“Dan yang tidak bisa dilihat selalu tetap sama, tetapi yang bisa dilihat senantiasa berubah?”

“Biarkan kita juga beranggapan demikian,” ia menjawab.

“Bukankah kita terdiri dari dua bagian, jiwa dan badan?”

“Ya.”

“Kepada jenis apa, kemudian, harus kita mengatakan badan lebih sama lebih dekat bersekutu?”

“Jelas untuk setiap orang,” ia berkata, “bahwa kepada yang bisa dilihat.”

“Dan jiwa? Apakah ia bisa dilihat ataukah tidak bisa dilihat?”

“Tidak bisa dilihat, setidaknya kepada manusia, Socrates,” ia menjawab.

“Tetapi kita mengatakan bisa dilihat dan tidak bisa dilihat, dengan mempertimbangkan penglihatan manusia, bukankah kita demikian?”

“Ya, kita demikian.”

“Kemudian, apa yang kita katakan tentang jiwa? Bisa terlihat, ataukah tidak?”

“Tidak bisa.”

“Kemudian, ia tidak bisa dilihat?”

“Ya.”

“Kemudian, jiwa lebih seperti tidak bisa dilihat, dan badan lebih seperti bisa dilihat?”

“Tentu saja, Socrates.”

“Dan bukankah kita, telah sejak lama mengatakan ini juga, bahwa jiwa, ketika ia menggunakan badan untuk menjelaskan apapun, dengan penglihatan ataupun pendengaran, atau indera apapun yang lain (karena pencarian menggunakan badan dilakukan dengan indera-indera), kemudian diseret oleh badan kepada hal-hal yang tidak pernah tetap sama, dan bergentayangan dan bingung, dan terhuyung-huyung seperti mabuk, karena bersentuhan dengan hal-hal yang dari macam ini?”

“Tentu saja.”

“Tetapi ketika jiwa menjelaskan apapun dengan dirinya sendiri, ia berangkat menuju alam hal yang murni, yang abadi dan tidak bisa berubah, dan karena bersekutu kepadanya, secara tetap bersamanya, sepanjang ia terdiri oleh dirinya sendiri, dan memiliki kekuatan, dan ia berhenti dari bergentayangan, dan tetap sama dan tidak berubah bersama yang tidak berubah, sejak ia bersentuhan dengan hal-hal yang dari macam ini. Keadaan jiwa ini disebut sebagai kebijaksanaan. Bukankah demikkian?”

“Kamu berbicara,” ia berkata, “di dalam segala hal, baik dan secara benar, Socrates.”

“Kemudian, dari hal yang kita telah katakan sebelum dan saat ini, menurutmu, kepada tingkatan mana dari yang dua tersebut, jiwa tampak lebih menyerupai dan lebih secara dekat bersekutu?”

“Setiap orang menurutku akan menerima, Socrates,” ia menjawab, “bahkan orang yang paling dungu, dari cara beralasan ini, bahwa jiwa di dalam setiap hal lebih menyerupai hal yang secara tetap sama daripada yang tidak demikian.”

“Bagaimana dengan badan?”

“Ia lebih menyerupai yang lainnya.”

“Pertimbangkan persoalan tersebut di sebuah jalan lain. Ketika jiwa dan badan bersama-sama, alam menjadikan yang satu melayani dan mematuhi, dan yang lain mengatur dan memerintah. Dan, di dalam jalan ini, yang mana dari dua tersebut yang ilahiah, dan yang mana yang fana? Tidakkah tampak kepadamu alamiah bahwa ilahiah harus mengatur dan memerintah, dan yang fana mematuhi dan melayani?”

“Kepadaku ia demikian.”

“Yang mana, kemudian, yang jiwa wakilkan?”

“Secara jelas, Socrates, bahwa jiwa ilahiah, dan badan adalah fana.”

“Pertimbangkanlah, Cebes, jika ini bukan kesimpulan dari semua yang telah terkatakan, bahwa jiwa adalah paling menyerupai ilahiah, abadi, cerdas, satu bentuk, tidak bisa terurai, dan selalu tetap di dalam keadaan yang sama, dan badan, di lain pihak, paling menyerupai yang adalah manusia, fana, tidak cerdas, banyak bentuk, bisa terurai, dan yang tidak pernah tetap di dalam keadaan yang sama. Bisakah kita mengatakan apapun, Cebes yang baik, untuk menyanggah ini?”

“Kita tidak bisa.”

“Kemudian, sejak ini adalah halnya, bukankah alamiah yntuk badan secara cepat terurai, tetapi jiwa, sebaliknya, seara keseluruhan atau hampir seluruhnya, tidak bisa terurai?”

“Tentu saja.”

“Perhatikanlah,” ia berkata, “bahwa ketika seseorang mati, bagian yang terlihat darinya, yaitu badan, yang terpapar kepada penglihatan, dan yang kita namai sebagai mayat, yang secara alamiah dikerjai oleh pembusukan dan penguraian, tidak langsung mengalami hal-hal ini, tetapi tetap untuk beberapa lama, dan bahkan untuk waktu yang sangat lama jika kematian terjadi dengan tubuh yang bugar, dan di musim yang baik. Karena ketika badan telah jatuh dan dibalsem, sebagaimana di Mesir, ia bertahan untuk waktu yang luar biasa panjang. Bahkan saat badan memudar, beberapa bagiannya, semacam tulang-tulang dan urat-urat, dan setiap hal yang semacam demikian, adalah, seseorang mungkin mengatakan, abadi. Bukankah demikian?”

“Ya.”

“Bisakah jiwa, kemudian, yang adalah tidak terlihat, dan yang pergi kepada tempat lain yang sebagaimana dirinya sendiri, baik, murni dan tidak terlihat, yang secara benar disebut sebagai alam dewa dari dunia lain, kepada dewa yang baik dan bijaksana, yang ke sana, jika dewa berkehendak, jiwaku segera pergi, bisakah jiwa-jiwa kita ini, aku tanyakan, sebagai semacam alamiah yang demikian dan demikian, ketika terpisah dari badan, segera terurai dan hancur, sebagaimana kebanyakan orang katakan? Jauh dari itu, Cebes dan Simmias. Tetapi kebenarannya lebih seperti ini: jika ia terpisah di dalam keadaan yang murni, tanpa membawa apapun dari badan, sejak ia tidak pernah berhubungan secara rela dengannya di kehidupan yang kini, tetapi menghindarinya, dan mengumpulkan dirinya sendiri, sejak ini senantiasa menjadi yang ia pelajari, tetapi ini tidak lain daripada mengejar filsafat secara benar, dan benar-benar mempelajari keadaan mati, bukankah ini adalah pelajaran tentang bagaimana untuk mati?”

“Secara yakin.”

“Kemudian, ketika jiwa di dalam keadaan ini, ia berangkat kepada yang seperti dirinya sendiri, yang tidak terlihat, ilahiah, abadi dan bijaksana, dan di ketibaannya di sana, bukankah ia lebih berbahagia, bebas dari kekeliruan, kejahilan, kekhawatiran-kekhawatiran, gairah-gairah yang liar, dan semua keburukan yang lainnya yang dimiliki oleh manusia, dan, sebagaimana dikatakan oleh yang terpercaya, jiwa tinggal di dalam kebenaran di seluruh waktunya bersama para dewa. Apakah ini kepercayaan kita, Cebes, atau selainnya?”

“Secara yakin,” kata Cebes.

“Tetapi, menurutku, jika ia berangkat dari badan tercemar dan tidak murni, karena senantiasa bersama badan, dan melayani dan mencintainya, dan termanterai olehnya, melalui hasrat-hasrat dan kesenangan-kesenangan, seolah-olah menganggap bahwa tidak ada yang nyata selain hal-hal yang badaniah, yang seseorang bisa sentuh dan lihat, dan makan dan minum, dan bekerja untuk kenikmatan-kenikmatan percintaan, dan jika ia terbiasa membenci dan khawatir dan menghindari hal-hal yang gelap dan tidak terlihat, persoalan yang dipikirkan dan dijelaskan oleh filsafat. Apakah menurutmu jiwa di dalam keadaan ini akan berangkat murni dan tidak tercemar?”

“Mustahil,” ia menjawab.


“Tetapi menurutku ia akan saling memengaruhi dengan hal-hal yang badaniah, persentuhan dan persatuan kepada badan telah menjadikan ia sebagai bagian darinya, karena senantiasa bersamanya dan memperhatikannya.”

“Tentu saja.”

“Dan, temanku, kita harus percaya bahwa hal-hal badaniah ini adalah lamban dan berat, duniawi dan terlihat. Jiwa yang semacam demikian akan terbebani, dan ditarik kembali kepada dunia yang bisa dilihat karena takut kepada yang tidak terlihat dan kepada Hades, sehingga, seperti perkataan orang-orang, ia bergentayangan di antara tugu-tugu dan makam-makam, tempat beberapa bayangan hantu dari jiwa pernah terlihat, menjadi semacam gambaran-gambaran dari jiwa-jiwa yang berangkat tidak murni dari badan, jiwa-jiwa yang menyimpan sesuatu dari hal-hal yang bisa dilihat, sehingga mereka juga bisa dilihat.”

“Mungkin demikian, Socrates.”

“Mungkin, memang, Cebes. Mungkin mereka bukanlah jiwa-jiwa dari yang baik, tetapi yang buruk, yang terpaksa bergentayangan di tempat-tempat yang semacam demikian, sebagai pembalasan kepada cara hidup mereka yang buruk. Mereka bergentayangan lama, sampai, karena hasrat kepada hal-hal yang badaniah, yang lekat kepada mereka, mereka kembali terpenjara di dalam badan. Mereka mungkin akan terpenjara di dalam alamiah-alamiah yang memiliki sifat yang sama yang mereka dahulu miliki semasa hidup.”

“Maksudmu alamiah-alamiah apa, Socrates?”

“Misalnya, mereka yang memberikan diri mereka sendiri kepada kerakusan dan keburukan dan minum-minum, dan tidak ada meletakkan pengendalian di diri mereka, mungkin akan memasuki badan keledai atau binatang-binatang yang semacam itu. Apakah tidak demikian menurutmu?”

“Kamu mengatakan hal yang sangat mungkin.”

“Dan bahwa yang memiliki penilaian besar kepada ketidakadilan, tirani dan perampokan, akan memasuki jenis-jenis serigala, elang dan rajawali. Ke mana yang lain bisa kita katakan mereka pergi?”

“Tanpa ragu,” kata Cebes, “mereka memasuki makhluk-makhluk yang semacam ini.”

“Kemudian,” ia melanjutkan, “jelaslah ke mana semua yang lain akan pergi, masing-masing berdasarkan kebiasaan-kebiasaan mereka?”

“Tentu saja,” Cebes menjawab.

“Paling berbahagia dari antara mereka, dan yang pergi ke tempat yang terbaik, adalah mereka yang mengerjakan, dengan alamiah dan kebiasaan, tanpa filsafat ataupun alasan, kebaikan-kebaikan diri dan masyarakat, yang disebut sebagai kesahajaan dan keadilan?”

“Mengapa mereka ini paling berbahagia?”

“Bukankah mereka mungkin akan kembali ke dalam binatang-binatang yang berkaitan yang damai dan beradab, semacam lebah mungkin, atau tawon, atau semut, atau bahkan ke dalam jenis manusia yang sama lagi, dan dari ini menjadi orang-orang yang rendah hati?”

“Mungkin demikian.”

“Tetapi tidak seorangpun dari yang tidak mempelajari filsafat, dan yang tidak secara keseluruhan murni ketika berangkat, yang dibiarkan memasuki pertemuan dengan para dewa, tetapi hanya  pecinta kebijaksanaan. Untuk alasan inilah, teman-temanku Simmias dan Cebes, sehingga mereka yang berfilsafat secara benar, tidak menghadiri semua gairah badaniah, dan menjaga di dalam melakukan demikian, dan tidak menyerah terhadap mereka, bukan karena mereka takut kehilangan harta dan kemiskinan, sebagaimana kebanyakan manusia dan para pecinta uang; juga tidak karena takut tidak dihargai dan dicela, seperti mereka yang adalah para pecinta kekuatan dan kehormatan, sehingga mereka melakukan menghindar dari mereka.”

“Tidak, itu seperti bukan mereka, Socrates,” kata Cebes.

“Tentu saja tidak,” katanya. “Karena itulah, Cebes, mereka yang benar-benar peduli kepada jiwa mereka, dan tidak hidup di dalam melayani badan mereka, akan memunggungi semua orang ini dan tidak melalui jalan-jalan mereka, karena mereka mengetahui bahwa mereka jahil tentang tujuan mereka. Tetapi mereka meyakini bahwa filsafat, dengan pembebasan dan pemurniannya, harus tidak dilawan, sehingga mereka memberikan diri mereka kepada pengarahannya, mengikutinya ke manapun ia memimpin.”

“Bagaimana mereka melakukan ini, Socrates?”

“Aku akan memberitahukanmu,” ia menjawab. “Para pecinta kebijaksanaan mengetahui bahwa di saat pertama filsafat menguasai jiwa mereka, ia secara sederhana terikat dan terekatkan kepada badan, dan terpaksa melihat hal-hal melalui ini, seperti di balik jeruji penjara, dan tidak secara langsung oleh dirinya sendiri, dan karam di dalam kejahilan. Dan filsafat melihat bahwa hal yang paling mengerikan dari keterpenjaraan tersebut adalah, kenyataan bahwa ia disebabkan oleh gairah badaniah, sehingga sang tahanan adalah pembantu di dalam mengikat dirinya sendiri. Aku katakan, kemudian, para pecinta kebijaksanaan mengetahui bahwa filsafat, menerima jiwa di dalam keadaan ini, secara lembut mendampinginya, dan  mendorong untuk membebaskannya, dengan mempertunjukkan bahwa mata dan telinga dan indera-indera yang lain adalah penuh tipuan, dan berusaha membuatnya yakin supaya mengabaikan hal-hal ini dan berkonsentrasi ke dalam dirinya sendiri, dan supaya tidak percaya selain kepada dirinya sendiri dan pikiran abstrak yang dimilikinya terhadap keberadaan abstrak, dan percaya bahwa tidak ada apapun yang benar yang ia pandang melalui cara lain, dan yang berbeda-beda di bawah pertimbangan-pertimbangan yang berbeda-beda, karena hal dari macam ini adalah bisa dilihat dan dirasai oleh indera, sementara jiwa sendiri saja yang bisa melihat hal yang tidak bisa dilihat dan yang dirasai oleh pikiran. Jiwa filsuf sejati, karena itu, berpikir bahwa ia harus tidak melawan pembebasan ini, sehingga menghindar sejauh mungkin dari kesenangan-kesenangan dan gairah-gairah, kesedihan dan rasa takut, mempertimbangkan bahwa ketika siapapun secara keterlaluan gembira atau galau, bersedih atau terpengaruh oleh gairah, ia bukan hanya mengalami suatu keburukan dari hal-hal ini sebagaimana seseorang mungkin menduganya, semacam sakit atau membuang hartanya demi gairah-gairahnya; tetapi ia menderita keburukan yang paling besar dan yang paling keterlaluan, dan tidak menyadariya.”

“Tetapi apa keburukan ini, Socrates?” kata Cebes.

“Keburukan bahwa jiwa setiap orang yang terpaksa terlalu gembira atau bersedih tentang suatu hal, menganggap hal yang memengaruhinya secara kuat demikian adalah nyata dan benar, walaupun tidak demikian. Tetapi hal-hal ini kebanyakan adalah murah dan bisa dilihat, bukankah mereka demikian?”

“Tentu saja.”

“Di dalam keadaan ini, bukankah jiwa secara keseluruhan terbelenggu kepada badan?”

“Bagaimana demikian?”

“Karena setiap kenikmatan dan rasa sakit, memiliki sebuah paku, sebagaimana ia demikian, memaku jiwa kepada badan, dan merekatkannya kepadanya, sehingga ia menjadi badaniah, menganggap benar hal-hal apapun yang badan berikan. Karena membentuk pendapat-pendapat yang sama dengan badan, dan gembira di dalam hal-hal yang sama, ia terpaksa juga memiliki kebiasaan-kebiasaan yang sama dan cara hidup yang sama, sehingga ia tidak pernah bisa berangkat di dalam kemurnian menuju Hades, tetapi harus berangkat dari dicemari oleh badan, dan secara cepat jatuh kembali ke dalam badan yang lain dan tumbuh ke dalamnya, seolah-olah ia benih yang disemaikan. Karena itulah, ia terhindarkan dari semua hubungan dengan yang ilahiah dan murni dan mutlak.”

“Kamu berbicara secara benar, Socrates,” kata Cebes.

“Untuk alasan-alasan ini, karena itu, Cebes, mereka yang adalah pecinta sejati kepada kebijaksanaan adalah rendah hati dan tabah, dan bukan untuk alasan-alasan yang dikatakan oleh paling banyak orang. Apakah kamu berpikir seperti yang mereka lakukan?”

“Tentu saja tidak.”

“Tidak, karena jiwa filsuf tidak akan beralasan sebagaimana orang-orang yang lain, dan akan tidak berpikir bahwa filsafat membebaskannya, dan setelah terbebaskan memberikan dirinya sendiri lagi ke dalam belenggu kenikmatan-kenikmatan dan rasa sakit, dan menjadikan pekerjaannya hampa, seperti Penelope mengurai jaring yang ia telah sulam. Tidak, jiwanya percaya bahwa ia akan memeroleh kedamaian dari perasaan-perasaan ini, harus senantiasa mengikuti tuntunan alasan, dan selalu berusaha kepada ini, merenungkan yang benar dan ilahiah, dan tidak tunduk kepada pendapat, dan menjadikan itu sebagai satu-satunya makanannya. Ia percaya bahwa di dalam cara inilah seharusnya ia hidup, selagi hidup masih berjalan, dan bahwa ketika ia mati ia akan pergi kepada yang berkerabat dan seperti dirinya sendiri, dan terbebas dari keburukan-keburukan manusia. Jiwa yang diasuh di dalam jalan ini, Simmias dan Cebes, tidak akan khawatir bahwa saat berangkata dari badan, ia akan tertiup dan terburai oleh angin, dan tidak lagi memiliki keberadaan di manapun.”

Ketika Socrates telah berbicara demikian, ada keheningan beberapa lama. Socrates sepertinya memikirkan hal yang ia telah katakan, dan demikian juga paling banyak dari kami. Tetapi Cebes dan Simmias berbincang-bincang satu sama lain. Kemudian Socrates menatap mereka, dan berkata, “Apakah menurut kalian ada kekurangan apapun di dalam hal yang telah terkatakan? Ada banyak hal yang bisa menimbulkan keraguan dan banyak titik yang terbuka terhadap serangan, jika ada yang hendak menelusurinya. Jika kalian sedang mempertimbangkan beberapa bahan pembicaraan yang lain, aku tidak memiliki apapun untuk dikatakan; tetapi jika kalian sedang ragu tentang ini, janganlah kalian sungkan mengatakan dan membicarakannya di antara kalian sendiri, jika menurut kalian ada hal yang lebih baik bisa diucapkan terhadap pokok bahasan tersebut, dan libatkanlah aku di dalam perbincangan, jika kalian beranggapan bahwa kalian akan lebih baik ditemani aku.”

Simmias berkata, “Socrates, aku akan memberitahukanmu kebenaran. Untuk beberapa lama masing-masing kami ragu, dan mengatakan dan meminta kepada lainnya supaya mengajukan sebuah pertanyaan, karena kami berharap mendengarkan jawabanmu; tetapi kami sungkan untuk menyulitkanmu, karena mungkin akan tidak nyaman untukmu di dalam keadaanmu saat ini.”
Mendengar ini, ia tertawa pelan, dan berkata, “Wahai Simmias. Aku haruslah sukar membuat yakin orang-orang yang lain bahwa aku tidak menganggap keadaanku ini sebagai kemalangan, sejak aku tidak bisa membuat yakin bahkan kamu; tetapi kamu khawatir aku mungkin lebih murung sekarang daripada biasanya. Dan, kamu tampak menganggapku lebih rendah daripada para angsa dengan mempertimbangkan keilahian, yang biasa bernyanyi, dan ketika mereka mengetahui bahwa mereka harus mati, mereka semakin baik bernyanyi gembira akan berangkat kepada dewa yang mereka layani. Tetapi orang-orang melalui rasa takut mereka sendiri kepada kematian, berbohong tentang para angsa juga, dan mengatakan bahwa mereka bernyanyi sedih meratapi kematian mereka. Mereka tidak mempertimbangkan bahwa tidak ada burung yang bernyanyi saat lapar atau dingin, atau saat mengalami apapun sakit yang lain, tidak bahkan burung nightingale, atau burung layang-layang, atau burung hoopoe, yang mereka katakan bernyanyi meratap sedih. Aku tidak percaya mereka bernyanyi sedih, juga tidak para angsa, tetapi sejak mereka adalah burung-burung Apollo, mereka bernubuat, dan melihat berkat-berkat dari Hades, mereka bernyanyi dan bergembira di hari itu secara lebih baik daripada di waktu manapun sebelumnya. Tetapi aku juga menganggap diriku sebagai pelayan bersama para angsa, dan menyucikan dewa yang sama, dan menerima kekuatan nubuat dari tuan kami tidak lebih kurang daripada mereka, dan aku bukan berangkat dari kehidupan ini dengan semangat yang lebih kurang daripada mereka. Selagi ini dipertimbangkan, bicara dan ajukanlah pertanyaan yang kalian suka, sepanjang sebelas orang Athena mengijinkan.”

“Baik,” kata Simmias. “Aku akan memberitahukanmu keraguanku, kemudian Cebes di dalam gilirannya, alasan ia tidak menerima hal yang kamu telah katakan. Menurutku, Socrates, mungkin sama denganmu, mustahil atau sangat sukar untuk memeroleh pengetahuan yang jelas tentang persoalan ini. Di lain pihak, orang lemah tidak menguji hal yang telah terkatakan tentang mereka di dalam setiap jalan yang mungkin, berhenti sebelum menjelaskan mereka di setiap titik pandang, sampai lelah di setiap usaha. Karena ia seharusnya melakukan satu dari dua hal ini, ia harus belajar sampai mengetahui kebenaran tentang persoalan-persoalan ini, atau jika mustahil, ia harus menerima ajaran yang paling baik dan yang paling sukar disangkal. Berangkat di atas ini sebagai rakit, berlayar menggunakannya melintasi kehidupan di tengah bahaya-bahaya, kecuali ia bisa berlayar di atas kapal yang lebih kuat, suatu pencerahan ilahiah, dan menjadikan pelayarannya lebih aman. Sekarang aku tidak sungkan menanyaimu, sejak kamu memintaku melakukannya, tidak juga aku harus menyalahkan diriku sendiri karena tidak memberitahukanmu saat ini hal yang aku pikirkan. Karena Socrates, ketika aku mempertimbangkan persoalan tersebut, kedua-duanya sendirian dan dengan Cebes, hal yang telah terkatakan tidak tampak cukup memuaskan.”

Kemudian kata Socrates, “Mungkin kamu benar, temanku. Tetapi katakanlah kepadaku, ia tidak memuaskan di dalam hal apa?”

“Di dalam ini,” ia menjawab, “karena siapapun mungkin menggunakan argumen yang sama dengan mempertimbangkan harmoni dan lyre dan senar-senarnya. Seseorang mungkin mengatakan bahwa harmoni adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat dan tidak badaniah, sangat indah dan ilahiah, di dalam sebuah lyre yang dimainkan secara baik, tetapi lyre dan senar-senarnya adalah badan, bentuk yang badaniah, tercampur dan duniawi, dan berkerabat dengan yang fana. Ketika seseorang mematahkan lyre tersebut, atau memotong atau memutuskan senar-senarnya, bagaimana jika ia beralasan sepertimu bahwa harmoni tidak mungkin hancur dan harus tetap ada? karena tidak ada kemungkinan lyre masih ada ketika senar-senarnya telah diputuskan, dan bahwa senar-senar, yang adalah dari alamiah yang fana, harus hidup, tetapi harmoni, dari alamiah yang berhubungan dan berkerabat kepada yang ilahiah dan abadi, harus punah, dan binasa sebelum hal yang fana. Tetapi ia mungkin berkata bahwa harmoni harus hidup di suatu tempat, dan kayu dan senar-senar harus pudar sebelum terjadi perubahan apapun terhadapnya. Menurutku, Socrates, kamu telah sampai di kesimpulan ini, bahwa kita mempertimbangkan jiwa cukup mirip dengan ini, yaitu bahwa badan kita terpadatkan dan ditahan bersama oleh panas dan dingin, kekeringan dan kelembaban, dan mutu-mutu yang lain demikian, dan jiwa adalah gabungan dan harmoni dari hal-hal ini, ketika mereka dikombinasikan secara baik dan pantas dengan satu sama lain. Kemudian, jika jiwa adalah semacam harmoni, jelaslah bahwa ketika badan kita tidak secara pantas melemas atau meregang, melalui penyakit-penyakit atau kesukaran-kesukaran yang lain, jiwa seharusnya segera punah, walaupun ia paling ilahiah, sama seperti harmoni-harmoni yang lain yang hidup di dalam suara-suara atau di dalam berbagai pekerjaan para artisan, dan sisa dari badan setiap orang akan bertahan lama, sampai mereka dibakar atau memudar. Pertimbangkanlah, apa yang kita harus katakan kepada cara beralasan ini, jika siapapun mengatakan bahwa jiwa, gabungan dari beberapa mutu di dalam badan, punah pertama-tama di dalam hal yang kita sebut sebagai kematian.”

Kemudian Socrates memandang tajam kepada kami, sebagaimana yang ia biasa lakukan, ia tersenyum, dan berkata, “Simmias memang berbicara secara adil. Jika ada dari kalian lebih siap daripada aku, mengapa ia tidak menjawabnya? karena ia tampak menangani argumenku bukan secara buruk. Bagaimanapun, menurutku, sebelum menjawabnya, kita kita harus pertama-tama mendengarkan kesalahan yang ditemukan Cebes di dalam argumen kita, supaya kita memiliki beberapa waktu untuk mempertimbangkan hal yang kita harus katakan, dan kemudian setelah mendengarkan mereka, kita mungkin menyerah kepada mereka, jika mereka tampak berbicara secara cukup kepada kebenaran. Atau jika tidak, kita mungkin kemudian mempertahankan argumen kita sendiri. Datanglah, Cebes,” ia melanjutkan, “katakan apa yang mengganggumu, sehingga menyebabkan tidak percayamu.”

“Aku akan memberitahukanmu,” kata Cebes, “argumen tersebut tampak kepadaku tetap di tempatnya, dan masih terbuka terhadap keberatan yang dahulu aku telah katakan. Karena aku tidak menyangkal bahwa telah dibuktikan secara jelas, dan jika saya boleh mengatakan, telah dibuktikan secara penuh, jiwa kita ada sebelum datang ke dalam bentuk ini, tetapi belum dibuktikan bahwa jiwa tetap ada setelah kita mati. Aku tidak setuju dengan keberatan Simmias bahwa jiwa tidak lebih kuat dan tidak lebih tahan lama daripada badan, karena tampak kepadaku ia jauh melampaui semua hal yang semacam ini. ‘Kemudian mengapa,’ argumen mungkin mengatakan, ‘kamu masih tidak percaya, sejak kamu melihat bahwa setelah seseorang mati, bagian yang lebih lemah tetap ada? tidakkah tampak kepadamu perlu bahwa bagian yang lebih tahan lama harus tetap bertahan selama masa ini?’ Perhatikanlah jika jawabanku kepada ini memiliki suatu arti. Menurutku, seperti Simmias, aku bisa paling baik menjelaskan maksudku di dalam sebuah gambaran. Karena argumen tersebut tampak kepadaku telah diletakkan seperti jika seseorang berbicara tentang tukang tenun tua yang telah mati, bahwa orang tersebut belum binasa dan tetap ada di suatu tempat; dan sebagai sebuah bukti, ia memperlihatkan pakaian yang ia tenun sendiri dan yang ia biasa kenakan masih utuh dan tidak punah. Kemudian jika ada yang tidak percaya, ia akan menanyakan, manakah yang lebih tahan lama, manusia ataukah pakaian yang sering digunakan dan dikenakan? andai dijawab bahwa manusia jauh lebih tahan lama, ia akan berpikir ia telah membuktikan melampaui semua pertanyaan, bahwa orang tersebut selamat, sejak yang lebih kurang tahan lama tidaklah musnah. Tetapi menurutku ia tidak benar, Simmias, dan kamu lakukanlah pertimbangkan apa yang aku katakan. Siapapun bisa memahami bahwa ia yang menentang demikian, menentang secara bodoh. Karena tukang tenun ini, mengenakan dan menenun sangat banyak pakaian dan bertahan lebih lama daripada mereka, walaupun mereka banyak, tetapi menurutku ia binasa sebelum yang terakhir. Walaupun demikian, manusia tidaklah lebih rendah atau lebih lemah daripada sebuah pakaian. Dan Menurutku, penggambaran yangh sama bisa diberikan kepada jiwa dan badan, dan akan cukup pantas untuk mengatakan tentang mereka di dalam cara yang sama, bahwa jiwa bertahan lama, dani badan lebih lemah dan lebih kurang tahan lama. Dan seseorang mungkin mengatakan bahwa jiwa mengenakan banyak badan, terutama jika ia hidup lama. Karena jika badan senantiasa berubah dan hancur dan terurai sementara manusia tersebut masih hidup, tetapi jiwa tersebut secara berlanjutan menenun apa yang dikenakan, ia harus secara perlu mengikuti bahwa ketika jiwa terurai ia seharusnya sedang mengenakan pakaian terakhirnya, dan binasa sebelum ini saja, dan ketika jiwa binasa badan akan menunjukkan kelemahan alamiahnya, hilang membusuk. Sehingga kita tidaklah benar dengan merasa yakin terhadap kekuatan argumen ini, bahwa ketika kita mati jiwa kita tetap ada di suatu tempat. Karena, jika seseorang menerima bahkan lebih daripada kamu, bahwa bukan hanya jiwa kita ada sebelum kita lahir, tetapi bahkan setelah kita mati tidak ada apapun yang mencegah jiwa-jiwa dari beberapa kita dari tetap ada, dan melanjutkan ada setelahnya, dan dari menjadi lahir, dan mati lagi, karena jiwa sangat kuat sehingga bisa menjalani kelahiran yang berulang-ulang. Bahkan jika menerima ini, seseorang mungkin akan tidak menerima bahwa jiwa tidak memupuskan dirinya sendiri di dalam kelahirannya yang banyak, dan akhirnya musnah di dalam salah satu kematiannya. Tetapi ia akan berkata bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui kematian yang bagaimana, dan penguraian badan yang bagaimana, yang menjadi kehancuran jiwa, karena mustahil ada di antara kita yang mengetahuinya. Bagaimanapun, jika memang begini, maka setiap orang yang berprasangka baik kepada kematian yang mendatanginya adalah berprasangka baik secara bodoh, kecuali ia mampu membuktikan bahwa jiwa benar-benar abadi, dan tidak bisa hancur. Selain itu, ia seharusnya waspada bahwa jiwanya akan hancur di dalam perpisahannya dari badan, yang sedang datang.”


Kami semua, sebagaimana kami katakan satu sama lain setelahnya, merasa sangat tidak nyaman mendengarkan perkataan mereka. Karena kami dahulu teryakinkan oleh argumen sebelumnya, dan sekarang mereka melemparkan kami kembali ke dalam bingung dan tidak percaya, bukan hanya kepada argumen-argumen yang telah dikemukakan, tetapi juga kepada yang mungkin diajukan lebih lanjut. Mereka membuat kami khawatir jika penilaian kami tidak berharga, atau tidak ada kepastian yang bisa dicapai di dalam persoalan-persoalan ini.”

Echecrates: Demi para dewa, Phaedo. Aku memaklumimu, karena setelah mendengarkanmu, aku juga menanyai diriku sendiri. “Argumen apa lagi yang kita bisa percayai? Sejak argumen Socrates sangat meyakinkan, tetapi sekarang jatuh ke dalam tidak terpercaya.” Karena argumen ini, bahwa jiwa kita adalah semacam harmoni, selalu memberikan kesan yang sangat baik kepadaku, dan saat kamu menyebutkannya, ia mengingatkanku, bahwa aku dahulu meyakininya. Sekarang aku harus memulai lagi dari awal, untuk menemukan suatu argumen yang mungkin membuatku percaya bahwa jiwa dari seseorang yang mati tidaklah mati dengan badannya. Demi langit, katakanlah kepadaku bagaimana Socrates melanjutkan perbincangan tersebut, dan apakah ia juga, sebagaimana kamu dan yang lainnya mengakui, tampak gelisah, ataukah secara tenang mempertahankan argumennya? Apakah ia berhasil membelanya? Ceritakanlah semuanya kepadaku secara paling tepat sebagaimana yang kamu bisa.

Phaedo: Echecrates, aku sering mengagumi Socrates, tetapi aku belum pernah lebih kagum kepadanya lebih daripada saat itu. Kita tentu saja menduga ia memiliki jawaban yang siap, tetapi aku terutama mengagumi ini di dalam dirinya, pertama-tama, ia mendengarkan argumen dari orang-orang muda tersebut sangat secara manis, lembut, dan secara menghargai, ke dua, ia sangat secara cepat mendapati bagaimana kami terpengaruh oleh argumen-argumen mereka, dan yang akhir, keahliannya yang menyembuhkan kami dan, sebagaimana adanya, memanggil kami kembali dari pelarian dan takluk, dan memberanikan kami untuk mengangkat wajah, dan mengikutinya dan bergabung di dalam pengujiannya terhadap argumen tersebut.

Echecrates: Bagaimana ia melakukannya?

Phædo: Aku akan memberitahukanmu. Aku duduk di sisi kanannya, di sebuah tempat duduk yang rendah di samping dipannya, ia duduk cukup lebih tinggi daripada aku. Memukul kepalaku, dan memegang rambutku yang menggantung di leherku, karena ia biasanya sering bermain dengan rambutku. Ia berkata, “Mungkinkah, Phaedo, besok kamu akan memotong rambut ikal yang indah ini?”

“Aku menyangka demikian, Socrates,” kataku.

“Tidak jika kamu mengikuti nasihatku.”

“Apa yang aku harus lakukan?” Aku bertanya.

“Kamu akan memotong rambutmu hari ini, dan aku akan memotong rambutku, jika argumen kita mati dan kita tidak mampu membangkitkannya. Jika aku adalah kamu dan argumen tersebut lepas dariku, aku akan bersumpah, seperti Argives, tidak membiarkan rambutku tumbuh sampai aku membarui pertandingan, dan menaklukkan argumen Simmias dan Cebes.”

“Tetapi,” aku berkata, “bahkan Heracles mereka katakan tidak mampu menandingi dua.”

“Baik,” ia berkata, “panggillah aku untuk membantumu sebagai Iolaus-mu, selagi masih siang.”

“Aku memanggilmu untuk menolong,” kataku, “bukan sebagai Heracles memanggil Iolaus, tetapi sebagai Iolaus memanggil Heracles.”

“Sama saja,” ia menjawab. “Tetapi pertama-tama, biarkan kita berjaga terhadap sebuah bahaya.”

“Apa?” aku bertanya.

“Bahaya bahwa kita menjadi para pembenci argumen,” katanya, “sebagaimana orang-orang menjadi para pembenci manusia, karena tidak ada keburukan yang lebih besar bisa terjadi kepada siapapun daripada argumen. Tetapi kebencian kepada argumen dan kebencian kepada manusia kedua-duanya berasal dari sumber yang sama. Karena kebencian kepada manusia dihasilkan dari sangat memercayai seseorang tanpa pengetahuan yang cukup tentangnya. Kamu menganggapnya sebagai manusia yang benar dan baik dan setia, kemudian kamu menemukannya buruk dan tidak setia. Kemudian kamu mengalami lagi hal yang sama dengan seorang yang lain. Dan ketika seseorang sering mengalami ini, dan terutama dari mereka yang ia anggap sebagai yang terdekat dan teman-teman yang tersayang, ia berujung menjadi berada di dalam pertengkaran yang terus-menerus dan membenci setiap orang, dan menganggap bahwa sama-sekali tidak ada kebaikan di dalam siapapun. Tidakkah kamu memperhatikan bahwa ini terjadi juga?”

“Tentu saja,” aku menjawab.

“Bukankah memalukan?” ia berkata “Dan bukankah terbukti bahwa seseorang yang demikian berhubungan dengan manusia tanpa pengetahuan yang cukup tentang hubungan-hubungan manusia? Karena jika ia berhubungan dengan mereka dengan pengetahuan yang cukup, ia akan berpikir bahwa yang baik dan yang buruk masing-masing sangat sedikit jumlahnya, dan yang di antara keduanyalah yang banyak.”

“Apa maksudmu?” aku bertanya.

“Maksudku sebagaimana hal-hal yang sangat kecil dan yang sangat besar. Apakah menurutmu ada yang lebih langka daripada menemukan manusia yang sangat besar atau yang sangat kecil, atau anjing, atau makhluk apapun, atau lagi, satu yang sangat lincah atau lamban, sangat indah atau jelek, sangat putih atau hitam? Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa dari semua hal ini yang keterlaluan adalah langka dan sedikit, tetapi yang berada di ataranya adalah berlimpah?”

“Tentu saja,” aku menjawab.

 “Apakah kamu tidak berpikir,” ia melanjutkan, “bahwa jika diadakan sebuah perlombaan kekurangajaran, bahkan di sini sangat sedikit akan ditemukan pemenang?”

“Ia mungkin,” aku berkata.

“Ya, demikianlah,” katanya. “Tetapi bukan di dalam hal itu argumen menyerupai manusia, aku hanya mengikutimu sebagai pemimpinku di dalam mempertimbangkan itu. Kesamannya terletak di dalam ini, ketika seseorang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang argumen-argumen memercayai kebenaran sebuah argumen dan  setelah itu menganggapnya sebagai salah, benar-benar demikian ataupun tidak, dan ini terjadi berulang-ulang, kemudian kamu mengetahui, akhirnya orang-orang itu, terutama yang melewati waktu mereka di dalam perbantahan, menyangka diri mereka paling bijaksana dan mereka saja yang menemukan bahwa tidak ada yang baik atau pasti di dalam apapun, argumen atau apapun yang lain, tetapi semua hal naik dan turun seperti gelombang pasang di dalam Euripus, dan tidak ada yang tetap di waktu yang panjang.”

“Tentu saja,” aku berkata, “itu benar.”

“Kemudian, Phaedo,” ia berkata “jika ada argumen yang benar dan baik semacam yang seseorang bisa mengerti, akan menyedihkan jika seseorang, yang bertemu dengan beberapa dari argumen-argumen yang tampak kadang-kadang benar dan kadang-kadang salah, tidak menyalahkan dirinya karena kekurangan kemampuan, tetapi berujung di dalam kesedihannya, ia secara senang melemparkan penyalahan terhadap argumen-argumen, dan membenci dan mencaci mereka di sepanjang hidupnya, sehingga terhindarkan dari kebenaran dan pengetahuan tentang kenyataan.”

“Demi Zeus,” aku berkata, “memang akan menyedihkan.”

“Pertama, kemudian,” ia berkata, “biarkan kita waspada kepada ini, dan biarkan kita tidak menerima di dalam jiwa-jiwa kita pendapat bahwa sama-sekali tidak ada yang benar di dalam argumen-argumen. Biarkan kita lebih beranggapan bahwa kita belum di dalam keadaan yang benar, dan kita harus secara kuat dan secara giat berusaha menjadi demikian, kamu dan yang lainnya demi keseluruhan masa depan hidup kalian, dan aku untuk kematianku yang menunggu. Karena aku khawatir jika aku tidak di dalam bingkai filsafat, mempertimbangkan hal yang sekarang ini, tetapi hanya bertengkar, seperti orang-orang yang tidak berbudaya. Karena ketika mereka berselisih tentang apapun, mereka sama sekali tidak peduli kepada hal yang dibincangkan, tetapi hanya bersemangat untuk membuat pandangan-pandangan mereka tampak benar kepada para pendengar. Dan aku meyakini diriku berbeda dengan mereka kepada hal ini, aku harus tidak khawatir membuat perkataanku tampak benar kepada para pendengar, kecuali sebagai persoalan ke dua, tetapi harus lebih bersemangat untuk membuat percaya diriku sendiri. Karena lihatlah, teman-temanku, sangat penyendiri kebiasaanku. Jika perkataanku benar, ia baik untukku, tetapi jika tidak ada apapun yang tinggal kepada seseorang yang mati, paling tidak, aku tidak mejadi beban untuk teman-temanku dengan ratapan-ratapanku di saat-saat terkahir ini. Dan kejahilanku ini akan tidak berlanjut lama, untuk itu akan buruk, tetapi akan segera berakhir juga. Sehingga, Simmias dan Cebes,” ia melanjutkan, “aku sekarang melanjutkan argumen dengan pemikiran yang bersiap demikian. Tetapi kalian, jika kalian melakukan sebagaimana kuminta, berikanlah sedikit perhatian kepada Socrates, tetapi lebih banyak kepada kebenaran. Jika aku tampak kepada kalian mengatakan kebenaran, terimalah, tetapi jika tidak, lawanlah aku dengan setiap argumen yang kalian bisa kumpulkan, supaya di dalam usahaku aku tidak menipu kedua-duanya diriku sendiri dan kalian, dan seperti seekor lebah, berangkat meninggalkan sengatku yang melekat kepada kalian.”

“Biarkan kita melanjutkan,” ia berkata, “pertama-tama, ingatkan aku perkataan kalian, jika aku tampak melupakannya. Karena Simmias, sebagaimana aku pikir, ragu dan khawatir jika saja jiwa, walaupun lebih ilahiah dan indah daripada badan, harus musnah sebelumnya, sebagai sejenis harmoni. Tetapi Cebes tampak kepadaku memberikanku ini, bahwa jiwa lebih tahan lama daripada badan, tetapi ia membantah bahwa tidak pasti kepada setiap orang, jika jiwa telah mengenakan banyak badan dan bahwa secara berulang-ulang, ia tidak, saat meninggalkan badan yang terakhir, dirinya sendiri juga musnah, sehingga bahwa hal ini sajalah kematian, kehancuran jiwa, sejak badan tidak pernah berhenti memudar. Bukankah hal-hal ini, Simmias dan Cebes, yang kita akan pertimbangkan?”

Mereka kedua-duanya setuju.

“Sekarang,” ia melanjutkan, “apakah kalian menolak semua argumen kita yang sebelumnya, ataukah beberapa dari mereka saja, dan tidak yang lainya?”

“Beberapa kami melakukan,” mereka menjawab, “dan yang lainnya tidak.”

“Apa, kemudian,” ia melanjutkan, “yang kalian katakan tentang argumen yang kita memasukkan bahwa pengetahuan adalah kenangan, dan bahwa, ini halnya, jiwa kita harus secara perlu ada di suatu tempat sebelum ia terpenjara di dalam badan?”

“Aku,” Cebes menjawab, “teryakinkan secara mengagumkan olehnya di saat itu, dan aku masih memercayainya lebih daripada argumen apapun yang lain.”

“Dan aku, juga,” kata Simmias, “berpikir sama, dan harus sangat heran jika aku harus berpikir berbeda di titik itu.”

Dan Socrates berkata, “Kemudian, kamu harus berpikir lain, temanku orang Thebes, jika harmoni adalah sesuatu yang tersusun, dan bahwa jiwa adalah semacam harmoni yang dihasilkan dari bagian-bagian yang dipadatkan bersama-sama di dalam badan. Karena kamu tentu saja akan tidak menerima pernyataanmu sendiri bahwa sebuah harmoni yang tersusun, ada sebelum hal-hal yang darinya ia tersusun. Apakah kamu akan menerimanya?”

“Tentu saja tidak, Socrates.” Ia menjawab.

“Apakah kamu menyadari,” ia berkata, “bahwa ini dihasilkan dari hal yang kamu katakan, ketika kamu mengatakan bahwa jiwa ada sebelum datang ke dalam badan manusia, dan tersusun oleh hal-hal yang belum ada? Karena harmoni bukanlah semacam yang dimaksud oleh perbandinganmu. Lyre dan senar-senar dan suara-suara ada pertama-tama di dalam sebuah keadaan yang tidak bernada, dan harmoni yang terakhir ada, dan yang pertama-tama binasa. Kemudian bagaimana bisa kamu membawa argumen ini berharmoni dengan yang lain?”

“Sama sekali tidak bisa,” kata Simmias.

“Dan walaupun demikian,” ia berkata, “seharusnya ada harmoni di antaranya dan argumen tentang harmoni di atas semua yang lain.”

“Harus ada,” kata Simmias.

“Baik,” ia berkata, “tidak ada harmoni di dalam dua argument tersebut. Kamu memilih yang mana, pengetahuan adalah kenangan, ataukah jiwa adalah sebuah harmoni?”

“Yang lebih awal sejauh ini, Socrates,” ia menjawab; “untuk yang akhir tampak kepadaku tanpa penampakan, hanya tampak mungkin dan menarik, sehingga kebanyakan manusia menerimanya. Tetapi aku cukup memperhatikan bahwa argumen-argumen yang mengambil penampakan mereka dari kemungkinan-kemungkinan bersifat menipu; dan jika kita tidak di dalam pengawalan melawan mereka, mereka sangat menipu kita, di dalam geometri dan semua hal lain. Tetapi argumen tentang kenangan dan pengetahuan mungkin dikatakan tertampakkan oleh sebuah alur argumen yang baik. Karena kita setuju bahwa jiwa kita sebelum datang ke dalam badan, ada sebagai esensi yang disebut sebagai keberadaan yang mutlak. Aku yakin telah menerima esensi ini secara memadai dan dengan dasar yang baik. Sehingga aku tidak bisa menerima dari diriku sendiri ataupun dari orang-orang yang lain, pernyataan bahwa jiwa adalah harmoni.”

“Ada jalan mempertimbangkan yang lain, Simmias," katanya. "Apakah menurutmu harmoni atau hal yang tersusun apapun yang lain, bisa ada di dalam keadaan yang lain daripada keadaan hal-hal yang menyusunnya?”

“Tentu saja tidak.”

“Dan ia tidak bisa melakukan apapun, juga tidak menderita apapun yang lain daripada yang mereka lakukan atau derita?”

Ia setuju.

"Kemudian harmoni tidak bisa diharapkan memimpin hal-hal yang menyusunnya, tetapi mengikuti mereka."

Ia menerima.

“Sebuah harmoni, tidak mampu menggerakkan atau membuat sebuah suara atau melakukan apapun yang berlawanan dengan bagian-bagian yang menyusunnya?”

“Tidak mampu,” katanya.

“Apa, kemudian? Bukankah setiap harmoni adalah harmoni secara alamiah karena berharmoni?”

“Aku tidak mengerti maksudmu,” ia menjawab.

“Bukankah,” kata Socrates, “ia akan menjadi sebuah harmoni secara lengkap dan sebuah harmoni yang lebih besar, jika ia diharmonisasikan secara lebih penuh dan lebih jauh, menganggap itu mungkin, dan sebuah harmoni yang lebih kurang lengkap dan sebuah harmoni yang lebih kecil, jika lebih kurang diharmonisasikan dan lebih kurang jauh?”

“Tentu saja.”

“Apakah ini benar terhadap jiwa? Apakah jiwa seseorang adalah jiwa yang lebih penuh dan di dalam derajat yang lebih besar daripada jiwa yang lain, atau lebih kurang penuh dan derajat yang lebih kecil?”

“Tentu saja tidak,” ia menjawab.

“Baik, kemudian,” ia berkata, “Apakah satu jiwa dikatakan memiliki kecerdasan dan kebaikan, dan baik, dan yang lainya jahat, dan buruk? Dan apakah ini benar?”

“Tentu saja benar.”

“Sekarang, apa yang akan dikatakan oleh mereka yang mengatakan jiwa adalah harmoni, tentang hal-hal ini, kebaikan dan keburukan, yang di dalam jiwa? Apakah mereka akan mengatakan bahwa ini adalah jenis harmoni yang lain dan sumbang, dan mengatakan bahwa sebuah jiwa yang adalah harmoni, memiliki di dalam dirinya sendiri harmoni yang lain, tetapi jiwa yang lain adalah sumbang, dan tidak memiliki di dalam dirinya sendiri harmoni yang lain?”

“Aku tidak mampu mengatakan,” Simmias menjawab, “tetapi tampak bahwa mereka yang mengatakan itu akan mengatakan sesuatu yang semacam itu.”

“Tetapi kita setuju,” kata Socrates, “bahwa sebuah jiwa tidaklah lebih atau kurang daripada yang lainnya, dan ini sepadan dengan persetujuan bahwa sebuah harmoni bukan lebih besar atau lebih penuh, atau lebih kecil atau lebih kurang penuh daripada yang lainya. Bukankah demikian?”

“Tentu saja.”

“Dan harmoni yang tidak lebih atau kurang, tidak lebih atau kurang terharmonisasi. Apakah demikian?”

“Ia demikian.”

“Tetapi apakah harmoni yang tidak lebih besar dan tidak lebih kurang terharmonisasi, memiliki jumlah harmoni yang lebih besar atau lebih kurang, ataukah sejumlah yang sama?”

“Sejumlah yang sama.”

“Sebuah jiwa, karena itu, sejak ia tidak lebih banyak atau lebih kurang daripada jiwa yang lain, tidaklah lebih juga tidak kurang terharmonisasi?”

“Demikianlah.”

“Demikianlah, sehingga tidak bisa memiliki lebih banyak jumlah kesumbangan atau harmoni?”

“Tidak bisa.”

“Sehingga, satu jiwa tidak bisa memiliki jumlah yang lebih besar kebaikan atau keburukan daripada yang lainnya, jika keburukan adalah sumbang dan kebaikan adalah harmoni?”

“Tentu saja tidak.”

“Untuk berbicara secara tepat, Simmias, tidak ada jiwa yang bisa memiliki keburukan sama-sekali, jika jiwa adalah sebuah harmoni. Karena jika jiwa adalah harmoni seluruhnya, ia tidak bisa mengambil bagian di dalam kesumbangan.”

“Tentu saja tidak.”

“Kemudian jiwa, sebagai keseluruhan jiwa, tidak bisa mengambil bagian di dalam keburukan.”

“Bagaimana bisa, jika yang kita katakan benar?”

“Berdasarkan argumen ini, jika semua jiwa secara alamiah setara sebagai jiwa, semua jiwa makhkuk hidup akan setara baik.”

“Tampak demikian, Socrates,” katanya.

“Dan,” kata Socrates, “apakah menurutmu ini benar, dan argumen  akan menuntun kita kepada ujung ini, jika argumen bahwa jiwa adalah harmoni, adalah benar?”

“Tidak sedikitpun,” ia menjawab.

“Baik,” kata Socrates, “dari semua hal yang ada di dalam manusia, adakah yang memerintah kecuali jiwa, terutama jika ia bijaksana?”

“Aku harus berkata tidak.”

“Apakah ia mematuhi gairah-gairah di dalam badan, ataukah melawan mereka? Maksudku, misalnya, ketika panas dan haus hadir, bukankah jiwa mendorongnya ke arah yang berlawanan sehingga menghindarkannya dari minum, dan dari makan ketika ia lapar hadir, bukankah kita melihat jiwa melawan badan di dalam sepuluh ribu pemisalan yang lain?”

“Tentu saja.”

“Bukankah kita telah menyetujui sebelumnya bahwa jika jiwa adalah harmoni, ia akan tidak pernah meneriakkan suara yang berlawanan kepada tegagan, pelenturan, getaran, atau pengaruh apapun yang lain yang kepadanya bagian-bagiannya mengerjainya, tetapi akan mengikuti, dan tidak pernah memerintah mereka?”

“Ya, kita melakukannya”

“Apa, kemudian? Bukankah jiwa sekarang tampak bersikap cukup berbalikan, memerintah semua bagian yang darinya siapapun mungkin mengatakan ia tersusun, dan melawan mereka hampir di setiap hal di keseluruhan kehidupan, dan menegakkan kepemimpinan terhadap mereka di dalam semua macam jalan, menghukum beberapa secara keras bahkan dengan rasa sakit, oleh senam dan perobatan, dan yang lainnya secara lebih lembut; sebagian menggerogoti, dan sebagian menghancurkan gairah-gairah, rasa marah dan kekhawatiran, seolah-olah, ia sendiri dari alamiah yang berbeda, ia berbincang-bincang dengan sesuatu yang cukup berbeda? Seperti yang Homer tunjukkan di dalam Odyssey, saat ia membicarakan Odysseus, Setelah memukul dadanya, ia mencaci jantungnya: ‘Tanggunglah, jantungku, kamu pernah menanggung labih buruk daripada ini.’ Apakah kamu menyangka ketika ia menyusun ini, ia percaya bahwa jiwa adalah harmoni yang dipimpin oleh gairah-gairah badaniah, dan bukan lebih sesuatu yang pantas memimpin dan memerintah mereka, sebagai sesuatu yang jauh lebih ilahiah daripada sebuah harmoni?”

“Demi Zeus, Socrates, menurutku yang terakhir.”

“Karena itulah, temanku yang baik, tidak benar untuk kita megatakan bahwa jiwa adalah semacam harmoni. Karena sebagaimana tampak, kita harus tidak setuju dengan Homer, penyair suci itu, juga tidak dengan diri kita sendiri.”

“Demikianlah halnya,” katanya.

“Biarlah demikian, kemudian,” kata Socrates, “Harmonia dewi Thebes, tampak telah cukup memberkati kita. Tetapi bagaimana, Cebes, dan dengan argumen apa, kita bisa menemukan keberkatan Cadmus?”

“Menurutku,” Cebes menjawab, “kamu akan menemukan sebuah jalan, di tingkat apapun, kamu telah mengarahkan argumen ini melawan harmoni secara mengagumkan dan melampaui pengharapanku. Karena saat Simmias mengatakan keraguannya, aku sangat membayangkan jika ada yang akan mampu menandingi melawan argumennya, sehingga tampak menakjubkan ia tidak bisa bertahan terhadap serangan pertama argumenmu. Aku harus tidak terkejut jika argumen Cadmus bertemu dengan nasib yang sama.”

“Temanku,” kata Socrates, “janganlah berbicara terlalu besar, kalau tidak suatu kekuatan cemburu harus menggulingkan argumen yang akan datang. Hal-hal ini, bagaimanapun, dijaga oleh dewa. Tetapi biarkan kita, bertemu tangan ke tangan, di dalam cara Homer, menyerang musuh dan menguji nilai perkataanmu. Ini adalah kumpulan dari yang kamu syaratkan supaya dibuktikan, bahwa jiwa kita tidak bisa musnah dan abadi, jika seorang filsuf yang sedang akan mati, penuh oleh keyakinan dan harapan bahwa setelah kematian ia akan jauh lebih berbahagia daripada jika ia mati setelah melalui macam hidup yang berbeda, tidak merasakan keyakinan ini secara bodoh dan sia-sia. Dan walau kita memperlihatkan bahwa jiwa adalah sesuatu yang kuat dan ilahiah, dan bahwa ia ada sebelum manusia lahir, kamu mengatakan tidak member saksi kepada keabadian, tetapi hanya kepada kenyataan bahwa jiwa adalah tahan lama, dan ada di suatu tempat di rentang waktu yang sangat panjang sebelum kelahiran kita, dan mengetahui dan melakukan banyak hal. Walaupun demikian, ia tidak lebih abadi karena semua ini, tetapi saat masuknya ke dalam badan manusia adalah permulaan dari kehancurannya, seolah-olah ia adalah penyakit, sehingga ia melalui kehidupan ini di dalam keterpurukan, dan akhirnya binasa di dalam hal yang kita sebut sebagai kematian. Kamu mengatakan bahwa tidak membuat perbedaan ia datang ke dalam badan sekali ataupun sering, sepanjang mempertimbangkan kekhawatiran yang kita rasakan. Karena siapapun kecuali orang yang bodoh, harus khawatir, jika tidak mengetahui dan tidak bisa membuktikan bahwa jiwa adalah abadi. Demikianlah, Cebes, menurutku, perkataanmu, dan aku sengaja mengulanginya supaya tidak ada yang lepas dari kita, dan jika kamu suka, kamu mungkin menambahkan atau menguranginya.”

Cebes menjawab, “Aku saat ini tidak berharap mengurangi ataupun menambahinya. Kamu telah mengungkapkan maksudku.”

Socrates berhenti beberapa lama, dan mempertimbangkan sesuatu di dalam dirinya sendiri. Kemudian ia berkata, “Kamu mencari ke dalam hal yang bukan mudah, Cebes, karena pertanyaan tentang generasi dan korupsi, harus diselidiki secara lengkap. Jika kamu suka, kemudian, aku akan menceritakan pengalamanku di dalam persoalan tersebut. Kemudian jika ada perkataanku yang berguna untukmu, gunakanlah untuk menyelesaikan kesukaranmu.”

“Aku memang mengharapkan mendengarkan pengalamanmu,” Cebes menjawab.

“Dengarkanlah ceritaku, kemudian. Ketika aku muda, Cebes, aku secara luar biasa mengingini kebijaksanaan yang mereka sebut sebagai sejarah alam. Aku menganggap sangat tinggi untuk mengetahui sebab-sebab dari semua hal, mengapa setiap hal terjadi, mengapa ia musnah, dan mengapa ia ada. Dan aku sering melambungkan diriku sendiri naik dan turun, mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, apakah panas dan dingin melalui sebuah fermentasi membentuk binatang-binatang, seperti dikatakan orang-orang? Apakah darah, atau udara, atau api, yang kita gunakan untuk berpikir? ataukah tidak ada dari hal-hal ini, dan apakah otak menghasilkan penggambaran dari pendengaran, penglihatan, dan penciuman, dan apakah ingatan dan pendapat datang dari hal-hal ini, dan apakah pengetahuan datang dari ingatan dan pendapat di dalam sebuah keadaan istirahat? Dan, lagi, aku mencoba menemukan bagaimana hal-hal ini binasa, dan aku menyelidiki fenomena langit dan bumi sampai akhirnya aku mengukuhkan pikiranku bahwa aku secara alamiah tidak sesuai dengan penyelidikan semacam ini dan bahwa tidak ada yang mungkin bisa demikian. Aku akan memberikan kepadamu sebuah bukti yang memadai. Karena aku benar-benar terbutakan oleh pembelajaran-pembelajaran ini, sehingga aku kehilangan pengetahuan yang aku, dan orang-orang yang lain, menyangka memilikinya sebelumnya, aku melupakan hal yang dahulu aku percaya aku mengetahui tentang banyak hal, dan bahkan melupakan tentang penyebab manusia bertumbuh. Karena sebelumnya, aku menyangka jelas kepada setiap orang bahwa manusia bertumbuh karena makan dan minum; karena, ketika, dari makanan yang ia makan, daging ditambahkan kepada daging, tulang kepada tulang, dan demikian seterusnya di dalam perbandingan yang sama, apa yang pantas kepada mereka ditambahkan kepada beberapa bagian yang lain, kemudian badan yang kecil menjadi lebih besar, dan manusia yang kecil menjadi besar. Demikianlah pendapatku saat itu. Apakah ia tampak benar kepadamu?”

“Kepadaku ia demikian,” kata Cebes.

“Pertimbangkan ini lebih lanjut. Aku menyangka bahwa aku telah membentuk sebuah pendapat yang benar, ketika melihat seorang yang tinggi berdiri di samping yang pendek, aku menilai bahwa ia lebih tinggi oleh kepala, dan sekor kuda lebih tinggi oleh kepala daripada yang lainnya. Dan, yang secara lebih jelas daripada ini, sepuluh tampak kepadaku lebih daripada delapan oleh menambahkan dua kepada mereka, dan bahwa dua cubit lebih besar daripada satu cubit oleh melebihinya separuh.”

“Tetapi sekarang,” kata Cebes, “apa pikiranmu tentang hal-hal ini?”

“Demi Zeus!” kata ia, “aku jauh dari berpikir bahwa aku mengetahui penyebab hal-hal ini, aku yang bahkan tidak berani mengatakan, ketika satu ditambahkan kepada satu, apakah satu yang ditambahi menjadi dua, ataukah satu yang ditambahkan menjadi dua, ataukah satu yang ditambahkan dan satu yang ditambahi menjadi dua oleh panambahan dari satu kepada yang lainnya. Untuk aku membayangkan jika, ketika masing-masing ini terpisah dari yang lainnya, masing-masing adalah satu, dan mereka bahkan tidak dua, dan ketika mereka didekatkan satu sama lain, pendekatan ini menjadi penyebab mereka menjadi dua. Aku tidak bisa percaya bahwa jika satu dibagi, pembagian ini menyebabkannya menjadi dua, karena ini adalah kebalikan dari penyebab yang menghasilkan dua di kejadian yang sebelumnya. Dahulu, dua terjadi karena karena mereka didekatkan satu sama lain, dan satu ditambahkan kepada yang lain, tetapi sekarang karena dipindahkan dan dipisahkan dari yang lain. Bahkan, berdasarkan cara ini, aku tidak lagi percaya bahwa aku mengetahui mengapa satu adalah satu, atau di dalam kata lain, mengapa semua hal lain dihasilkan, atau binasa, atau ada; dan aku tidak lagi memercayai cara ini, tetapi aku memiliki sebuah cara membingungkan yang lain milikku sendiri.”

“Tetapi, suatu kali aku mendengar seseorang membaca dari sebuah buku, yang katanya, ditulis oleh Anaxagoras, bahwa kecerdasanlah yang mengatur dan menyebabkan semua hal. Aku gembira argumen penyebab ini, dan tampak kepadaku di dalam sebuah cara benar bahwa kecerdasan harus menjadi penyebab semua hal, dan aku berpikir, ‘Jika ini demikian, bahwa kecerdasan yang mengatur hal-hal, mengatur segala sesuatu dan mendirikan setiap hal di dalam jalan yang terbaik untuknya. Sehingga, jika seseorang hendak menemukan penyebab dari generasi atau kehancuran atau keberadaan suatu hal tertentu, ia harus semua hal, di dalam jalan apa ia dihasilkan, atau binasa, atau ada, ia harus mencari di dalam jalan apa paling baik untuknya ada, atau menderita, atau melakukan apapun. Sehingga dengan mempertimbangkan suatu hal tertentu tersebut, dan juga hal-hal yang lain, seseorang tidak perlu menjelaskan apapun kecuali apa yang paling bagus dan paling baik. Karena dengan demikian ia akan juga mengetahui apa yang lebih rendah, sejak ilmu tentang keduanya adalah sama.’ Saat mempertimbangkan hal-hal ini, aku gembira memikirkan bahwa aku telah menemukan seorang guru di dalam Anaxagoras, tentang penyebab hal-hal yang sesuai dengan pemikiranku, dan aku berpikir bahwa ia akan memberitahukan-ku jika bumi adalah datar ataukah bundar, dan ketika ia telah memberitahukan-ku hal itu, akan lebih lanjut, menjelaskan penyebab dan keperluannya, dan akan memberitahukan kepadaku alamiah terbaik dan mengapa terbaik untuk bumi sebagaimana adanya. Dan jika ia mengatakan bahwa bumi adalah di dalam pertengahan, ia akan lebih lanjut menjelaskan mengapa paling baik untuk bumi di dalam pertengahan. Dan aku membangun pikiranku bahwa jika ia menjelaskan hal-hal tersebut kepadaku, aku bersedia untuk tidak lagi mencari penyebab yang lain. Aku memutuskan bahwa aku akan bertanya secara demikian tentang matahari dan bulan dan bintang-bintang yang lain, kecepatan-kecepatan mereka di dalam perbandingan antara satu sama lain, dan peredaran-peredaran mereka dan keadaan-keadaan yang lain, dan mengapa paling baik untuk masing-masing mereka bersikap dan terpengaruh sebagaimana adanya. Karena aku tidak pernah membayangkan bahwa setelah ia mengatakan hal-hal ini terpasang oleh kecerdasan, ia akan memperkenalkan penyebab lain apapun untuk hal-hal ini daripada bahwa paling baik untuk mereka menjadi sebagaimana adanya. Sehingga aku berpikir bahwa setelah ia menentukan setiap hal dan semua hal secara umum, ia akan melanjutkan menjelaskan apa yang paling baik untuk masing-masing, apa yang baik untuk semuanya secara umum. Aku sangat menghargai tinggi harapanku, dan aku mengangkat bukunya dengan bersemangat dan membacanya secepat yang aku bisa, supaya aku sesegera mungkin mengetahui tentang yang paling baik dan yang paling buruk.”

“Harapanku yang tinggi ini, temanku, segera terenggut dariku. Saat aku melanjutkan bacaanku, aku melihat orang tersebut tidak menggunakan kecerdasan, dan tidak memberikan penyebab apapun untuk pengaturan hal-hal, tetapi menyebutkan penyebab-penyebab terdiri dari udara, ether, dan air, dan banyak hal lain yang sama absurdnya. Dan tampak kepadaku sangat seperti jika seseorang mengatakan bahwa apapun yang Socrates lakukan ia melakukannya oleh kecerdasan, kemudian saat menggambarkan penyebab dari masing-masing tindakan tertentu yang aku lakukan, ia mengatakan bahwa aku duduk di sini karena tubuhku terdiri dari tulang-tulang dan urat-urat dan bahwa tulang-tulang adalah keras dan memiliki sendi-sendi yang memisahkan mereka, dan urat-urat bisa melentur dan meregang, dan menutupi tulang bersama-sama dengan daging dan kulit yang mengandung mereka. Sehingga, saat tulang-tulang menggantung lepas di sendi-sendi, urat-urat yang melentur dan meregang memungkinkanku meliukkan tungkaiku sebagaimana yang sekarang aku lakukan, dan itulah penyebab aku duduk di sini dengan kaki meliuk. Atau seperti jika ia meletakkan penyebab-penyebab yang serupa untuk aku bercakap-cakap denganmu, suara dan udara dan pendengaran dan sepuluh ribu hal lain yang semacam demikian, dan abai menyebutkan penyebab-penyebab yang sebenarnya, yaitu, bahwa sejak tampak lebih baik kepada orang-orang Athena untuk menghukumku, aku karena itu memutuskan bahwa lebih baik untuk aku duduk di sini, dan menjalani hukuman apapun yang mereka perintahkan.”

“Karena, demi anjing, aku yakin bahwa otot-otot dan daging-daging ini telah sejak lama di Megara atau Boeotia, dibawa ke sana oleh pendapat tentang apa yang paling baik, jika aku tidak menganggap bahwa lebih baik dan lebih terhormat untuk menjalani hukuman apapun yang kota perintahkan daripada membebaskan diri dan melarikan diri. Tetapi paling absurd untuk menyebut hal-hal tersebut sebagai penyebab-penyebab. Jika seseorang mengatakan bahwa aku tidak bisa melakukan hal yang aku anggap baik, tanpa memiliki hal-hal semacam tulang-tulang dan otot-otot dan apapun yang lain yang aku miliki, ia akan benar. Tetapi untuk mengatakan bahwa hal-hal tersebut adalah penyebab aku melakukan sebagaimana yang aku lakukan, dan bahwa aku bertindak dengan kecerdasan tetapi bukan dari memilih yang terbaik, akan menjadi cara berbicara yang sangat tidak berhati-hati. Siapapun yang berbicara demikian, tidaklah mampu untuk membedakan dan melihat bahwa sebenarnya sebuah penyebab adalah suatu hal, dan hal yang tanpanya penyebab tidak bisa menjadi penyebab adalah sebuah hal yang lain. Tampak kepadaku bahwa kebanyakan manusia, meraba-raba di dalam kegelapan, sebagaimana adanya, dan memberikan sebuah nama yang tidak sesuai. Sehingga satu orang membuat bumi tetap di bawah langit dengan meletakkan pusaran yang meliputi bumi, dan orang lain menganggap bumi sebagai dataran yang di sebuah pondasi udara. Tetapi mereka tidak mencari kekuatan yang menyebabkan hal-hal ini terletak sebagaimana sekarang sebagai letak yang paling baik untuk mereka, tetapi mereka berpikir mereka akan menemukan Atlas yang lebih kuat dan lebih abadi dan lebih memeluk daripada ini, dan kenyataannya mereka tidak memedulikan kebaikan, yang memeluk dan menahan semua hal bersama-sama. Aku akan senang menjadi murid kepada siapapun yang akan mengajarkanku alamiah dari penyebab yang semacam demikian. Tetapi sejak mereka menolakku, dan aku tidak mampu menemukannya sendiri atau mempelajarinya dari orang lain, apakah kamu berharap, Cebes, bahwa aku mempertunjukkan kepadamu di dalam jalan apa aku melakukan pelayaran ke duaku di dalam pencarian penyebab?”

“Aku sangat mengharapkannya,” ia menjawab.

“Setelah ini,” kata ia, “sejak aku telah menyerah dari menyelidiki kenyataan-kenyataan, aku memutuskan untuk waspada untuk tidak mengalami sebagaimana mereka yang memandang dan memperhatikan gerhana matahari, karena beberapa mereka kehilangan penglihatan mata mereka, kecuali mereka memandangnya di dalam wadah air, atau suatu hal yang semacam itu. Aku memikirkan itu, dan aku khawatir jika jiwaku terbutakan melalui memandang hal-hal ini dengan mata, dan berusaha mencapai mereka dengan menggunakan beberapa inderaku. Sehingga aku merasa harus meminta pertolongan kepada alasan-alasan, dan  mempertimbangkan di dalam mereka kebenaran dari kenyataan-kenyataan. Perumpamaan milikku mungkin tidak cukup tepat, karena aku tidak serta-merta menerima bahwa ia yang mempertimbangkan hal-hal di dalam alasan-alasan memandang di dalam gambar-gambar mereka lebih daripada ia yang memandang mereka di dalam kenyataan keseharian. Bagaimanapun, itulah jalanku memulai. Aku beranggapan di dalam alasan yang aku pertimbangkan sebagai yang paling kuat, hal apapun yang tampak kepadaku bersesuaian dengan ini, di dalam mempertimbangkan penyebab dan setiap hal yang lain, aku anggap sebagai benar, tetapi yang tidak bersesuaian aku anggap sebagai tidak benar. Tetapi aku berharap menjelaskan maksudku di dalam sebuah cara yang lebih jelas, karena aku berpikir bahwa kamu belum memahamiku.”

“Tidak terlalu baik,” kata Cebes.

“Baik,” ia melanjutkan, “maksudku ini. Bukan hal yang baru, tetapi hal sama yang aku selalu katakan, di awal pembicaraan ini dan di lainnya. Aku berusaha menjelaskan kepadamu alamiah dari penyebab yang aku telah menyibukkan diriku sendiri tentangnya, dan aku akan kembali kepada pokok-pokok bahasan kita tersebut, dan berangkat dari mereka dan beranggapan bahwa ada hal-hal semacam keindahan mutlak dan kebaikan dan kebesaran dan sebagainya. Jika kamu mengakui ini dan menyetujui bahwa hal-hal ini ada, aku percaya bahwa aku harus mampu menjelaskan penyebab kepadamu, dan membuktikan bahwa jiwa adalah abadi.”

“Kamu mungkin menganggap,” kata Cebes, “bahwa aku mengakui ini, dan lanjutkanlah.”

“Kemudian,” ia berkata, “lihatlah jika kamu setuju denganku di langkah yang selanjutnya. Menurutku, jika ada yang indah selain keindahan mutlak, ia tidaklah indah untuk alasan apapun kecuali karena ia mengambil bagian dari keindahan mutlak, dan ini sama tentang semua hal. Apakah kamu menerima penyebab yang semacam demikian?”

“Aku menerimanya,” ia menjawab.

“Aku belum mengerti,” ia melanjutkan, “juga tidak aku mampu menyusun, peyebab-penyebab yang bijaksana yang lain itu. Tetapi jika siapapun memberitahukanku bahwa suatu hal adalah indah karena warnanya yang indah, atau bentuknya atau atau apapun yang lain yang semacam demikian, aku membuyarkan semua itu, karena semua itu membuatku bingung, dan aku secara sederhana, secara keseluruhan, dan mungkin secara bodoh, mengikatkan diriku kepada ini, bahwa tidak ada yang lain yang menyebabkan indah kecuali kehadiran atau hubungan dengan keindahan mutlak, dicapai dengan cara apapun dan di dalam jalan apapun. Tentang caranya terjadi, aku belum bisa mengukuhkan ini dengan kepastian, tetapi aku bersiteguh bahwa hal-hal yang indah menjadi indah karena keindahan. Karena menurutku inilah jawaban yang paling aman untuk diberikan kepada kedua-duanya diriku sediri dan yang lainya, dan jika aku melekatkan diriku kepada ini, aku berpikir bahwa aku akan tidak pernah jatuh. Aku percaya bahwa aman untuk aku atau siapapun yang lain memberikan jawaban ini, bahwa hal-hal yang indah menjadi indah karena keindahan. Apakah kamu setuju?”

“Aku setuju.”

“Dan hal-hal adalah besar dan hal-hal adalah lebih besar, lebih besar oleh kebesaran. Dan hal-hal yang lebih kecil, lebih kecil oleh kekecilan?”

“Ya.”

“Kamu akan tidak menerima, jika kamu diberitahukan bahwa seseorang lebih besar atau lebih kecil daripada yang lainnya oleh kepala, tetapi kamu akan bersiteguh bahwa kamu mengatakan bahwa setiap hal yang lebih besar adalah lebih besar daripada yang lain oleh bukan apapun selain kebesaran, dan bahwa ia lebih besar karena kebesaran; dan bahwa hal yang lebih kurang adalah lebih kurang oleh bukan apapun selain kekecilan, dan lebih kecil karena kekecilan. Kamu akan khawatir, menurutku, menjumpai suatu argumen keras yang melawanmu, jika kamu mengatakan bahwa seseorang lebih besar atau lebih kecil oleh kepala. Sehingga, pertama-tama, yang lebih besar adalah lebih besar, dan yang lebih kecil adalah lebih kecil, oleh hal yang serupa; dan ke dua, bahwa orang yang lebih besar adalah lebih besar oleh kepala, yang kecil, dan bahwa mengerikan untuk menganggap siapapun lebih besar oleh sesuatu yang kecil. Apakah kamu akan tidak khawatir terhadap ini?”

Cebes tertawa, dan berkata, “Memang, aku harus.”

“Kemudian,” ia melanjutkan, “kamu akan khawatir mengatakan bahwa sepuluh lebih daripada delapan oleh dua, dan inilah alasan ia melebihinya. Kamu akan mengatakan ia lebih oleh bilangan dan oleh alasan bilangan, dan bahwa dua cubit adalah lebih besar daripada satu cubit bukan oleh separuh, tetapi oleh kebesaran, bukankah kamu akan demikian? Karena sama kekhawatirannya.”

“Tentu saja,” ia menjawab.

“Kemudian, jika satu ditambahkan kepada satu, atau jika satu dibagi, kamu akan menghindar dari mengatakan bahwa penambahan atau pembagian tersebut adalah penyebab keduanya? Kamu secara lantang mengatakan bahwa kamu tidak ada mengetahui jalan lain yang di dalamnya setiap hal mendatangi keberadaan, daripada mengambil bagian di dalam esensi yang pantas untuk masing-masing yang di dalamnya ia mengambil bagian, sehingga kamu tidak bisa memberikan penyebab yang lain dari keberadaan dua daripada mengambil bagian di dalam dualitas, dan hal-hal yang akan menjadi dua harus mengambil bagian di dalam dualitas, dan apapun yang akan menjadi satu harus mengambil bagian di dalam persatuan, dan kamu akan tidak memperhatikan pembagian-pembagian dan penambahan-penambahan dan kepelikan-kepelikan yag lain yang semacam ini, kamu akan meninggalkan mereka untuk dijelaskan oleh yang lebih bijaksana. Kamu akan tidak memercayai pengalamanmu, dan kamu akan khawatir, seperti kata peribahasa, terhadap bayanganmu sendiri, sehingga kamu akan melekatkan diri kepada hipotesis kita tersebut dan akan menjawab sebagaimana aku lakukan. Jika seseorang membantah hipotesis milikmu ini, kamu akan membubarkannya, dan menahan diri dari menjawabnya sampai kamu mempertimbangkan akibat-akibatnya, apakah bersetuju ataukah berbeda dari satu sama lain? Tetapi ketika kamu harus menjelaskannya, kamu akan memberikannya di dalam jalan yang serupa, oleh kembali meletakkan hipotesis yang lain, yang harus tampak paling baik dari ajaran-ajaran yang lebih tinggi, dan demikianlah sampai kamu mencapai satu yang memuaskan. Kamu akan menghindar dari membuat kebingungan, seperti para pembuat perselisihan, di dalam membicarakan permulaan dan akibat-akibatnya, jika kamu berharap menemukan apapun dari kenyataan-kenyataan, karena mungkin tidak ada walau seorangpun dari mereka yang memedulikan atau memikirkan hal-hal ini. Mereka sangat cerdas sehingga mengaduk semua hal bersama-sama, dan di saat yang sama memuaskan diri mereka sendiri. Tetapi jika kamu adalah filsuf, kupikir, kamu akan bersikap sebagaimana yang sekarang aku gambarkan.”

“Kamu berbicara benar,” kata Simmias dan Cebes bersama-sama.

Echecrates: Demi Zeus, Phaedo, mereka berkata demikian dengan alasan yang baik. Karena ia tampak kepadaku telah menjelaskan hal-hal ini dengan kejelasan yang sangat baik, bahkan kepada seorang yang dianugerahi dengan derajat kecil kecerdasan.

Phaedo: Tetu saja, Echecrates, dan tampak demikian juga kepada semua yang hadir.

Echecrates: Dan demikian juga ia tampak kepadaku, yang tidak hadir, dan sekarang mendengarnya diceritakan. Tetapi apa yang dikatakan setelah ini?

Phaedo: Seingatku, setelah semua ini diterima, dan mereka setuju bahwa ada setiap mutu mutlak, dan bahwa hal-hal yang mengambil bagian di dalam hal-hal ini mendapatkan nama-nama mereka dari sana, Socrates kemudian bertanya, “Jika kamu menerima ini, ketika kamu mengatakan bahwa Simmias lebih besar daripada Socrates dan lebih kecil daripada Phaedo, bukankah kamu mengatakan bahwa kebesaran dan kekecilan ada di dalam Simmias?”

“Ya.”

“Tetapi,” ia berkata, “kamu setuju bahwa pernyataan yang mengatakan bahwa Simmias lebih besar daripada Socrates bukanlah benar-benar sebagaimana dikatakan oleh pernyataan tersebut. Karena Simmias bukan lebih besar daripada Socrates karena ia adalah Simmias, tetapi oleh alasan kebesaran yang kebetulan ia miliki, juga tidak ia lebih besar daripada Socrates karena Socrates adalah Socrates, tetapi karena Socrates memiliki kekecilan relatif kepada kebesarannya?”

“Benar.”

“Juga, Simmias bukanlah lebih kecil daripada Phaedo, karea Phaedo adalah Phaedo, tetapi karena Phaedo memiliki kebesaran dibandingkan dengan kekecilan yang dimiliki Simmias?”

“Benar.”

“Kemudian, Simmias disebut sebagai kecil dan besar, saat ia di antara dua, melebihi kekecilan dari yang satu oleh melampauinya di dalam ketinggian, dan kepada yang lain memiliki kebesaran yang melebihi kekecilan-nya.” Dan di saat yang sama, ia tersenyum, dan berkata, “Aku berbicara seperti penulis hukum, tetapi ia adalah sebagaimana aku katakan.”

Simmias setuju.

“Aku berbicara begitu karena mengharapkanmu berpendapat sama denganku. Karena tampak kepadaku, bukan hanya bahwa kebesaran itu sendiri tidak pernah cenderung menjadi besar dan kecil di saat yang sama, tetapi bahwa kebesaran di dalam kita tidak pernah menerima yang kecil juga tidak membiarkan dirinya terlampaui. Satu dari dua hal harus terjadi, ia pergi dan diambil ketika kebalikannya, kekecilan, mendekatinya, atau ia musnah saat kekecilan mendatanginya. Tetapi ia akan tidak menyambut dan menerima kekecilan, sehingga menjadi berbeda daripada dulunya. Sehingga aku menyambut dan menerima kekecilan dan tetap orang kecil sebagaimana diriku, tetapi kebesaran di dalam diriku, sebagai besar, tidak pernah mengalami menjadi kecil. Di dalam jalan yang sama, kekecilan di dalam kita akan tidak pernah cenderung atau menjadi besar, juga tidak apapun kebalikan-kebalikan yang lain, saat ia melanjutkan sebagai dirinya, di saat yang sama cenderung dan menjadi kebalikannya. Ia pergi atau hilang keberadaannya, di dalam perubahan tersebut.”

“Ia tampak demikian kepadaku,” kata Cebes, “di dalam setiap pertimbangan.”

Tetapi seseorang dari yang hadir, saat mendengar ini, aku tidak secara jelas mengingat siapa ia, berkata, “Demi para dewa! Bukankah kebalikan dari yang sekarang ditambahkan ini, telah diterima di awal perbincangan  kita, bahwa yang lebih besar dihasilkan dari yang lebih kecil, dan yang lebih kecil dari yang lebih besar, dan di dalam kata lain, bahwa setiap perhasilan kebalikan-kebalikan adalah dari kebalikan-kebalikan? Tetapi sekarang kita tampak mengatakan bahwa ini tidak bisa terjadi.”

Socrates mencondongkan kepalanya ke satu sisi untuk mendengarkan. Kemudian Ia berkata, “Kamu berbicara secara laki-laki. Bagaimanapun, kamu tidak melihat perbedaan di atara perkataan yang sekarang dengan yang dahulu. Karena dahulu dikatakan bahwa hal-hal yang padat dihasilkan dari kebalikan; tetapi sekarang kita mengatakan, bahwa sebuah kebalikan tidak pernah bisa menjadi kebalikannya sendiri. Dahulu, temanku, kita membicarakan hal-hal yang memiliki mutu-mutu kebalikan yang dinamai mengikuti mereka, tetapi sekarang kita membicarakan kebalikan-kebalikan yang memberikan nama kepada hal-hal, kita mengatakan bahwa hal-hal yang akhir ini tidak pernah bisa dihasilkan dari satu sama lain.” Di saat yang sama, ia memandang Cebes, dan berkata, “Adakah yang mengganggumu, dari apapun keberatan teman-teman kita?”

“Tidak,” kata Cebes, “tidak di saat ini, walaupun, aku mengakui bahwa keberatan-keberatan sering menggangguku.”

“Kemudian,” ia melanjutkan, “kita telah cukup bersetuju kepada ini, bahwa sebuah kebalikan tidak pernah bisa menjadi kebalikan dirinya sendiri.”

“Setuju secara keseluruhan,” ia menjawab.

“Sekarang,” ia berkata, “pertimbangkan jika kamu akan setuju denganku di dalam ini juga. Apakah kamu menyebut panas dan dingin sebagai sesuatu?”

“Aku melakukan.”

“Sama dengan salju dan api?”

“Demi Zeus, aku tidak melakukan demikian.”

“Tetapi panas adalah sesuatu yang berbeda dari api, dan dingin sesuatu yang berbeda dari salju?”

“Ya.”

“Tetapi ini, aku pikir, jelas kepadamu. Bahwa salju, sebagaimana kita katakan sebelumnya, jika ia menerima panas, akan tidak melanjutkan sebagai dirinya, yaitu salju dan panas, tetapi saat terdekati oleh panas, ia harus pergi atau binasa?”

“Tentu saja.”

“Seperti api, ketika dingin mendekatinya, harus pergi atau binasa. Ia akan tidak pernah mengalami, ketika ia menerima dingin, tetap sebagai api sebagaimana sebelumnya, dan juga dingin?”

“Kamu berbicara benar,” katanya.

“Kenyataannya,” ia melanjutkan, “di dalam beberapa kejadian yang semacam demikian, bukan hanya ide abstrak yang berhak menyandang nama yang sama di sepanjang waktu, tetapi demikian juga sesuatu yang lain, yang bukanlah ide, tetapi senantiasa memiliki bentuk ide selama ia ada. Maksudku mungkin menjadi lebih jelas di dalam contoh-contoh berikut ini: Di dalam bilangan, yang ganjil harus selalu memiliki nama ganjil, bukankah harus?”

“Tentu saja.”


“Haruskah ia saja, atau dari semua hal, untuk inilah aku bertanya, atau adakah hal apapun yang lain yang tidak sama dengan keganjilan, tetapi yang kita harus sebut ganjil, bersama-sama dengan namanya sendiri, karena ia demikian tersusun oleh alam bahwa ia tidak pernah bisa tanpa keganjilan? Tetapi ini, aku katakan, adalah kejadian dengan bilangan tiga, dan banyak yang lainnya. untuk anggap dengan mempertimbangkan bilangan tiga: bukankah tampak kepadamu bahwa ia harus selalu disebutkan dengan namanya sendiri, sebagaimana juga dengan keganjilan, yang tidaklah sama dengan bilangan tiga? Walaupun demikian, alamiah bilangan tiga, lima, dan seluruh separuh dari bilangan, bahwa walaupun mereka tidak sama dengan keganjilan, tetap saja masing-masing mereka selalu ganjil. Dan, lagi, dua dan empat, dan keseluruhan bilangan yang lain, walaupun tidak sama dengan kegenapan, adalah walaupun demikian masing-masing mereka selalu genap. Apakah kamu menerima ini, ataukah tidak?”

“Bagaimana aku tidak harus?” ia menjawab.

“Amatilah kemudian,” katanya, “apa yag aku berharap buktikan. Ia adalah ini, bahwa tampak bukan hanya bahwa kebalikan-kebalikan ini tidak menerima satu sama lain, tetapi bahkan hal-hal demikian tidak berkebalikan kepada satu sama lain, dan walau selalu memiliki kebalikan-kebalikan, tidak tampak menerima ide yang berkebalikan kepada ide yang ada di dalam dirinya sendiri, tetapi, ketika ide tersebut mendekat, ia binasa atau pergi. Bukankah kita harus membiarkan bahwa bilangan tiga akan binasa, dan menderita apapun bagaimanapun, lebih daripada bertahan, sementara ia masih tiga, untuk menjadi genap?”

“Paling secara pasti,” kata Cebes.

“Dan bahkan,” kata ia, “bilangan dua bukanlah kebalikan tiga.”

“Secara yakin bukan.”

“Bukan hanya, kemudian, ide bahwa kebalikan tidak pernah mendekati satu sama lain, tetapi beberapa hal lain juga tidak membiarkan pendekatan dari kebalikan-kebalikan.”

“Kamu mengatakan sangat secara benar,” ia menjawab.

“Apakah kamu berharap, kemudian,” ia berkata, “bahwa, jika kita mampu, kita harus menjelaskan apa hal-hal ini?”

“Tentu saja.”

“Tidakkah mereka akan kemudian, Cebes,” ia berkata, “suatu hal semacam, apapun yang mereka tempati, memaksa hal tersebut bukan hanya menerima idenya sendiri, tetapi juga sesuatu yang selalu sebuah kebalikan?”

“Bagaimana maksudmu?”

“Sebagaimana kita baru saja katakan. Karena kamu tentu saja mengetahui, bahwa hal apapun yang ditempati oleh ide dari tiga harus secara perlu bukan hanya tiga, tetapi juga ganjil?”

“Tentu saja.”

“Kepada hal semacam demikian, kemudian, kita memberikan, bahwa ide yang berkebalikan kepada bentuk yang menyusun ini tidak pernah bisa datang.”

“Ia tidak bisa.”

“Tetapi apakah keganjilan membuatnya demikian?”

“Ya.”

“Kebalikan ide ini adalah kegenapan?”

“Ya.”

“Ide dari kegenapan, kemudian, tidak pernah datang kepada tiga?”

“Tidak, secara yakin.”

“Tiga, kemudian, tidak memiliki bagian di dalam genap?”

“Tidak ada apapun.”

“Bilangan tiga adalah tidak genap?”

“Ya.”

“Apa, karena itu, aku katakan harus dijelaskan—yaitu, hal-hal apa mereka yang, walaupun tidak berkebalikan kepada suatu hal yang khusus, juga tidak menerima kebalikan itu sendiri. Sebagaimana di dalam contoh yang sekarang, bilangan tiga, walaupun tidak berkebalikan kepada genap, lebih tidak menerimanya, karena ia selalu membawa kebalikan degannya, seperti yang bilangan dua lakukan kepada keganjilan, api kepada dingin, dan banyak hal-hal khusus lain. Pertimbangkan kemudian jika kamu akan menjelaskan begini, bukan hanya bahwa kebalikan tidak menerima kebalikan, tetapi juga bahwa hal yang membawa bersamanya sebuah kebalikan kepada hal yang kepadanya ia mendekati akan tidak pernah menerima kebalikan dari hal yang ia bawa bersamanya. Tetapi ingatlah kembali, karena bukanlah tidak berguna mendengarkannya sering diulangi. Lima akan tidak menerima ide dari kegenapan, juga tidak sepuluh, kegandaannya, dari keganjilan. Kegandaan ini, kemudian, walaupun ia sendiri berkebalikan kepada sesuatu yang lain, juga akan tidak menerima ide dari keganjilan, juga tidak separuh, juga tidak hal lain dari macam yang demikian, misalnya separuh dan bagian ke tiga, menerima ide dari keseluruhan, jika kamu mengikutiku, dan setuju denganku bahwa ia demikian.”

“Aku secara keseluruhan setuju denganmu,” ia berkata, “dan mengikutimu.”

“Beri tahukan aku lagi, kemudian,” ia berkata, “dari permulaan; dan jangan menjawabku di dalam cara yag di dalamnya aku meletakkan pertanyaan, tetapi di dalam satu yag berbeda, meniru contohku. Aku mengatakan ini karena, di sampig cara menjawab aman yang aku sebutkan pertama dari apa yang sekarang kita katakan, aku melihat tidak ada yang lain lebih aman. Karena jika kamu menanyaiku apa yang, jika ia di dalam badan, akan menyebabkannya menjadi panas, aku harus tidak memberimu jawaban yang aman tetapi tidak bisa dipelajari itu, yaitu panas, tetapi satu yang lebih anggun, dari apa yang baru saja sekarang kita katakan, yaitu api. Juga tidak, jika kamu menanyaiku apa yang, jika ia di dalam badan, akan menyebabkannya sakit, aku harus mengatakan bahwa ia adalah penyakit, tetapi demam. Juga tidak jika kamu menanyakan apa yang, jika di dalam angka, akan menyebabkannya menjadi ganjil, aku harus mengatakan bahwa ia adalah ke-tidak-genap-an, tetapi kesatuan. Dan demikian juga dengan hal-hal yang lain. Tetapi pertimbangkan jika kamu secara cukup mengerti apa yang aku maksudkan.”

“Secara sempurna demikian,” ia menjawab.

“Jawablah aku, kemudian,” ia berkata, “apakah yang, ketika ia di dalam badan, badan akan menjadi hidup?”

“Jiwa,” ia menjawab.

“Bukankah ini, kemudian, selalu halnya?”

“Bagaimana ia harus tidak?” kata ia.

“Apakah jiwa, kemudian, selalu membawa kehidupan kepada apapun yang ia tempati?”

“Ia melakukan memang,” ia menjawab.

“Adakah sesuatu yang berkebalikan kepada kehidupan ataukah tidak?”

“Ada,” ia menjawab.

“Apa?”

“Kematian.”

“Jiwa, kemudian, akan tidak pernah menerima kebalikan dari apa yang ia bawa bersamanya, sebagaimana telah dibiarkan?”

“Paling secara yakin,” Cebes menjawab.

“Apa, kemudian? Bagaimana kita menyebut hal yang tidak menerima ide dari kegenapan?”

“Tidak-genap,” ia menjawab.

“Dan yang tidak menerima yang adil, juga tidak yang musikal?”

“Tidak musikal,” ia menjawab, “dan tidak adil.”

“Jadilah ia demikian. Tetapi kita sebut apa hal yang tidak menerima mati?”

“Abadi.”

“Karena itu, tidakkah jiwa menerima mati?”

“Tidak.”

“Apakah jiwa, kemudian, abadi?”

“Abadi,” ia menjawab.

“Jadilah ia demikian,” ia berkata. “Haruskah kita mengatakan, kemudian, bahwa ini sekarang telah ditampakkan? atau bagaimana menurutmu?”

“Secara lengkap, Socrates.”

“Apa, kemudian,” katanya, “Cebes, jika perlu untuk tidak-genap menjadi tidak bisa binasa, akankah bilangan tiga menjadi selain daripada tidak bisa binasa?”

“Bagaimana ia harus tidak?”

“Jika, karena itu, ia juga perlu bahwa apa yang tanpa panas harus menjadi tidak bisa binasa, ketika siapapun mendekatkan panas kepada salju, bukankah salju akan pergi dengan sendirinya, aman dan tidak meleleh? Karena ia akan tidak binasa; juga tidak ia tinggal dan menerima panas tersebut.”

“Kamu mengatakan secara benar,” ia menjawab.

“Di dalam cara yang serupa, aku pikir, jika apa yang adalah tidak terpengaruh dingin adalah tidak bisa binasa, bahwa ketika apapun yang dingin mendekati api, ia akan tidak hilang ataupun binasa, tetapi akan berangkat cukup aman.”

“Seharusnya,” ia berkata.

“Tidakkah kita harus, secara perlu,” ia melanjutkan, “berbicara demikian tentang apa yang adalah abadi? jika apa yang abadi adalah tidak bisa binasa, tidak mungkin untuk jiwa binasa, ketika kematian mendekatinya. Karena, dari apa yang telah dikatakan, ia akan tidak menerima kematian, juga tidak akan pernah mati. Seperti kita mengatakan bahwa tiga tidak pernah menjadi genap, juga tidak, lagi, keganjilan akan, juga tidak api menjadi dingin, juga tidak panas yang ada di dalam api. Tetapi seseorang akan mengatakan, apa yang menghalau, walau keganjilan tidak pernah bisa menjadi genap oleh pendekatan dari genap tersebut, sebagaimana telah kita biarkan, bahkan, ketika keganjilan dihancurkan, bahwa genap tersebut harus menggantikan di dalam tempatnya? Kita tidak bisa menghadapi ia yang membuat keberatan ini bahwa ia tidak hancur, untuk tidak-genap tersebut adalah bukan tidak bisa binasa; sejak, jika ini diberikan kepada kita, kita mungkin secara mudah berkeberatan bahwa, di pendekatan dari genap, keganjilan dan tiga berangkat; dan kita kita mungkin berkeberatan di dalam jalan yang sama dengan mempertimbangkan kepada api, panas, dan sisanya, bukankah kita mungkin?”

“Tentu saja.”

“Demikian juga, dengan mempertimbangkan kepada yang abadi, jika kita membiarkan bahwa ia tidak bisa binasa, jiwa, di samping ia menjadi abadi, harus juga menjadi tidak bisa binasa; jika tidak, akan ada diperlukan argumen-argumen yang lain.”

“Tetapi tidak ada keperluan,” ia berkata, “sepanjang itu diperhatikan. Karena sukar apapun tidak menerima korupsi, jika yang abadi dan selamanya bisa dikenakan kepadanya.”

“Dewa, memang, aku pikir,” kata Socrates, “dan ide kehidupan itu sendiri, dan jika apapun yang lain adalah abadi, harus dibiarkan demi semua hal untuk menjadi tidak bisa terurai.”

“Demi Jupiter!” ia menjawab, “demi semua manusia, dan terlebih, sebagaimana aku pikir, demi para dewa.”

“Sejak, kemudian, apa yang adalah abadi adalah juga tidak bisa terkorupsi, bisakah jiwa, sejak ia adalah abadi, menjadi apapun selain daripada tidak bisa binasa?”

“Ia harus, secara perlu, menjadi demikian.”

“Ketika, karena itu, kematian mendekati seorang manusia, bagian yang fana darinya, sebagaimana tampak, mati, tetapi bagian yang abadi berangkat aman dan tidak terkorupsi, setelah melepaskan dirinya sendiri dari kematian?”

“Ia tampak demikian.”

“Jiwa, karena itu,” ia berkata, “Cebes, paling secara pasti abadi dan tidak bisa binasa, dan jiwa-jiwa kita akan secara nyata ada di dalam Hades.”

“Karena itu, Socrates,” ia berkata, “aku tidak memiliki apapun yang lebih lanjut untuk dikatakan melawan ini, juga tidak alasan apapun untuk meragukan argumen-argumenmu. Tetapi jika Simmias di sini, atau siapapun yang lain, memiliki apapun untuk dikatakan, akan baik untuk ia tidak diam, karena aku tidak mengetahui kepada kesempatan lain melampui siapapun yang hadir bisa menangguhkannya, yang berharap berbicara ataupun mendengar tentang hal-hal ini.”

“Tetapi, memang,” kata Simmias, ”juga tidak aku memiliki alasan apapun untuk meragukan apa yang telah dikemukakan; bahkan, dari besar hal yang didiskusikan, dan dari pendapat rendahku dari kelemahan manusia, aku terpaksa masih menyimpan sebuah ragu di dalam diriku sendiri dengan mempertimbangkan apa yang telah dikatakan.”

“Bukan hanya demikian, Simmias,” kata Socrates, “tetapi kamu mengatakan ini secara baik. Terlebih, hipotesis pertama, walaupun mereka bisa dipercaya kepadamu, harus tidak bisa dijelaskan lebih secara berhati-hati; dan jika kamu harus menyelidiki mereka secara cukup, aku pikir kamu akan mengikuti alasanku sejauh yang mungkin untuk manusia melakukan. Jika titik ini menjadi jelas, kamu akan tidak mencari lebih jauh.”

“Kamu berbicara secara benar,” katanya.

“Tetapi benar, teman-temanku,” ia berkata, “kita harus mempertimbangkan ini. Bahwa jika jiwa abadi, ia memerlukan perhatian kita bukan hanya untuk saat ini, yang kita sebut kehidupan, tetapi untuk seluruh waktu; dan bahaya yang sekarang tampak mengerikan jika seseorang harus mengabaikannya. Karena jika kematian adalah ke-terhantar-an dari setiap hal, ia akan menjadi keuntungan yang besar untuk yang jahat, ketika mereka mati, kepada dihantarkan di saat yang sama dari badan, dan dari keburukan-keburukan mereka bersama-sama dengan jiwa. Tetapi sekarang, sejak ia tampak abadi, ia tidak bisa memiliki pelarian dari keburukan-keburukan, juga tidak keamanan, kecuali dengan menjadi sebaik dan sebijaksana yang mungkin. Karena jiwa pergi kepada Hades memiliki bukan apa-apa selain ajaran dan pendidikan, yang dikatakan menjadi keberuntungan atau kerugian yang paling besar kepada yang mati, di saat permulaan dari perjalanannya ke sana. Karena, dengan demikian, dikatakan bahwa daimon masing-masing orang yang ditugaskan kepadanya sementara ia hidup, ketika ia mati mengantarnya kepada suatu tempat, tempat mereka yang dikumpulkan bersama-sama harus menerima keputusan, dan kemudian melanjutkan ke Hades dengan penuntun yang telah diperintahkan menuntun mereka dari sana ke sana. Tetapi setelah menerima ganjaran-ganjaran mereka di sana, dan setelah tinggal selama yang ditentukan, penuntun lain akan membawa mereka kembali ke sini, setelah peredaran waktu yang banyak dan panjang. Perjalanan tersebut, kemudian, bukanlah sebagaimana yang Telephus dari Æschylus menggambarkannya, karena ia mengatakan bahwa sebuah jalur yang sederhana menuntun kepada Hades; tetapi ia tampak kepadaku tidak sederhana juga tidak satu, karena akan tidak diperlukan penuntun-penuntun, juga tidak siapapun akan tersesat, jika hanya ada satu. Tetapi sekarang ia tampak kepadaku memiliki banyak bagian dan cabang; dan ini aku perkirakan dari acara-acara pemakaman kita. Jiwa yang tertuntun-baik dan bijaksana, kemudian, kedua-duanya mengikuti, dan tidak jahil kepada keadaannya yang kini; tetapi yang melalui gairah-gairah melekat kepada badan, sebagaimana aku katakan sebelumnya, setelah terbingungkan secara suka tentangnya untuk waktu yang panjang, dan tentang tempatnya yang bisa dilihat, setelah ketahanan besar dan penderitaan yang besar, secara dipaksa dan dengan kesukaran yang besar dituntun oleh daimon yang ditugaskan. Dan ketika ia tiba di tempat yang lainnya berada, tidak murni dan telah melakukan apapun hal semacam penguburan para pembunuh yang tidak benar atau pekerjaan-pekerjaan lain yang serupa; yang adalah memperhatikan sama kepada hal-hal ini, dan adalah sikap-sikap dari jiwa-jiwa yang memiliki perhatian yang sama, setiap orang menghindarinya dan menjauh darinya, dan akan tidak menjadi teman-seperjalanan-nya juga tidak penuntunnya; tetapi ia bergentayangan, tertekan oleh setiap macam keadaan tanpa pertolongan, sampai berlalu beberapa waktu; dan ketika ini telah terlengkapi, ia dibawa, dari keperluan, kepada sebuah tempat tinggal yang sesuai kepadanya. Tetapi jiwa yang melewati kehidupan dengan kemurnian dan ke-bersahaja-an, setelah memeroleh para dewa sebagai teman-seperjalanan-nya, masing-masing tinggal di dalam tempat yang pantas kepadanya. Ada, memang, banyak tempat dan tempat yang indah di bumi, dan kebesaran bumi an pertimbangan-pertimbangan yang lain, bukanlah sebagaimana dianggap oleh mereka yang biasa membicarakan bumi, sebagaimana aku telah teryakinkan oleh orang tertentu.”

Kepada ini Simmias berkata, “Bagaimana maksudmu, Socrates? Karena aku, juga, telah mendengar banyak hal tentang bumi, bukan, bagaimanapun, hal-hal yang telah mendapatkan percayamu itu. Aku akan, karena itu, secara senang mendengarkan mereka.”

“Memang, Simmias, seni dari Glaucus tidak tampak kepadaku tersediakan untuk menceritakan hal-hal ini. Bahwa mereka adalah benar, bagaimanapun, tampak kepadaku lebih daripada yang seni dari Glaucus bisa buktikan, dan, di samping itu, aku munngkin tidak mampu melakukannya; dan walaupun aku memiliki keahlian tersebut, menurutku hidupku, Simmias, akan berakhir sebelum pembicaraan tersebut selesai. Bagaimanapun, tidak ada apapun yang mencegahku dari menceritakan keyakinanku tentang bentuk bumi dan daerah-daerah di dalamnya.”

“Tetapi itu akan cukup,” kata Simmias.

“Aku teryakinkan, kemudian,” kata ia, “di dalam tempat pertama, bahwa bumi adalah di tengah-tengah langit, dan bulat, ia tidak memerlukan udara, juga tidak kekuatan lain yang serupa, untuk mencegahnya dari terjatuh, tetapi bahwa keserupaan langit kepada diri mereka sendiri di setiap sisi, dan keseimbangan dari bumi sendiri; cukup untuk mendukungnya; untuk suatu hal di dalam keadaan seimbang ketika diletakkan di tengah sesuatu yang menekannya di semua sisi tidak bisa cenderung lebih atau kurang di sisi manapun, tetapi, terpengaruh secara sama di semua sisi, bertetapan tidak bergerak. Di dalam tempat pertama, kemudian,” ia berkata, “aku teryakinkan kepada ini.”

“Dan sangat secara baik demikian,” kata Simmias.

“Lebih lanjut,” katanya, “ia sangat besar, dan kita yang menghuni suatu bagian kecil darinya, dari sungai Phasis samapai tiang-tiang Hercules, tinggal di laut, seperti semut atau katak di rawa; dan bahwa banyak yang lain di suatu tempat tinggal di banyak tempat yang serupa, karena ada di setiap tempat di seputar bumi banyak lubang dari bentuk dan ukuran yang beragam yang ke dalamnya ada sebuah pertemuan dari air, kabut dan udara. Tetapi bahwa bumi itu sendiri, murni, terletak di langit yang murni, yang bintang-bintang ada di dalamnya, dan yang palig banyak orang terbiasa berbicara tentang hal-hal semacam demikian sebut sebagai ether; yang darinya hal-hal ini adalah endapan, dan secara tetap mengalir ke dalam bagian-bagian lubang dari bumi. Kita jahil, kemudian, bahwa kita tinggal di dalam lubang-lubangnya, dan membayangkan apa yang kita huni sebagai bagian atas dari bumi, seperti jika siapapun tinggal di dasar laut harus berpikir bahwa laut adalah langit; tetapi melalui kelambanan dan kelemahan, tidak pernah bisa mencapai permukaan laut; juga tidak, timbul dan terangkat dari laut kepada daerah ini, melihat betapa lebih murni dan lebih indah daripada tempatnya berada, juga tidak mendengarnya dari siapapun yang lain yang telah melihatnya. Ini, kemudian, adalah keadaan kita; untuk, tinggal di suatu lubang dari bumi, kita berpikir bahwa kita tinggal di permukaannya, dan menyebut udara langit, seolah-olah bintang-bintang bergerak melalui ini, menjadi langit itu sendiri. Tetapi ini karena, oleh alasan kelambanan dan kelemahan kita, kita tidak mampu mencapai puncak udara. Sejak, jika siapapun bisa tiba di puncaknya, atau menjadi bersayap, bisa terbang ke sana, memandang apa yang di sini, sehingga siapapun akan memandang hal-hal di sana, dan jika alamiahnya mampu menahan perenungan tersebut, ia akan mengetahui bahwa itu adalah langit yang sejati, dan cahaya yang sejati, dan bumi yang sejati. Karena bumi dan batu-batu ini, dan semua daerah di sini, adalah memudar dan terkikis, seperti hal-hal di dalam laut oleh kegaraman; karena tidak ada hal yang bernilai tumbuh di dalam laut, juga tidak, di dalam sebuah kata, ia mengandung apapun yang sempurna; tetapi ada gua-gua dan pasir, dan lumpur yang berlimpah, dan daki, di dalam bagian apapun dari laut ada tanah, juga tidak mereka sama sekali berharga untuk dibandingkan dengan hal-hal indah yang bersama kita. Tetapi, di lain pihak, hal-hal di bagian atas dari bumi akan tampak jauh melebihi hal-hal yang bersama kita. Karena, jika kita mungkin mengungkapkan dongeng yang indah, ia adalah berharga baik untuk didengarkan, Simmias, hal-hal macam apa yang ada di bumi di bawah langit.”

“Memang, Socrates,” kata Simmias, “kita harus sangat senang untuk mendengarkan dongeng itu.”

“Pertama-tama dari semuanya, kemudian, temanku,” ia melanjutkan, “bumi ini, jika siapapun melihatnya dari atas, dikatakan memiliki penampakan dari bola-bola yang tertutupi dengan dua belas lembaran kulit yang berbeda-beda, beraneka ragam dan terbedakan dengan warna-warna, dari warna-warna yang ditemukan di sini, dan jauh para pelukis pergunakan, adalah, sebagaimana ia, salinan-salinan. Tetapi keseluruhan bumi adalah tersusun dari yang demikian, dan jauh lebih baik dan murni daripada ini; satu bagian adalah ungu, dan luar biasa indah, sebagian berwarna emas, dan sebagian berwarna putih, lebih putih daripada kapur atau salju, dan, di dalam cara yang serupa, tersusun dari warna-warna lain, dan lebih banyak dan lebih indah daripada yang siapapun pernah pandang. Dan bagian-bagian lubang dari bumi tersebut, walaupun terisi dengan air dan udara, memperlihatkan sebuah warna yang pasti, bersinar di antara ragam dari warna-warna yang lain, sehingga satu bagian secara berlanjutan beragam menghadirkan dirinya sendiri kepada pemandangan. Di dalam bumi ini, sedemikian, semua hal yang tumbuh, tumbuh di dalam sebuah takaran yang sesuai kepada alamiahnya—pohon-pohon, bunga-bunga dan buah-buah; dan, lagi, di dalam cara yang serupa, gunung-gunung dan batu-batu yang dimilikinya, di dalam takaran yang sama, kelembutan dan ke-tembus-pandang-an, dan warna-warna yang indah. Kenyataannya, batu-batu yang dikenal di sini sangat berharga tinggi, seperti sardine-stones, jaspers, zamrud, dan sebagainya, hanyalah serpihan-serpihan dari sana. Tetapi di sana, tidak ada hal yang ada yang bukan dari bersifat ini, dan bahkan lebih indah daripada ini. Tetapi alasan dari ini adalah, karena batu-batu di sana adalah murni, dan tidak termakan dan pudar, seperti yang di sini, oleh karat dan kegaraman, yang mengalir turun ke sini bersama-sama, dan yang menghasilkan perubahan bentuk dan penyakit di dalam batu-batu dan bumi, dan di dalam hal-hal yang lain, bahkan binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan. Tetapi bumi itu dihiasi dengan semua ini, dan, terlebih lagi, dengan emas dan perak, dan semua hal yang dari macam tersebut: untuk mereka adalah secara alamiah menyolok, banyak dan besar, dan di dalam semua bagian dari bumi; sehingga untuk memandangnya adalah sebuah pemandangan untuk yang terberkati. Ada juga banyak binatang dan manusia di sana, beberapa tinggal di bumi-tengah, yang lainnya di udara, sebagaimana kita lakukan tentang laut, dan yang lainnya di pulau-pulau yang udara mengalir mengelilinginya, dan yang lebih mendekati benua; dan di dalam sebuah kata, apa yang air dan laut kepada kita, untuk keperluan kita, adalah udara kepada mereka, dan udara kita, adalah ether mereka. Tetapi musim-musim mereka adalah dari suatu macam sifat bahwa mereka adalah bebas dari peyakit, dan hidup untuk waktu yang lebih panjang daripada mereka yang di sini, dan melampaui kita di dalam penglihatan, pendengaran, dan penciuman, dan semua hal semacam ini, sebanyak udara melampaui air, dan ether udara, di dalam kemurinan. Terlebih lagi, mereka memiliki tempat tinggal dan kuil-kuil para dewa, yang di dalamnya para dewa benar-benar tinggal, dan suara-suara dan oracles, dan penglihatan-penglihatan yang bisa dirasakan dari para dewa, dan hubungan-hubungan yang serupa demikian dengan mereka; matahari, juga, dan bulan, dan bintang-bintang, terlihat oleh mereka sebagai sebenar-benarnya mereka, dan kebahagiaan mereka di dalam pertimbangan-pertimbangan lain adalah berhubungan dengan hal-hal ini.”

“Semacam demikianlah alamiah bumi, dan bagian-bagian yang mengitarinya; tetapi di seputar bumi, di dalam gua-guanya, ada banyak tempat, beberapa lebih dalam dan lebih terbuka daripada yang kita tempati; tetapi yang lainnya yang lebih dalam memiliki jurang yang lebih kurang daripada daerah kita, dan yang lainnya lebih dangkal di dalam kedalamannya daripada di sini, dan lebih lapang. Tetapi semua ini di dalam banyak tempat berlubang-lubang satu ke dalam yang lain di bawah bumi, beberapa dengan kanal-kanal yang lebih sempit dan beberapa lebih lebar, dan memiliki jalan tembus, yang dengannya sejumlah besar air mengalir dari satu ke dalam yang lain, seolah-olah ke dalam lembah-lembah, dan ada sekat-sekat yang sangat banyak dari sungai-sungai yang selalu mengalir di bawah bumi, kedua-duanya air panas dan dingin, dan sejumlah besar api, dan sungai-sungai api yang perkasa, dan banyak lumpur cair, beberapa lebih murni, dan beberapa lebih berlumpur, seperti di Sicily ada sungai-sungai lumpur yang mengalir sebelum lava, dan lava itu sendiri, dan dari beberapa tempat ini adalah terisi, berdasarkan luapan dari waktu ke waktu datang ke masing-masing mereka. Tetapi semua ini bergerak naik dan turun, sebagaimana ia, oleh suatu goyangan yang ada di dalam bumi. Dan goyangan ini terjadi dari suatu penyebab alamiah semacam ini; satu dari lubang-lubang bumi adalah sangat besar, dan berlubang-lubang melalui keseluruhan bumi, dan adalah yang Homer bicarakan, sangat jauh, tempat jurang terdalam di bawah bumi, yang di mana-mana kedua-duanya ia dan banyak penyair yang lain sebut sebagai Tartarus. Ke dalam lubang ini semua sungai mengalir bersama-sama, dan darinya mengalir keluar kembali, tetapi secara mereka mendapatkan sifat mereka dari bumi yang mereka lalui. Dan alasan mengapa semua arus mengalir keluar dari sana, dan mengalir ke dalamnya, adalah karena cairan ini tidak memiliki dasar juga tidak pusat. Karena itu, ia bergoyang dan bergerak naik dan turun, dan udara dan angin di sekitarnya melakukan sama; karena mereka menemaninya kedua-duanya ketika ia memaksa masuk kepada bagian-bagian bumi itu, dan ketika kepada hal-hal ini. Dan sebagaimana di dalam pernapasan aliran nafas secara berlanjutan dihembuskan keluar dan ditarik masuk, demikianlah angin bergoyang bersama cairan menyebabkan suatu gemuruh dan angin yang tidak bisa dilawan ketika ia masuk dan keluar. Ketika, karena itu, air mendesak turun ke tempat yang kita sebut sebagai bagian yang lebih rendah, ia mengalir melalui bumi ke dalam aliran-aliran di sana, dan mengisi mereka, sama seperti orang-orang memompa naik air. Tetapi ketika lagi ia meninggalkan daerah-daerah itu dan mendesak ke sini, ia kembali mengisi sungai-sungai di sini; dan ini ketika terisi, mengalir melalui kanal-kanal dan melalui bumi, dan, setelah beberapa kali mencapai beberapa tempat yang kepadanya mereka melakukan perjalanan, mereka membuat lautan-lautan, danau-danau, sungai-sungai, dan air mancur-air mancur. Kemudian, surut kembali dari sana ke bawah bumi, beberapa dari mereka telah mengelilingi lebih panjang dan lebih banyak tempat, dan yang lainnya lebih sedikit dan lebih pendek, mereka kembali menyalurkan diri mereka sendiri ke dalam Tartarus—beberapa sangat lebih rendah daripada saat mereka naik, yang lainnya hanya sedikit demikian; tetapi semua mereka mengalir ke dalam lagi di bawah titik yang mereka keluar mengalir darinya. Dan beberapa keluar secara langsung berlawanan dengan tempat mereka mengalir masuk, yang lainnya di sisi yang sama. Ada juga beberapa yang, setelah bersama-sama melintas di dalam sebuah lingkaran, melipat diri mereka sendiri sekali atau beberapa kali memutari bumi, seperti ular-ular, ketika mereka turun serendah mungkin, menyalurkan diri mereka kembali; dan mungkin untuk mereka turun di sisi yang jauh sebagaimana yang di tengah, tetapi tidak melampui; untuk di dalam setiap arah ada sebuah acclivity kepada aliran-aliran di kedua jalan.”

“Sekarang, ada banyak aliran besar dan beragam yang lainnya; tetapi di antara sejumlah besar ini ada empat jenis aliran; yang darinya yang paling besar, dan yang mengalir paling luar memutari bumi, dinamakan lautan; tetapi secara langsung berlawanan ini, dan mengalir di dalam arah yang berkebalikan, adalah Acheron, yang mengalir melalui tempat-tempat penghukuman, dan, terlebih lagi, melintas di bawah bumi, mencapai danau Acherusian, tempat tiba jiwa-jiwa dari paling banyak orang mati; dan, setelah tinggal beberapa lama di sana untuk rentang waktu yang ditentukan, beberapa lebih lama dan beberapa lebih singkat, kembali dikirim ke dalam peranakan binatang-binatang. Sungai ke tiga mengalir di jalan tengah di antara ini, dan, dekat sumbernya, jatuh ke dalam daerah yang sangat luas, terbakar dengan banyak api, dan membentuk sebuah danau yang lebih besar daripada lautan kita, mendidih dengan air dan lumpur. Dari sana ia melanjutkan di dalam sebuah lingkaran, bergelora dan berlumpur, dan, melipat dirinya sendiri mengitarinya, mencapai kedua-duanya tempat-tempat lain dan danau Acherusian yang jauh, tetapi tidak bercampur dengan airnya; tetapi meliukkan dirinya sendiri seringkali di bawah bumi, ia mengalirkan dirinya sendiri ke dalam bagian yang lebih rendah dari Tartarus. Dan ini adalah sungai yang mereka sebut sebagai Pyriphlegethon, yang aliran-alirannya yang terbakar memancarkan serpihan-serpihan yang tidak terputus di bagian apapun dari bumi yang mereka lalui. Berlawanan kepada ini, lagi, sungai ke empat pertama-tama jatuh ke dalam sebuah tempat yang mengerikan dan liar, sebagaimana ia dikatakan, memiliki seluruh warnanya seperti cyanus; ini mereka sebut sebagai Stygian, dan danau yang sungai tersebut bentuk dari alirannya, Styx. Sungai ini, setelah jatuh di sini, dan menerima kekuatan besar di dalam air, surut ke bawah bumi, melanjutkan, melipat dirinya sendiri memutar, di dalam aliran yang berlawanan kepada Pyriphlegethon, dan bertemu dengannya di dalam danau Acherusian dari, sebuah arah yang berkebalikan. Juga tidak air dari sungai ini bercampur dengan manapun yang lain; tetapi ia, juga, setelah memutar di dalam sebuah lingkaran, mengalirkan dirinya sendiri ke dalam Tartarus, berlawanan kepada Pyriphlegethon. Namanya, sebagaimana para penyair katakan, adalah Cocytus.”

“Hal-hal ini tersusun demikian, ketika yang mati tiba di tempat daimon mereka menuntun kepadanya, pertama-tama dari semuanya mereka dihakimi, mereka yang hidup baik dan saleh, juga mereka yang tidak. Dan mereka yang tampak melewati macam pertengahan dari kehidupan, melanjutkan ke Acheron, dan berangkat di dalam kapal-kapal yang mereka miliki, di atas ini mereka tiba di danau, dan di sana tinggal; dan ketika mereka telah termurnikan, dan telah menderita hukuman-hukuman untuk kekeliruan-kekeliruan yang mereka mungkin telah lakukan, mereka dibebaskan, dan masing-masing menerima hadiah dari perbuatan baik-perbuatan baik mereka, berdasarkan penghakiman mereka. Tetapi mereka yang tampak tidak bisa disembuhkan, melalui magnitude dari pelanggaran-pelanggaran mereka, dari telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang besar dan banyak, atau banyak pembunuhan yang tidak adil dan tidak sesuai hukum, atau kejahatan-kejahatan serupa yang lain, ini nasib yang pantas dilemparkan ke dalam Tartarus, dari sana mereka tidak pernah kembali. Tetapi mereka yang tampak bersalah dari pelanggaran-pelanggaran yang tidak terlalu besar dan bisa disembuhkan—semacam mereka yang, melalui marah, melakukan kekerasan melawan ayah atau ibu, dan telah melalui sisa kehidupan mereka di dalam sebuah keadaan penyesalan, atau mereka yang melakukan pembunuhan-pembunuhan di dalam cara yang serupa—ini harus, secara perlu, jatuh ke dalam Tartarus. Tetapi setelah mereka jatuh, dan di sana untuk satu tahun, ombak membawa pergi mereka dari sana, pembunuh-pembunuh ke dalam Cocytus, tetapi yang membunuh ayah dan yang membunuh ibu ke dalam Pyriphlegethon. Tetapi ketika, dibawa, mereka tiba di danau Acherusian, di sana mereka berteriak dan memohon, beberapa yang mereka dahulu bantai, yang lainnya yang mereka dahulu lukai, dan meminta kepada mereka, mereka meminta dan mohon kepada mereka supaya keluar ke dalam danau, dan untuk menerima mereka, dan jika mereka membuat mereka yakin, mereka keluar, dan dibebaskan dari penderitaan mereka, tetapi jika tidak, mereka dibawa kembali ke dalam Tartarus, dan dari sana lagi kepada sungai-sungai. Dan mereka tidak berhenti dari menderita ini sampai mereka membuat yakin mereka yang telah mereka lukai, untuk keputusan ini dijatuhkan kepada mereka oleh para hakim. Tetapi mereka yang didapati menjalani sebuah kehidupan yang secara nyata suci, ini adalah mereka yang, dibebaskan dan pergi banyak dari daerah-daerah bumi di dalam bumi ini seperti dari sebuah penjara, tiba di tempat tinggal yang murni di atas, dan tinggal di bagian-bagian atas dari bumi. Dan di antara ini, mereka yang secara cukup memurnikan diri mereka sendiri oleh filsafat harus hidup tanpa badan-badan, melalui keseluruhan waktu masa depan, dan harus tiba di tempat tinggal-tempat tingal yang bahkan lebih indah daripada ini yang tidak mudah digambarkan, juga saat ini tidak ada waktu yang cukup untuk tujuan ini.” 

“Tetapi, demi hal-hal yang kita telah uraikan, kita harus menggunakan setiap usaha, Simmias, sebagai memeroleh kebaikan dan kebijaksanaan di dalam kehidupan ini, karena hadiah tersebut terhormat, dan harapan yang besar.”

“Untuk menegaskan secara baik, memang, bahwa hal-hal ini adalah benar-benar sebagaimana aku menggambarkan mereka tidak menjadi seorang yang waras. Itu, bagaimanapun, juga ini, atau sesuatu yang lain dari macam demikian, menempati dengan pertimbangan kepada jiwa-jiwa kita dan tempat tinggal-tempat tinggal mereka, sejak jiwa kita tentu saja abadi, ini tampak kepadaku paling sesuai untuk dipercayai, dan percobaan berbahaya yang berharga untuk seseorang yang percaya di dalam kenyataannya; untuk  percobaan berbahaya tersebut adalah terhormat, dan benar untuk memikat diri kita dengan hal-hal demikian, sebagaimana dengan mantera-mantera pemikat, alasan yang untuknya aku memanjangkan ceritaku kepada suatu rentang yang demikian. Menyangkut hal-hal ini, kemudian, seseorang harus yakin tentang jiwanya yang, sepanjang kehidupan ini, telah tidak menghargai semua kenikmatan dan perhiasan badan seolah-olah sebagai bagian asing dari alamiahnya, dan yang, setelah berpikir bahwa mereka melakukan lebih banyak keburukan daripada kebaikan, harus secara bersungguh-sungguh mengerjakan dirinya sendiri kepada perolehan pengetahuan, dan yang, telah menghiasi jiwanya bukan dengan sebuah yang asing, tetapi perhiasan yang pantas untuknya—kesahajaan, keadilan, ketabahan, kemerdekaan, dan kebenaran—demikian menunggu perjalanannya kepada Hades, sebagai seseorang yang siap beragkat kapanpun nasib harus memanggilnya.”

“Kalian, kemudian,” ia melanjutkan, “Simmias dan Cebes, dan keseluruhan, akan masing-masing berangkat di masa depan, tetapi sekarang nasib memanggilku, sebagaimana seorang penulis tragedi akan katakan, dan telah dekat waktuku untuk membawa diriku mandi, untuk ia tampak kepadaku lebih baik meminum racun setelah aku memandikan diriku sendiri, dan tidak merepotkan para perempuan dengan mencuci mayatku.”

Ketika ia telah berbicara demikian, Crito berkata, “Biarkanlah ia demikian, Socrates, tetapi perintah-perintah apa yang kamu miliki untuk diberikan kepada orang-orang ini atau kepadaku, mempertimbangkan anak-anakmu, atau persoalan apapun yang lain, di dalam memenuhi urusan yang kami paling bisa membantumu?”

“Apa yang aku selalu katakan, Crito,” ia menjawab, “tidak ada hal apapun yang baru, bahwa dengan memperhatikan dirimu sendiri kamu akan membantu kedua-duanya aku dan milikku, dan dirimu sendiri, apapun yang kamu lakukan, walau sekarang kamu tidak menjanjikannya, dan jika kamu mengabaikan dirimu sendiri, dan akan tidak hidup, sebagaimana ia, di dalam jejak langkah dari apa yang secara terdahulu terkatakan, walau kamu banyak berjanji di saat ini, dan secara bersungguh-sungguh, kamu akan tidak melakukan kebaikan sama sekali.”

“Kami akan berusaha melakukan demikian,” ia berkata. “Tetapi bagaimana kami harus menguburmu?”

“Se-suka-mu saja,” ia berkata, “jika kamu bisa menangkapku, dan aku tidak membebaskan diri darimu.” Dan di saat yang sama tersenyum secara lembut, dan memandang mengitari kami, ia berkata, “Aku tidak bisa membuat yakin Crito, teman-temanku, bahwa aku adalah Socrates yang sekarang berbincang-bincang dengan kalian, dan yang mengatur masing-masing bagian dari perbincangan; tetapi ia berpikir bahwa aku adalah ia yang ia akan segera lihat mati, dan menanyakan bagaimana ia harus menguburku. Tetapi yang aku kemukakan sejak beberapa waktu yang panjang, bahwa ketika aku telah meminum racun aku harus tidak lagi tinggal bersama kalian, tetapi harus berangkat kepada suatu keadaan yang berbahagia yang terberkati, ini aku lihat telah aku kemukakan kepadanya di dalam kesia-siaan, walau aku bermaksud di saat yang sama menghibur kedua-duanya kalian dan diriku sendiri. Jadilah kalian, kemudian, jaminan-jaminanku kepada Crito,” ia berkata, “di dalam kewajiban yang berkebalikan kepada yang ia buat kepada para juri (karena ia memilih bahwa aku harus tinggal); tetapi kamu lakukanlah menjamin bahwa, ketika aku mati, aku harus tidak tinggal, tetapi harus berangkat, supaya Crito mungkin secara mudah menanggungnya; dan, ketika ia melihat mayatku dibakar ataupun dikuburkan, mungkin tidak bersedih untukku, seolah-olah jika aku menderita dari suatu hal yang mengerikan; juga tidak berkata di pemakamanku bahwa Socrates dibaringkan, atau dibawa pergi, atau dikuburkan. Karena yakinlah,” ia berkata, “Crito yang sangat baik, bahwa berbicara secara tidak pantas adalah bukan hanya bisa dicela sebagai hal tersebut sendiri, tetapi juga menyebabkan suatu luka kepada jiwa-jiwa kita. Kamu harus memiliki keberanian yang baik, kemudian, dan mengatakan bahwa kamu akan menguburkan mayatku, dan menguburkannya di dalam semacam cara sebagaimana yang menyenangkanmu, dan sebagaimana kamu pikir paling pantas kepada hukum-hukum kita.”

Ketika ia telah berkata demikian, ia bangkit, dan pergi ke dalam sebuah kamar untuk mandi, dan Crito mengikutinya, tetapi ia mengarahkan kami untuk menunggunya. Kami menunggu, karena itu, berbincang-bincang di antara kami sendiri tentang apa yang telah terkatakan, dan mempertimbangkannya lagi, dan kadang-kadang berbicara tentang kemalangan kami, betapa  dahsyat ia kepada kami, secara tulus berpikir bahwa, seperti mereka yang terhalau dari seorang ayah, kami harus melewati sisa kehidupan kami sebagai anak-anak yatim. Ketika ia telah mandi, dan anak-anaknya dibawa kepadanya (untuk ia memiliki dua anak yang masih kecil dan satu yang dewasa), dan para perempuan dari keluarganya telah datang, kami berbincang-bincang dengan mereka di dalam kehadiran Crito, dan memberikan mereka semacam perintah-perintah yang ia harapkan, ia mengarahkan para perempuan dan anak-anak untuk pergi, dan kemudian kembali kepada kami. Dan telah dekat matahari terbenam; karena ia menghabiskan beberapa waktu di dalam.

Ketika ia telah datang dari mandi ia duduk, dan tidak banyak berbicara sejak itu; kemudian petugas dari Sebelas masuk, dan, berdiri di dekatnya, berkata, “Socrates, aku harus tidak menemukan pelanggaran denganmu yang aku dapati di orang-orang yang lain. Mereka marah kepadaku, dan mengutukku, ketika, oleh perintah para archon, aku meminta mereka meminum racun. Tetapi kamu, di semua kesempatan di sepanjang waktumu di sini, aku temukan paling terhormat, penurut, dan orang yang baik dari semua yang pernah datang ke dalam tempat ini; dan, karena itu, aku sekarang yakin bahwa kamu akan tidak marah denganku (karena kamu mengetahui siapa yang harus disalahkan), tetapi dengan mereka. Sekarang, kemudian, karena kamu mengetahui bahwa aku datang untuk memberitahukanmu, selamat tinggal, dan berusahalah menanggung hal yang tidak bisa dihindari semudah yang mungkin.” Dan di saat yang sama, berurai air mata, ia berbalik dan pergi.

Socrates, memandanginya, dan berkata, “Dan engkau, juga, selamat tinggal. Kami akan melakukan sebagaimana engkau mengarahkan.” Di saat yang sama berbalik kepada kami, ia berkata, “Betapa terhormat orang tersebut! Di sepanjang keseluruhan waktuku di sini ia telah mengunjungiku, dan berbincang-bincang denganku beberapa kali, dan terbukti sebagai orang yang paling bisa dihargai; dan sekarang betapa murah-hati ia menangis untukku! Tetapi mari, Crito, biarkan kita mematuhinya, dan biarkan seseorang membawakan racun tersebut; jika ia telah dihaluskan; tetapi jika tidak, biarkan orang tersebut menghaluskannya.”

Kemudian Crito berkata, “Tetapi aku pikir, Socrates, matahari masih di pegunungan, dan belum terbenam. Di samping itu, aku mengetahui bahwa orang-orang yang lain meminum racun sangat terlambat, setelah diberitahukan kepada mereka, dan makan-malam dan minum secara bebas, dan beberapa bahkan menikmati hal-hal yang mereka cintai. Janganlah terburu-buru, karena masih ada waktu.”

Kepada ini Socrates menjawab, “Orang-orang yang kamu sebutkan ini, Crito, melakukan hal-hal ini dengan alasan yang baik, karena mereka berpikir mereka mendapatkan sesuatu dengan melakukan demikian. Dan aku, juga, dengan alasan yang baik, harus tidak melakukan demikian, karena aku berpikir bahwa aku tidak mendapatkan apa-apa dengan minum sedikit lebih lambat, kecuali menjadi konyol kepada diriku sendiri, di dalam menjadi sangat menyukai kehidupan, dan menghemat darinya, ketika tidak ada apa-apa yang tersisa. Pergilah kemudian,” ia berkata, “patuhi, dan jangan bertahan.”

Crito, setelah mendengar ini, mengangguk kepada anak laki-laki yang berdiri dekat. Dan anak laki-laki tersebut, setelah pergi dan tinggal beberapa lama, datang, membawa bersamanya orang yang akan memberikan racun, yang membawa racun yang telah halus di dalam sebuah piala.

Dan Socrates, saat melihat orang tersebut, berkata, “Baiklah, temanku yang baik, sejak kamu memiliki keahlian di dalam persoalan-persoalan ini, apa yang aku harus lakukan?”

“Tidak ada apapun yang lain,” ia menjawab, “kecuali, ketika kamu telah meminumnya, berjalanlah sampai ada berat di kaki-kakimu; kemudian berbaringlah: dengan demikian ia akan melakukan tujuannya.” Dan di saat yang sama ia memberikan piala tersebut kepada Socrates. Dan setelah menerimanya secara bergembira, Echecrates, ia tidak gemetar, juga tidak berubah sama sekali di dalam warna ataupun rona wajahnya, tetapi, seperti ia mengingini, melihat secara cepat ke orang tersebut, berkata, “Apa yang kamu katakan dari racun ini, jika seseorang mempertimbangkannya sebagai minuman persembahan, apakah sesuai hukum atau tidak?”

“Kami hanya mencampurkan sebanyak demikian, Socrates,” ia berkata, “yang kami pikir cukup untuk diminum.”

“Aku memahamimu,” ia berkata, “tetapi ia tentu saja kedua-duanya sesuai hukum dan benar untuk berdoa kepada para dewa, bahwa keberangkatanku dari sini ke sana mungkin berbahagia; yang, karena itu, aku berdoa, dan sehingga mungkin ia terjadi.” Dan setelah mengatakan ini, ia meminumnya habis secara bersedia dan tenang.

Sejauh demikian, paling banyak dari kami dengan kesukaran mampu menahan diri kami sendiri dari menangis; tetapi ketika kami melihatnya minum, dan menyelesaikan tegukan tersebut, kami tidak bisa lebih lama melakukan demikian; tetapi, termasuk diriku sendiri, air mata datang di dalam arus yang penuh, sehingga, menutupi wajahku, aku menangis untuk diriku sendiri; karena aku bukan menangis untuknya, tetapi untuk nasibku sendiri, di dalam dihalau dari semacam teman yang demikian. Tetapi Crito, bahkan sebelum aku, ketika ia tidak bisa menahan air matanya, ia berdiri. Tetapi Apollodorus, bahkan sebelum ini, tidak berhenti menangis; dan kemudian, jatuh ke dalam kesedihan yang mendalam, menangis dan meratap, ia mencabik-cabik jantung setiap orang yang hadir, kecuali Socrates sendiri. Tetapi ia berkata, “Apa yang kamu lakukan, teman-temanku yang terpuji? Aku, terutama untuk alasan ini, menyuruh pergi para perempuan, supaya mereka mungkin tidak melakukan kekonyolan semacam ini. Karena aku mendengar bahwa baik untuk mati dengan pertanda-pertanda yang baik. Tenanglah, karena itu, tahanlah.”

Ketika kami telah mendengar ini, kami menjadi malu, dan menahan air mata kami. Tetapi ia, setelah berjalan, ketika ia berkata bahwa kaki-kakinya menjadi berat, berbaring di punggungnya; untuk orang tersebut telah mengarahkannya demikian. Dan, di saat yang sama, ia yang memberikan racun memegangnya, setelah rentang waktu yang singkat, memeriksa kaki dan betisnya; dan kemudian, setelah menekan keras kakinya, ia menanyakan jika ia merasakannya; ia berkata bahwa tidak. Dan setelah ini menekan pahanya; dan, demikian lebih tinggi, ia menunjukkan kepada kami bahwa ia menjadi dingin dan kaku. Kemudian Socrates menyentuh dirinya sendiri dan berkata bahwa ketika racun tersebut mencapai jantungnya ia harus kemudian berangkat.

Bagian bawah perutnya telah hampir dingin; ketika, membuka selubung dirinya, karena ia telah diselubungi, ia berkata, dan mereka adalah kata-katanya yang terakhir, “Crito, kita berhutang seekor ayam jantan kepada Æsculapius, bayarlah ia, karena itu, dan jangan melalaikannya.”

“Ia akan dilakukan,” kata Crito, “tetapi pertimbangkan jika kamu memiliki hal apapun yang lain untuk dikatakan.”

Kepada pertanyaan ini ia tidak membuat jawaban; tetapi, tidak lama setelahnya, ia memberikan sebuah gerakan kejang, dan orang tersebut menyelubunginya, dan matanya terbuka; dan Crito, melihatnya, menutup mulut dan matanya.

Ini, Echecrates, adalah akhir dari teman kita. Seorang laki-laki, sebagaimana mungkin kita katakan, yang paling baik dari semuanya dari masanya yang kita kenal, dan terlebih lagi, yang paling bijaksana dan adil.

Akhir Phaedo.

No comments:

Post a Comment